Sepasang mata Raka Gangsar menatap nanar kepada Roro Geni. Sedang perempuan bawahannya itu seolah ingin mengacuhkan teguran keras dari sang tuan, dimainkan rambut bagian putihnya sembari memandang ke arah lain."Kenapa kau tidak memberitahuku jika bocah itu bekerja sama dengan siluman, Roro Geni?"
Melirik dengan sebal perempuan berpakaian merah darah itu. Pandangannya kembali tak acuh ketika sang tuan tidak jua menampakkan mimik persahabatan.
"Mana aku tahu jika dia itu bekerja sama dengan siluman, Raka Gangsar? Keterangan yang diperoleh sekutumu dari Kriyak tentang seorang gadis yang ikut bersamanya sama sekali tidak membantu."Gebrakan keras segera saja mematahkan salah satu kaki meja kayu di samping Raka Gangsar, membuat Roro Geni sedikit terlonjak, tetapi kemudian ia segera saja menenangkan diri.
"Kau benar-benar tidak berguna, Roro Geni. Juga anak buah silumanmu itu."
Roro Geni menelan ludah. Sebenarnya perempuan itu gentar juga melihat amarah seorang Raka Gangsar. Akan tetapi, tetap saja ia bersikap seolah-olah tidak bersalah.
"Gadis itu setengah siluman, Raka Gangsar. Dia adalah pratali dari siluman berkasta tinggi. Sedikit sulit mengalahkan mereka---"
"Aku tidak peduli," potong Raka Gangsar, "aku ingin semua yang membantu bocah itu dilenyapkan. Pikirkan bagaimanapun caranya."
Mendengkus kasar saja Roro Geni mendengarnya. Hatinya menyerukan umpatan walau bibirnya ditahan serapat mungkin.
Sejenak keadaan menjadi hening. Bale utama Walingan itu hanya dihuni Raka Gangsar dan Roro Geni. Perbincangan mereka tentu tidak boleh didengar orang lain. Raka Gangsar masih menimbang-nimbang tindakan yang akan dia ambil selanjutnya. Keterangan mengenai seorang gadis dan siluman yang mengikutinya membuat lelaki itu berprasangka bahwa Nawala membuat perjanjian dengan siluman.
"Bagaimana dengan Bibi Dwisana?" tanyanya kemudian ketika pikirannya mulai tenang.
"Sudah membaik. Beliau sudah kembali seperti semula. Hanya saja, dia selalu menanyakan perihal Sanu." Roro Geni menjawab.
"Kenapa tidak kau berikan saja ular yang lain?"
"Tentu saja aku sudah mencobanya, Raka Gangsar. Tetapi, bibimu itu malah memakannya. Setelahnya aku dicecar habis-habisan karena memberikan ular weling biasa. Beliau bilang hanya ingin Sanu, ular peliharaannya."
Usai menghela napas sebentar, Raka Gangsar memejam. Ia kemudian menyandarkan punggungnya ke singgasana, sedikit miring dengan tangan kanan yang memijit-mijit kepala.
"Bagaimana dengan tiga pendekar itu?" tanyanya lagi.
"Tidak ada yang terluka serius. Hanya si pendekar arca hidup yang butuh perawatan lebih karena terkena panah. Itu pun pasti lekas sembuh." Sedikit kesal Roro Geni menjawab.
"Pendekar arca hidup?"
Roro Geni berdecak.
"Maksudku pendekar bernama Putih. Ada lagi yang ingin kau perhatikan, Raka Gangsar? Kau juga ingin menanyakan perihal Anggara juga? Atau ingin bertanya nama-nama prajurit yang sudah aku selamatkan?"Raka Gangsar hanya melihat sekilas ke arah Roro Geni kemudian menerawang lagi. Sementara itu Roro Geni segera pergi dari bale utama Walingan sembari bergumam kesal. Sang tuan bahkan tidak menanyakan keadaannya padahal dia sudah bercerita hampir mati gegara bertarung dengan siluman gagak pujaannya.
Akan tetapi, tentu saja dia masih hidup. Berkat perlindungan dari gandarwa Sula yang dipujanya. Bahkan luka sabetan kapak itu tidak membekas sedikit pun. Mengingat pertarungannya dengan Bhargawala membuat perasaannya bercampur aduk. Kecerobohannya karena berniat mencelakai si gadis pratali membuatnya demikian.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)
Historical FictionSebelum sang surya menyentuh ujung bumi, kalasangka akan ditiup kembali. Memanggil para kesatria untuk turun ke medan laga. Perang itu bukan untuk mereka, tetapi mereka akan menjadi bagian darinya. Sebagian menjadi saksi, sebagian akan mengukir seja...