Bab 17

692 91 3
                                    


Luka-luka yang diderita para prajurit itu dibebat kain usai dibersihkan dan diberikan obat. Beberapa prajurit juga terlihat beristirahat di sepanjang teras kediaman seorang buyut. Sebagian dari mereka bercakap-cakap, sebagian lagi memilih tiduran guna melepas penat. Usai bramacorah lari tunggang-langgang dari para anjing hutan, Anggara mencari permukiman terdekat. Dan baru pada pagi harinya, sebuah kabuyutan terlihat. Maka, di sanalah ia meminta bantuan untuk para prajurit juga menguburkan mayat-mayat di hutan.

"Ini adalah kejadian langka. Tidak pernah kudengar kawanan anjing itu menyerang manusia yang berkelompok apalagi dengan senjata dan obor di tangan. Mungkin mereka terlalu kelaparan. Tetapi, tetap saja itu adalah hal tidak biasa," ucap seorang walen seraya membebat lengan Anggara yang terluka.

"Senapati beruntung karena hanya luka ringan. Kebanyakan bramacorah yang kukubur mayatnya berakhir mengenaskan," sahut seorang warga yang membantu Anggara bersama prajuritnya untuk menguburkan mayat-mayat. Anggara sendiri telah kehilangan dua prajuritnya dalam penyerangan tersebut. Itu pun karena serangan bramacorah.

Seperti keterangan si walen, anjing-anjing hutan itu seolah-olah sama sekali tidak tertarik untuk menyerang rombongannya. Mereka menjadikan para bramacorah sebagai sasaran dan mengabaikan kehadiran Anggara dan prajuritnya. Di samping itu, ia kehilangan jejak si gadis pemilik panah yang entah bagaimana keadaannya.

"Katakanlah anjing-anjing itu tumpul taringnya selama berhadapan dengan Senapati," canda si walen.

Anggara menanggapi seperlunya. Ia masih terpikirkan sikap para baung yang begitu janggal, namun tiada waktu pula untuk mengusutnya. Selain itu, tinggal sehari lagi perjalanannya ke Haningan sehingga setelah pengobatan itu selesai, sang senapati segera menjalankan rombongannya kembali agar lekas sampai.

Seekor baung dengan corak hitam-kuning mengawasi rombongan senapati tersebut dari kejauhan. Manakala, rombongan itu bergerak, ia pun berbalik dan melesat ke dalam hutan. Anjing itu pun tidak biasa lajunya karena kecepatan yang di luar nalar. Lalu, sampailah ia kepada sosok perempuan bersanggul dengan berhiaskan mahkota. Anjing yang hitam-kuning itu pun seketika mengubah wujudnya menjadi sosok laki-laki muda yang gagah.

"Mereka baik-baik saja dan telah melanjutkan perjalanan. Ada pun yang tewas, karena perbuatan cecunguk-cecunguk alas itu, bukan karena kita," katanya kepada sosok perempuan bersanggul yang merupakan Ratu Charwani, penguasa siluman anjing.

"Nah, kau dengar sendiri, Bhargawala! Tidak ada satu pun anak-anakku yang melukai rombongan prajurit itu. Pratalimu pun telah aman di tempatnya. Aku telah menuntaskan janjiku dulu kepada Prabu Kauki yang telah menyelamatkanku dari pemberontakan sehingga tidak ada lagi balas budi yang tertinggal," jelas sang ratu.

Bhargawala yang mendengar itu mengangguk paham.
"Terima kasih atas kesediaan Ratu," katanya.

Setelahnya, Ratu Charwani memerintahkan kawanan anjingnya untuk meninggalkan si siluman gagak. Bhargawala sendiri memilih berlalu dari tempat tersebut karena harus kembali mengawasi pratalinya.

~~~

Rencana pelarian Bhayanaka dimulai dari kulah yakni ketika si pemuda hendak membersihkan diri. Kulah yang dekat dengan hutan jati bisa mempermudah pelarian tersebut dan semuanya telah disiapkan oleh Sanjaya.

"He, kenapa airnya habis? Kau tidak mengisinya tadi?" Seorang prajurit pamanjaran yang mengawal Bhayanaka bertanya manakala jambangan tempat air kosong melompong. Obornya diarahkan ke wadah air karena hari yang telah larut damar di sudut kulah sama sekali tidak membantu.

"Kami mengisinya dengan penuh sebelum surya tenggelam tadi." Prajurit yang lain menjawab.

"Tetapi ini kosong sama sekali!" debat prajurit sebelumnya.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang