Paring menutup gerbang kemudian dengan segera menuju ke belakang. Di sana, ia menemui Darmi yang sibuk menumbuk padi.
"Bi, ada penjual tuak di luar sana," ujar si emban laki-laki. "Dia bilang ingin mengantarkan pesanan kepada Gusti Anggara."
Barulah ketika jawaban demikian terdengar, Darmi menghentikan kegiatan lantas segera menuju ke depan. Usai gerbang dibuka kembali, tampak satu laki-laki muda sedang menunggui bumbung-bumbung panjang berisi tuak.
"Oh, silakan, Ki Sanak! Anakmas Anggara sudah menunggu!" kata Darmi.
Begitu penjual tuak itu masuk, terheran-heran pula Paring dibuatnya sebab junjungannya tidak begitu menyukai minuman yang memabukkan tersebut. Akan tetapi, merasa bukanlah urusannya, emban laki-laki itu menutup gerbang lalu melanjutkan kegiatannya tadi yang sempat tertunda
Di pihak lain, Anggara dengan sigap menanggapi laporan Darmi akan datangnya yang ditunggu. Begitu bertemu di balai depan, segera saja ia meminta penjual tuak itu untuk masuk ke ruang dalam.
"Kau sudah lama menunggu rupanya?" canda si penjual tuak yang sekiranya adalah telik sandi kiriman Senapati Agung Dhiwangkara.
"Tentu saja, Kakang Marunda. Sudah cukup lama sejak Senapati Agung memberitahuku tentang prajurit sandi yang beliau utus," balas Anggara.
"Aku membawa kabar terbaru dari Gusti muda yang menjadi pelarian itu."
Berdebar-debar benak Anggara mendengar pernyataan Marunda sehingga kini mengubah duduknya untuk menyimak dengan saksama.
"Dia kini tidak lagi berada di Gunung Kampud melainkan berbalik arah ke Haningan. Keterangan ini kudapat dari kawan sandi di sana. Sandi itu juga mengatakan bahwa kemungkinan Gusti muda itu mempunyai sekutu baru yang belum jelas jati dirinya." Marunda mengimbuhkan.
"Sekutu baru?"
"Ya. Setidaknya itu menurut cara pandang dari pihak Kadiri. Sebelumnya ia memang terlibat perlawanan dengan pendekar utusan samya haji Haningan dan berhasil lolos berkat sekutunya tersebut."
Termangu-mangu Anggara dibuatnya. Ada banyak pertanyaan dan dugaan-dugaan terkait sahabatnya tersebut.
"Apakah kau mempunyai keterangan yang ingin disampaikan?" Marunda bertanya sehingga kawan bicaranya mengalihkan pikiran untuk saat ini.
"Ya, ini mengenai samya haji yang adalah iparku sendiri." Demikian balasan Anggara sehingga menceritakan apa yang ia dapatkan selama menelusuri jejak ganjil di Haningan.
Usai kembali dari Hanimpura, pikiran Anggara tidak tenang. Sebuah kenyataan yang ia dapatkan dari sana sungguh mengejutkan. Hal itu bermula dari undangan Senapati Yodya ke sebuah perjamuan. Sesungguhnya sulung mendiang Sanjala itu keberatan hadir karena menilai perhelatan demikian tidak penting. Tetapi, desakan Senapati Yodya dan rasa sungkan rupanya lebih menguasai sehingga mengalah ia demi rasa hormat.
Sesampainya di sana, acara itu berlangsung seperti selayaknya meskipun Anggara tidak paham maksud diadakannya perjamuan tersebut. Kebanyakan yang hadir adalah para prajurit dan senapati-senapati mereka. Sungguh dimanja para tamu dengan hidangan dan pertunjukan-pertunjukan. Ketika itulah, Senapati Yodya mulai mengutarakan maksudnya. Mula-mula ia berbasa-basi kemudian mulai membicarakan keamanan dan keseimbangan pemerintahan, lalu menyentil pula ia akan perlawanan Bhayanaka hingga sampailah kepada pokok utama, yakni meyakinkan Anggara bahwa sahabatnya itu benar-benar telah menjadi pemberontak.
"Selama ini, dia diam-diam mengumpulkan kekuatan, berkomplot dengan orang-orang di Kadiri sana. Menurut kabar, dia ingin memisahkan diri dari kuasa Kursawapati untuk menjadi mahadiraja. Bocah itu..., sungguh berbahaya."
KAMU SEDANG MEMBACA
MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)
Ficción históricaSebelum sang surya menyentuh ujung bumi, kalasangka akan ditiup kembali. Memanggil para kesatria untuk turun ke medan laga. Perang itu bukan untuk mereka, tetapi mereka akan menjadi bagian darinya. Sebagian menjadi saksi, sebagian akan mengukir seja...