Padusan itu berupa kolam majupat dengan air mancur di tiap sudut. Airnya bening tiada terkira. Tempatnya teduh karena naungan pohon bodi. Permukaannya dipenuhi bunga-bunga sehingga tampak indah. Pada satu sisinya terlihat beberapa emban membersihkan tubuh Raka Gangsar. Tiada bergeming pula samya haji tersebut selama menerima pelayanan. Namun demikian, padusan yang mulanya tenang mendadak sedikit gaduh saat satu emban memergoki kemunculan ular di satu sudut. Sontak saja, emban-emban lain berlarian sehingga hal itu pun menarik perhatian Raka Gangsar. Ia sebenarnya melihat dengan jelas bahwa ular dengan sisik belang hitam-putih itu menuju ke arahnya. Akan tetapi, ketika prajurit penjaga datang, laki-laki muda itu menolak.Segera saja Raka Gangsar mengangkat sebelah tangannya seraya berujar,
"Tidak apa. Tinggalkan saja!" titahnya.Para prajurit penjaga, walaupun terheran-heran, tetapi menurut jua. Begitu pun dengan para emban tersisa, mereka meninggalkan sang junjungan atas perintahnya.
Raka Gangsar membiarkan ular weling tadi mendekatinya hingga kepala hewan melata itu kini bersandar pada salah satu bahu.
"Kenapa Bibi kemari? Apakah Geni berbuat ulah?" tanya Raka Gangsar.
Si weling yang diajak bicara mengeluarkan sinar kehijauan dari seluruh tubuh dan sekonyong-konyong menjelma menjadi sosok perempuan paruh baya. Kepalanya tetap bersandar pada bahu samya haji muda dan kedua lengannya memeluk erat.
"Perempuan sundal itu sebenarnya selalu membuat masalah. Tetapi dia memang bisa diandalkan dalam beberapa hal. Sayangnya, bukan untuk itu aku sengaja kemari," kata perempuan jelmaan ular tersebut. Nada bicaranya lembut tetapi wajahnya yang penuh seringaian itu menjadikannya menakutkan. Terlebih manik mata pipih panjang layaknya ular membuat bulu kuduk meremang bagi yang melihat.
"Kau sudah mendapatkan tahta yang kau harapkan. Bidadari impianmu pun kini menjadi milikmu," kata si perempuan ular.
"Aku memang pantas mendapatkannya, Bibi Dwisana," balas Raka Gangsar.
"Ya. Benar! Kau benar! Kau memang benar! Semua ini pantas kau dapatkan!" tandas si perempuan ular. "Tetapi, Keponakanku, tentang bidadari pujaanmu itu..., apakah kau benar-benar mengenalnya?"
Mengerut dalam kening Raka Gangsar dibuatnya. Ia sampai menengok kepada sang bibi yang kini bersimpuh di sampingnya.
"Apa maksud Bibi?"Dwisana menorehkan senyum simpul, tetapi di mata Raka Gangsar, senyum itu penuh dengan makna yang tiada terkira maknanya. Si perempuan mendesis layaknya ular sebelum kembali berujar,
"Apsari itu memang sangat indah dan cantik bagai bunga padma. Tetapi, tidak ada keindahan yang sempurna. Tidak ada kecantikan yang tanpa cela. Begitu pula dengan apsari pilihanmu.""Mayasari adalah yang paling sempurna dan tanpa cela, Bibi. Sekalipun dia memang mempunyai noda, aku tiada keberatan selama dia di sisiku," bela Raka Gangsar.
Senyum yang memperlihatkan sepasang taring itu masih tersungging pada wajah awet muda Dwisana. Ia mendesis singkat sebelum meraih wajah sang keponakan untuk menghadapnya.
"Cinta memang selalu membutakan. Tetapi, aku akan selalu melindungimu, Gangsar. Tidak ada yang boleh menyakitimu! Itu janjiku pada Rarasati, ibumu!"Usai berkata demikian, tubuh Dwisana menggeliat lalu cahaya kehijauan menyelimutinya. Kembali pula ia ke wujud ular weling yang meliuk-liuk meninggalkan Raka Gangsar.
Sang samya haji sendiri masih diam di tempat. Ia sebenarnya sempat merenungi ucapan sang bibi, tetapi sosok Mayasari memang telah menguasai hati dan pikiran sepenuhnya. Terlebih kini mereka telah sah sebagai suami-istri. Sungguh sempurna hidupnya sekarang karena segala keinginan terpenuhi. Oleh karenanya, nasihat sang bibi diabaikan saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)
Historical FictionSebelum sang surya menyentuh ujung bumi, kalasangka akan ditiup kembali. Memanggil para kesatria untuk turun ke medan laga. Perang itu bukan untuk mereka, tetapi mereka akan menjadi bagian darinya. Sebagian menjadi saksi, sebagian akan mengukir seja...