Bab 7

963 116 4
                                    

Bhargawala masih mengingat dengan baik kejadian ratusan warsa silam. Kala itu dirinya masih belia dan sang uwa yang merupakan raja Trah Bayu Sakunta mengajaknya ke suatu tempat. Mulanya ia ragu manakala tempat yang dimaksud adalah sebuah permukiman manusia. Dirinya yang mengetahui larangan mencampuri bangsa itu tentulah mengingatkan sang uwa.

Akan tetapi, begitu seorang perempuan hamil muncul, dirinya seakan-akan enggan pergi. Selama ini, Bhargawala hanya mendengar sepintas mengenai sosok perempuan yang berhasil membuat uwanya melalaikan aturan. Perempuan dari bangsa manusia itu memanglah cukup menarik hati dengan perawakan mungil. Dan mungkin saja mata bulat yang indah itulah yang memikat sang uwa.

Sang uwa pernah bercerita, si perempuan sebenarnya merupakan seorang putri dari selir sebuah kedaton yang sengaja diasingkan karena persaingan ketat di dalamnya. Ibunya telah mati dan dia hanya hidup bersama segelintir emban di sebuah kediaman sederhana.

Akan tetapi, bukan paras ayu si perempuan yang membuatnya tertarik. Bukan pula karena latar belakangnya, melainkan sesuatu dalam perut si perempuan yang seolah-olah mengikatnya untuk tetap di tempat.

Mulanya, si perempuan cemas akan pertemuan pertamanya dengan Bhargawala. Patutlah ia paham bahwa hubungannya dengan sang prabu telah menyalahi hukum alam. 

"Tidak apa-apa, Rayi. Aku hanya ingin memastikan sesuatu. Perkenankan Bhargawala menyentuh calon jabang bayi kita sebentar saja," ujar sang prabu.

Mau tak mau, si perempuan menurut apa kata lelaki yang menjadi bapa calon jabang bayi. Perutnya dielus beberapa kali sebelum tangan Bhargawala menyentuhnya.

Siluman muda itu tiba-tiba tersentak mundur selangkah. Keningnya mengerut. Ada pergerakan dalam perut itu ketika dia menyentuhnya tadi.

"Itu hanya pergerakan calon jabang bayi di dalam perut. Hampir sama dengan calon adhimu yang berada di cangkang. Hanya saja, calon jabang bayi ini ada di dalam perut perempuan. Tumbuh dan berkembang di sana," jelas sang uwa.

Bhargawala mengerti lalu disentuhnya kembali perut yang membuncit si perempuan. Jemarinya mulai merasakan pergerakan itu lagi. Lembut, halus, dan sedikit menggelitik.

"Dia... perempuan," katanya.

Kalimat pertama yang diucapkan Bhargawala muda membuat wajah si perempuan berseri, begitu pula dengan sang prabu.

Demikian pertemuan pertama dan terakhirnya dengan si perempuan. Karena sesudahnya, yang dijumpai Bhargawala adalah malapetaka.

Malam itu turun hujan lebat seolah-olah ingin menenggelamkan bumi. Angin menggoyangkan pohon-pohon tinggi yang terlihat angkuh. Kilat dan petir berlomba menjadi penguasa langit.

Malam itu pula, seorang jabang bayi perempuan lahir, cantik dan gemuk. Sang ibu menangis haru. Lalu sekonyong-konyong, terdengar teriakan emban dari luar bilik. Si perempuan serta merta menggendong si jabang bayi yang menangis keras. Didekapnya sang putri dengan perasaan was-was. Tubuhnya yang masih lemah sehabis melahirkan membuatnya tidak bisa berbuat banyak.

Tidak berapa lama, sekumpulan gagak merangsek masuk dan segera menciptakan kegaduhan. Koakannya seolah-olah menggema dan memekakkan telinga.

Si perempuan yakin bahwa itu bukanlah sang kekasih. Maka, apa yang menjadi nalurinya itu benar adanya. Puluhan gagak itu berkumpul kemudian menjelma menyerupai sosok manusia.

"Sungguh hina apa yang diperbuat Prabu Kauki hingga menurunkan bayi dari manusia rendahan!"

Suara sosok itu menggema pula dan menggetarkan benak si perempuan yang kini meleleh air matanya. Kiranya ia tahu bahwa yang di hadapannya kini berniat buruk. Ia tidak rela membiarkan sosok itu melukai dirinya dan sang putri, tetapi saat ini pun dirinya tidak berdaya. Entah apa yang diperbuat sosok itu kepada emban-embannya. Namun si perempuan menduga, teriakan mengerikan yang didengarnya tadi adalah sebagai jawaban.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang