Tumpukan batu yang tersusun rapi itu mulanya akan dibangun sebuah candi sebagai tempat pendarmaan. Sayangnya hingga kini bentuknya masih sama seperti dulu. Tiada undakan, tiada tempat pemujaan, tiada pahatan-pahatan karena tanpa dinding.
Orang biasa akan mengira bahwa itu hanyalah tumpukan batu tanpa makna. Nyatanya, kini Raka Gangsar bersila di bagian tengah dengan dupa dan berbagai kembang cantik berwarna-warni sebagai sesajen. Kedua tangannya bertangkup dengan mata terpejam. Bibirnya bergerak-gerak mengantarkan mantram kepada seseorang.Pada pagi dan sore hari, tempat itu tidak akan terasa panasnya meski tiada pohon peneduh. Di sekelilingnya terdapat jambangan-jambangan berisi seroja berwarna dadu yang membuatnya menjadi indah. Sehingga tiada terdengar kabar-kabar angker dari tempat yang hanya disaba Raka Gangsar tersebut.
Setelah beberapa lama di sana, laki-laki muda itu mengakhiri kegiatannya tanpa beranjak. Ia tercatuk begitu hormat seolah-olah sedang menghadap dewa. Tatapannya lembut memandangi bakal candi yang gagal didirikan tersebut. Padahal nama yang indah telah ditentukan apabila pembangunannya tidak mandek.
Sirayu adalah nama yang diberikan sang bapa kepada bakal candi sebagai pendarmaan garwanya itu.
Tangan Raka Gangsar terkepal erat hingga memutih buku-buku kukunya, juga memerah ujung-ujung jarinya. Rahangnya mengatup keras. Sungguh, benaknya terasa sesak setiap kali mengingat bagaimana Sirayu tidak akan pernah berdiri. Pendarmaan sang ibu sebagai bentuk kasih Danendra tidak bisa didirikan karena dianggap sebagai penghinaan.
Namun meskipun orang-orang yang menolak pembangunan candi itu telah tersingkir dari dunia, benak Raka Gangsar tidak pernah benar-benar lega. Ia belum puas sebelum sumber dari segala kemalangannya terhempas.
"Oh, apa yang kau pikirkan hingga menjadi kelam sedemikian rupa, Keponakanku?"
Suara Dwisana akhirnya menarik kesadaran Raka Gangsar. Ia pun menoleh kepada sang bibi yang berdiri begitu berjarak dari kawasan bakal candi.
"Hanya kenangan dari masa lalu," jawab Raka Gangsar. "Apa ada yang Bibi butuhkan? Maaf jika saya menjadi jarang ke Walingan."
Dwisana hanya menyeringai singkat. Ia menunggu sang keponakan menyelesaikan pemujaan sampai akhirnya menghampiri.
Menjura singkat Raka Gangsar setelah berhadapan dengan bibinya tersebut.
"Aku memakluminya, Gangsar. Menjadi samya haji berarti siap menambah pikiran dan pekerjaan. Lagi pula, kau juga butuh menghabiskan waktu dengan apsari pujaanmu itu. Kalian pengantin baru sehingga wajar untuk selalu bersama." Dwisana membalas kemudian.
Raka Gangsar menanggapi dengan senyum samar. Ia menuntun sang bibi menuju pendapa dengan pohon asam sebagai peneduh. Akan tetapi, Dwisana menolak. Perempuan ular itu menunjuk satu sudut yang dipenuhi oleh ular-ular kecil aneka warna.
"Anak-anakku berkata, seseorang dari Hanimpura akan datang kemari membawa kabar yang akan kau sukai dan tidak kau sukai," ujarnya. "Aku juga ingin kau memperingatkan Geni agar tidak bermain-main dengan kesetiaannya. Tegaskan kepadanya bahwa kepatuhannya adalah kebutuhannya sendiri, bukan dirimu yang harus selalu memaklumi segala tindakan binalnya itu."Tidak mengerti sebenarnya Raka Gangsar akan ucapan tersebut. Dan memang selama ini ia pun tidak mampu memahami sepenuhnya segala tindakan maupun ucapan yang selalu dituturkan secara tersirat tersebut. Namun demikian, samya haji muda itu selalu memberikan yang terbaik untuk memuaskan sang bibi. Perempuan itu, meskipun dalam keadaan raga yang tidak semestinya, telah dianggap sebagai orang tuanya sendiri.
Dan memang tidak berapa lama, seorang hulun tergopoh-gopoh menghampiri Raka Gangsar. Ia menjura singkat setelah sampai pada jarak tertentu.
"Ampun, Gusti, Senapati Yodya datang menghadap."
KAMU SEDANG MEMBACA
MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)
Historical FictionSebelum sang surya menyentuh ujung bumi, kalasangka akan ditiup kembali. Memanggil para kesatria untuk turun ke medan laga. Perang itu bukan untuk mereka, tetapi mereka akan menjadi bagian darinya. Sebagian menjadi saksi, sebagian akan mengukir seja...