Bab 64

477 91 12
                                    


"Kau tidak ingin mengantar?"

Ketika Yudha Erlangga menoleh, Saswira telah menyandarkan punggung ke dinding batu.

"Siapa?"

"Dewi Ayu Sekar. Kung Slamet bilang, dia akan pergi."

Gerakan Yudha Erlangga yang tengah mengasah pedang pendeknya terhenti, tetapi kemudian ia lanjutkan lagi.

"Jadi, kau tidak ingin mengantarnya?"

"Tidak. Untuk apa? Bukankah dia sudah cukup dewasa untuk pergi sendiri?"

Kening Saswira mengernyit. Dirasanya, ada yang aneh dengan sikap kawan seperjalanannya tersebut. Dia mengira, Yudha Erlangga dan Ayu Sekar mempunyai hubungan khusus. Tetapi, melihat sikap kawannya itu, membuatnya ragu akan pemikirannya sendiri. Akhirnya dibiarkan pemuda itu melakukan kegiatannya, sementara ia menikmati saat-saat damai walau untuk sesaat.

***

Tidak pernah Ayu Sekar merasa begitu gelisah. Pikirannya tidak bisa terpusat pada satu masalah saja. Kemarin telah ia tinggalkan sebuah tempat bernama Sumber Dukuh padahal sang tuan memintanya tinggal. Beruntung Kung Slamet dan Weksi memercayainya sehingga ia tidak perlu menunggu persetujuan dari para guru Galung Asri.

Hal itu tentu karena ia merasa bersalah kepada Yudha Erlangga. Begitu percaya pemuda itu kepadanya sampai ia hianati. Ah, Ayu Sekar ingin menampik bahwa ia mengingkari kepercayaan yang diberikan Yudha Erlangga, akan tetapi pada benaknya yang lain mengakui bahwa ia memang memanfaatkan kebaikan pemuda itu untuk kepentingannya.

Ayu Sekar berdecak. Ia bangkit dari tempatnya beristirahat di kediaman Jaka Barung, tempatnya singgah sekarang. Benaknya tidak tenang. Ucapan pemuda itu sungguh membuatnya bagai penjahat. Yudha Erlangga memang tidak tampak marahnya, tetapi tatapan pemuda itu begitu penuh kekecewaan. Dan Ayu Sekar tidak menyukai hal tersebut.

Lama tidak mendapat pencerahan, gadis itu akhirnya melangkah ke dapur di mana Ambar tengah melakukan sesuatu dengan tumpukan daun pisang.

"Ada yang bisa kubantu, Mbak Yu?"

Ambar menoleh, tersenyum ia mendapati Ayu Sekar berdiri di ambang pintu masuk dapur.

"Kemarilah, Diajeng. Kau bisa membantuku dengan menjaga api itu agar tidak lekas mati. Aku membuat jajanan untuk Kakang Jaka dan para pencari rumput."

Ayu Sekar mendekati tungku yang tengah membara. Di atasnya sebuah belanga berisi pisang kepok tengah berasap-asap. Duduklah gadis itu di depan tungku setelah mengambil potongan kayu setebal setengah kilan sebagai tempat duduk. Termenung ia setelahnya.

Pikirannya kembali pada ucapan Yudha Erlangga. Pengakuan pemuda itu membuatnya pusing. Dia bahkan belum memberikan keterangan perihal tersebut kepada sang tuan, mungkin juga dia tidak mau memberitahukannya. Gadis itu pun tidak berniat mencari tahu, dia percaya saja kepada pemuda itu. Akan tetapi, jika benar apa yang dikatakannya...

"Ayu!"

Tiba-tiba saja Ambar menarik bahu Ayu Sekar sampai gadis itu terduduk ke lantai tanah. Lalu istri Jaka Barung itu memukul-mukul ujung pakaian Ayu Sekar yang terlalap api dengan sembarang kayu yang bisa diraih.

Ayu Sekar yang baru menyadari kelalaiannya segera menjauh dari tungku setelah api di ujung pakaian itu padam. Memandang sungkan ia kepada Ambar yang menatapnya ganjil.

"Duduklah di amben*, Diajeng."
[*Ranjang sederhana, dipan, balai-balai bambu]

Ayu Sekar menurut. Dilihatnya Ambar menjadi repot sendiri dengan api yang telah melorot sampai ke luar, setelahnya istri Jaka Barung itu mengambilkan air minum untuk si gadis yang tengah termenung di pinggir amben.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang