Bab 13

763 103 5
                                    

Nastiti menggigit bibir bawahnya. Rasa mendesak di bawah perut seakan-akan tidak sanggup lagi ditahan. Belum lagi kakinya yang sudah mati rasa karena pedati yang kecil dan tidak nyaman. Badannya pun terasa lepas tulang-tulangnya. Setelah tidak bisa lagi menahan lebih lama, akhirnya gadis itu mencoba meminta tolong kepada prajurit terdekat.

"He, Prajurit, tolong berhentilah sebentar!" pintanya.

Prajurit terdekat yang sedang berjalan cepat itu hanya melirik sekilas.

"Aku tidak bisa menahannya lagi!" iba Nastiti, berharap prajurit itu mengerti tanpa harus mengungkap secara gamblang.

"Tunggu saja, Nyi Sanak!" kata si prajurit.

"Tetapi, ini sudah tidak bisa menunggu!" Nastiti mendesak.

"Tunggu saja perintah dari senapati!"

"Tunggu-tunggu kepalamu! Aku ingin buang air kecil!"

Suara lantang Nastiti tentulah terdengar jelas di tengah malam pada sunyi alas pula. Oleh karena itu, ia pun menunduk malu manakala rombongan itu berhenti berikut sang senapati.

Anggara pun masih setia pada punggung kuda. Katanya kemudian,
"Tahanlah sebentar lagi, kita perlu keluar dari hutan ini sesegera mungkin!"

Mendengarnya, membuat Nastiti menyorot kepada senapati muda tersebut. Ini sudah melebihi batasan. Ia pun merasa telah menjadi tawanan yang baik dengan menjawab dan menanggapi semua pertanyaan. Tetapi, gadis itu merasa jawaban Anggara meremehkannya.

"Kalau begitu aku akan mengeluarkannya di sini! Dan jangan mengeluh apabila selama perjalanan nanti, hidung kalian akan mencium bau pesing!" lontarnya.

Para prajurit serta merta menoleh kepada Anggara. Dan seperti yang telah diduga, sang senapati akhirnya mengalah dengan menuruti permintaan si gadis.

"Biar aku yang mengawasinya, kalian jaga di sini!" perintah Anggara kepada prajurit lalu menatap Nastiti. "Turunlah!"

Nastiti memang menang, tetapi ia kesulitan sendiri manakala berusaha turun dari pedati tanpa bantuan. Kakinya telah mati rasa sehingga sulit digerakkan. Dan karena tidak hati-hati, si gadis malah terjengkang sehingga jatuh begitu saja ke tanah.

Wajahnya memberengut manakala sempat terdengar tawa tertahan dari beberapa prajurit. Dengan susah payah, gadis itu akhirnya mampu berdiri. Dilayangkan tatapan menusuk kepada tiap-tiap prajurit itu dan berakhir pada sang senapati.

"Tidak berperasaan!" cercanya sambil lalu dengan kaki setengah pincang.

Si gadis setengah siluman mencoba menajamkan telinga dan indra penciuman. Langkahnya pun hampir tanpa hambatan sekalipun menerobos semak belukar. Sedangkan Anggara yang mengikuti di belakang bahkan masih tersangkut kainnya oleh ranting-ranting tanaman perdu sekalipun sebuah obor digunakan.

"Kau bisa menuntaskannya di sini! Tidak perlu masuk hutan lebih jauh lagi," anjur Anggara begitu merasa si gadis tak kunjung menentukan tempat.

"Saya tidak biasa buang hajat di sembarang tempat seperti para prajurit!" sahut Nastiti.

Tersentil pula Anggara dengan balasan yang dirasanya tidak sopan tersebut.
"Jaga mulutmu, Nyi Sanak! Kami juga memilih-milih tempat," balasnya.

"Nah, jadi jangan heran jika saya juga memilih-milih tempat pula!" Nastiti enggan mengalah. Kakinya masih saja berjalan tanpa mempedulikan sang senapati yang mulai tersinggung.

Sesaat kemudian, barulah Anggara mendengar kemericik yang tentu saja itu adalah sumber air.

"Lihat! Ada sumber air dekat sini, oleh karenanya saya memaksa ke sini!" ujar Nastiti. Ada setitik bangga di benak manakala indra pendengaran dan penciumannya bekerja dengan baik.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang