Anggara mengisyaratkan kepada satu emban yang akan membawakan seduhan bagi Mayasari. Ia mengambil alih nampan dari si emban kemudian mengantarkannya kepada sang adik.Sang apsari sendiri kini sedang duduk bersandar pada salah satu pendapa taman sari. Pandangannya tak jemu melihat keindahan kupu-kupu di atas bunga warna-warni. Namun kala melihat sang kakak menghampiri, seketika ia berniat menyambut.
"Duduk saja, Rayi!" kata Anggara. Ia meletakkan nampan tadi di sebelah sang adik. "Minumlah ini lebih dulu agar keadaanmu lebih baik."
Mayasari membalasnya dengan senyum tipis. Meski kini wajahnya agak pias, tetap tak mampu mengaburkan kecantikannya yang paripurna. Sang apsari dibantu senapati muda mencampurkan ramuan dengan madu yang telah disiapkan. Getir segera menyiksa lidah, tetapi ia habiskan jua ramuan tersebut.
"Bagaimana keadaanmu? Apakah masih sering pusing?" tanya Anggara. Begitu kentara kecemasan itu pada parasnya yang bagus. Namun wajar saja sang senapati demikian, karena semenjak kematian sang rama, adiknya itu menurun kesehatannya. Kepergian Sanjala memanglah sangat memukul benak sang apsari. Ia pun tidak menyangka kedatangannya ke Haningan akan disambut kabar nestapa. Padahal dirinya ingin menguatkan Bhayanaka akibat peristiwa yang menimpa mendiang samya haji, tetapi dirinya pula ditimpa duka. Mayasari pun semakin sering sakit karena tidak nyenyak tidurnya, juga tidak nikmat makannya. Setiap hari ia terbayang-bayang sang rama yang meninggalkannya begitu saja. Gadis itu seolah-olah kehilangan separuh hidup.
"Aku sudah lebih baik, Kakangmas." Demikian saja Mayasari menjawab kemudian beralih kembali perhatiannya kepada segerombolan kupu-kupu yang kini terbang ke sana kemari. Dalam benak si gadis jelita, akan sangat menyenangkan apabila dirinya dilahirkan sebagai kupu-kupu yang bisa terbang bebas. Tiada pula ia akan menderita jika ditinggalkan orang tersayang sebab tidak memiliki perasaan mendalam seperti halnya manusia.
Anggara sendiri merasa bimbang akan perihal yang ingin disampaikan. Mayasari masihlah dalam masa berkabung, tetapi mereka tidak memiliki banyak waktu.
"Rayi, ada yang ingin aku bicarakan denganmu," katanya kemudian.
Mayasari menoleh. Ada tanya yang tampak dari raut wajahnya.
"Ini tentang kedudukan kita di kepatihan. Seperti yang kau tahu, kedudukan Rama saat ini telah digantikan oleh Ki Ranggita. Ini sudah menginjak empat puluh hari semenjak kematian Rama dan sudah seharusnya bagi kita untuk pergi dari sini, agar Ki Ranggita mendapatkan kewenangannya sebagai Patih Haningan yang baru."
Penjelasan Anggara membuat Mayasari semakin mendung wajahnya. Bukannya ia tidak rela akan kedudukan sang rama yang telah tergantikan. Bukan pula ia rakus akan gelimang rasa nyaman selama tinggal di kepatihan. Akan tetapi, begitu banyak ia habiskan masa kecilnya di sini. Begitu banyak pula kenangan yang terjadi dan yang paling memberatkannya adalah di sinilah ia bertemu sang kekasih hati yang selalu dirindu.
"Jadi, kita akan kembali ke kediaman pitamaha*?" duga Mayasari.
[Pitamaha: kakek]"Sebenarnya, aku memiliki pilihan yang lebih baik untukmu daripada kembali ke sana," sahut Anggara.
"Apa maksud, Kangmas?"
"Samya haji berkenan mengambilmu sebagai garwanya."
Jawaban sang kakak sontak membuat Mayasari menegak duduknya. Tentulah ia tidak menyangka apabila pemimpin Haningan baru itu akan melakukan hal demikian.
"Rayi, kehendak samya haji itu bukan tanpa alasan. Ia ingin menjaga kehormatanmu sebagai putri bangsawan. Dengan menjadi permaisuri, tidak akan ada lagi keresahan dalam dirimu. Kau tetap akan dalam lingkungan yang aman bahkan lebih baik daripada di sini. Masa depanmu akan terjamin," tutur Anggara.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)
Historical FictionSebelum sang surya menyentuh ujung bumi, kalasangka akan ditiup kembali. Memanggil para kesatria untuk turun ke medan laga. Perang itu bukan untuk mereka, tetapi mereka akan menjadi bagian darinya. Sebagian menjadi saksi, sebagian akan mengukir seja...