Bab 93

350 63 14
                                    

.
.

Cincin yang melingkar di jemarinya itu diputar-putar tetapi tidak sampai dilepas. Tatapan Lembayung hampa, tidak jelas mengarah ke mana. Pikirannya mengambang sampai tidak menyadari bahwa Nastiti sudah mendekat. Gadis itu pun mengambil tempat di samping Lembayung. Ia amati apa yang sedang dilakukan sahabatnya.

"Yunda," panggil Nastiti.

Panggilan itu membuyarkan lamunan Lembayung. Ia beringsut.
"Apakah makhluk yang kausebut tadi sudah pergi?" tanyanya berbasa-basi.

"Sudah, Yunda. Mereka baru saja melepasnya. Yunda tidak perlu khawatir lagi."

Lembayung mengucap syukur. Ia sempat cemas ketika mendengar dari beberapa pelayan Ki Paragak tentang adanya siluman yang memasuki kediaman.

"Yunda," panggil Nastiti lembut. "apa yang Yunda pikirkan tadi? Yunda tampak murung seharian ini. Apa Yunda tidak enak badan?"

Lembayung tersenyum kemudian menggeleng. Ia bebaskan jemarinya yang bermesraan dengan si cincin. Yang demikian membuat Nastiti memahami apa yang menjadi penyebab sahabatnya itu terlihat muram sepanjang hari. Ia pun menggamit tangan gadis calaina tersebut.

"Yunda, apa Yunda belum bisa melupakan Kakang Abisaka?" tandas Nastiti.

Hati Lembayung berdesir ketika nama itu disebut. Ada perasaan tidak nyaman yang mengganggu.

"Apakah Yunda belum merelakannya?"

Pertanyaan itu seakan-akan menghunjam benak Lembayung. Ia segera merasa bersalah kala menyadari hal tersebut. Gadis itu sadar bahwa hatinya telah lama menerima jalan takdir, tetapi ada hal lain yang menggelayut di dada. Lembayung memang berhasil melepaskan masa lalunya, namun ia gagal menutup hati. Berulang kali ditanamkannya dalam diri, tidak akan lagi ia menerima laki-laki lain. Akan tetapi, kehadiran seseorang yang tidak disangka membuat pegangan hidupnya itu goyah. Kenyataannya, ia begitu khawatir ketika pemuda itu dikatakan terluka parah. Selama beberapa waktu menjaga, tidak sekalipun nama pemuda itu lolos dari doanya.

Pernah dalam satu malam, ia bermimpi buruk tentang si pemuda. Kala terbangun, Lembayung menangis sampai sesenggukan. Dari sana ia menyadari sesuatu. Bahkan, berapa kali pun berusaha mengingkari, tindakannya sudah menerangkan segalanya.

"Nasti, aku tidak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Ini benar-benar menyiksa. Aku telah merelakan mereka semua. Aku ingin memasrahkan diri pada Sang Pencipta. Tetapi...."

Tanpa dilanjutkan, Nastiti mengerti apa yang dimaksud Lembayung. Gadis itu menggenggam erat tangan sahabatnya. Bukanlah rahasia jika ada sesuatu antara Lembayung dengan Anggara. Kenyataan bahwa mereka berdua datang bersama, terlebih perhatian yang diberikan si pemuda kepada si gadis calaina sangat berbeda. Sekalipun Nastiti tidak begitu menyukai sikap sang senapati padanya dulu, tetapi ia bisa melihat pancaran rasa dari mata pemuda tersebut kepada Lembayung. Hal itu membuatnya teringat pada dirinya sendiri. Mungkin akan lebih mudah menerima perasaannya pada Nawala jika dia bukan setengah siluman.

Yang demikian mendorong Nastiti untuk memberikan dukungan pada sahabatnya. Ia merasa Lembayung pantas menerima yang terbaik untuknya sendiri. Maka, gadis itu mulai memberikan semangat semampunya.

"Yunda, aku memang tidak mengerti bagaimana hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta. Aku pun tidak mampu memahami bagaimana rasa itu ditanamkan pada hati kita. Tetapi, jika Dia sudah memberikan anugerah itu, kenapa Yunda ingin menolaknya? Kenapa Yunda harus menipu hati? Berikanlah kesempatan kepada diri sendiri, Yunda. Yunda berhak mendapatkannya. Begitu pun Raden Anggara," tutur Nastiti.

Mata penuh kelembutan milik Lembayung mulai meneteskan air mata. Gadis itu tergugu-gugu kemudian. Baru kali itu benaknya merasa lega. Tidak ada lagi beban yang menggelayut. Ia biarkan Nastiti merengkuhnya. Malam itu ia tumpahkan semua. Malam itu, si gadis calaina telah benar-benar melepaskan segalanya di belakang sana.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang