.
.Dengan tergesa-gesa, Nastiti menuju pintu utama. Tampak di sana putra Ki Paragak baru saja mengawasi sekitar kemudian berniat menutup pintu berdaun ganda tersebut.
"Tunggu! Tunggu dulu!" pekik Nastiti yang menghentikan putra Ki Paragak memasang palang.
Pemuda itu kemudian bertanya, "Ada apa, Nyi?"
"Aku akan keluar sebentar." Nastiti menjawab.
"Ke mana?"
"Ke suatu tempat. Nanti aku akan kembali."
Dibalas demikian membuat putra Ki Paragak terlihat berpikir. Ia mengawang sebentar ke sekitar. Lalu katanya lagi, "Tetapi, Nyi, ini sudah larut malam. Ke mana Nyi Nastiti akan pergi?"
"Aku hanya sebentar. Ada teman yang harus kutemui. Aku akan kembali ke sini. Jika Raden terlalu lelah, tidak perlu menungguku."
"Tetapi...," Putra Ki Paragak menimbang keputusan yang akan dibuatnya sembari melihat sekeliling. Ia berpikir akan memberitahukan perihal Nastiti kepada sang bapa terlebih dahulu. Bagaimanapun, Nastiti adalah titipan yang harus dijaga. Ia harus menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Akan tetapi, tampaknya si gadis sudah tidak mau berbasa-basi.
"Sudahlah, aku terburu-buru, Raden," kata Nastiti.
Nastiti segera memindahkan palang yang akan dipasang putra Ki Paragak. Lalu, ia melewati pintu yang sudah separuh tertutup itu kemudian segera berlalu.
Sementara, putra Ki Paragak memandang kepergian Nastiti dengan cemas dan bimbang. Kiranya para penghuni kediaman Ki Paragak telah terlelap sehingga ia tidak bisa meminta bantuan menghadapi Nastiti saat itu. Maka, tergopoh-gopoh ia menuju kediaman.
Mata bulat Nastiti mengawasi sekitar seraya berjalan cepat. Yakin bahwa keadaan aman, ia pun mengambil jalan yang menyimpang dari jalur utama. Sengaja gadis itu menyusuri kebun-kebun rimbun untuk menghindari penjagaan oleh para taruna desa. Aroma angin malam hari begitu kental dirasa. Dingin udara dienyahkan si gadis dengan sesekali membenarkan busur yang disampirkan di bahu sementara punggungnya sudah terdapat bumbung berisi anak-anak panah.
Kemudian, ketika sudah melewati ujung pemukiman, langkah Nastiti melambat sampai akhirnya terhenti. Ia menengok ke belakang. Matanya menjadi awas. Sikapnya waspada. Ada seseorang yang dirasa mengikuti dan ia tidak mungkin salah menduga. Maka, gadis itu berbalik penuh pada jalanan gelap nan lengang yang dilewati tadi. Hidungnya mengendus bau yang ada di sekitar.
Benak Nastiti sedikit was-was kala ia mengenal bau itu. Benar saja. Beberapa kedipan mata kemudian, satu sosok tiba-tiba melompat dari salah satu pohon. Sosok dengan busana serba hitam itu melangkah hingga hanya berjarak sekitar satu tombak dari Nastiti.
"Ke manakah Nyimas akan pergi?" tanya sosok itu dibalik wajah yang tertutup dan menyisakan sepasang mata.
Nastiti menelan ludah dengan berat. Ia menggenggam busur sebagai pengalih rasa gugup.
"Ah, aku hanya ingin menemui seseorang, Kakang Damar."
Seseorang yang ternyata Damar itu bergeming. Akan tetapi, patutlah Nastiti merasa lebih khawatir akan sikap salah satu telik sandi tersebut.
"Selarut ini? Lewat jalan belakang?" tanya Damar lagi.
Nastiti terdiam. Ia tidak menyiapkan jawaban untuk itu. Dipikirnya, putra Ki Paragak yang membocorkan kepergiannya. Namun, akhirnya ia menyangkal dugaannya sendiri karena menuduh orang sembarangan. Gadis itu melalaikan keberadaan Damar yang memang ditempatkan di kediaman Ki Paragak untuk menjaga. Sekalipun putra Ki Paragak tidak melapor, telik sandi itu pasti tahu. Ia hanya perlu menunggu waktu dan tempat yang tepat untuk mencegat Nastiti.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)
Historical FictionSebelum sang surya menyentuh ujung bumi, kalasangka akan ditiup kembali. Memanggil para kesatria untuk turun ke medan laga. Perang itu bukan untuk mereka, tetapi mereka akan menjadi bagian darinya. Sebagian menjadi saksi, sebagian akan mengukir seja...