Bab 71

697 103 38
                                    


Sesampainya di sana, ternyata tempat itu memang dijadikan bocah-bocah penggembala untuk merumput ternak mereka. Nawala mengambil tempat di dekat pategalan yang ditanami tebu, yang mana sepi manusia.

Segera saja ia mulai mengajari Nastiti cara menunggang kuda setelah sebelumnya memberikan dasar-dasar berkuda. Memang butuh kesabaran, apalagi yang dihadapi adalah Nastiti yang notabene belum pernah menyentuh hewan tangguh tersebut. Beberapa kali si gadis terjatuh saat berusaha naik di punggung si kuda, membuat beberapa bocah penggembala mentertawainya. Yang demikian membuat Nastiti jengah juga.

"Aku tidak mau berkuda lagi, Nawala. Ini membuatku bosan."

Nawala menenangkan si kuda yang mulai gelisah karena calon penunggangnya begitu pecicilan.
"Lalu?"

"Bagaimana kalau kita memanah?"

"Aku tidak membawa panahan. Itu tertinggal di pelana Jalu."

"Oh, kita bisa memakai panahku."

"Boleh aku lihat anak panahmu?"

Nastiti mengambil satu anak panahnya kemudian menyerahkannya kepada si pemuda. Tampak pada wajah Nawala yang mengamati dengan saksama.

"Kenapa?"

Nawala mengembalikan anak panah milik Nastiti.
"Anak panahmu terlalu pendek untukku," jawabnya dengan senyuman. "Tetapi, punyamu itu cukup unik. Ada semburat hitam di ekornya. Apakah itu jika aku boleh tahu? Apakah hanya semacam penghias?"

"Tentu tidak. Warna hitam di sana adalah racun."

Seketika raut wajah Nawala berubah.
"Racun? Jadi, panahmu itu mengandung racun? Apakah mematikan?"

Nastiti menggeleng pelan, gadis itu juga heran mendapati Nawala yang menjadi tegang.
"Tidak, tidak mematikan. Hanya sebagai pelumpuh saja. Pengaruhnya akan hilang dalam beberapa hari, kecuali jika terkena bagian yang penting dalam tubuh kita."

Langsung luruh bahu Nawala ketika mendengarnya. Pikirannya sudah bercampur aduk tadi. Jika senjata Nastiti itu mengandung racun mematikan, tentunya perasaan bersalah yang berlipat-lipat akan terus menghantui sepanjang umur karena telah melukai sahabatnya sendiri.

"Kenapa?"

"Tidak, tidak apa-apa. Aku hanya terkejut saja. Bagaimana jika kita latihan pedang?" ujar Nawala mencoba mengalihkan perhatian.

Tampak pada wajah si gadis yang tengah menimbang-nimbang usulan Nawala.
"Entahlah. Aku pikir akan meminta bantuan Bhargawala untuk mengajariku jika aku sudah siap."

Nawala berdecak.
"Kenapa harus menunggu siap untuk melakukan sesuatu? Mulai saja dahulu, jika menunggu siap kau tidak pernah memulainya. Lagi pula, kau harus belajar mandiri, tidak usah terlalu bergantung pada pengawalmu. Kalau untuk berlatih pedang, aku pun bisa mengajarimu. Aku adalah seorang Gusti Raden, ingat?"

Nastiti mencebik mendengar kata-kata si pemuda yang jumawa. Tetapi, ia setujui saja pendapatnya. Maka, Nawala pun mengikat si kuda agak jauh dari tempat mereka berlatih, menitipkannya kepada seorang bocah penggembala dengan iming-iming jambu air yang buahnya terlalu tinggi untuk dijangkau oleh anak-anak.

"Kita tidak menggunakan pedang?" tanya Nastiti ketika Nawala menyodorkan sebuah ranting kayu sebagai pengganti pedang.

"Untuk pemula sepertimu cukup memakai kayu dahulu. Kau mau tanganmu terpotong pada hari pertama latihan?"

Nastiti menggeleng cepat dan segera menyambut si ranting kayu, membuat Nawala tertawa kecil.

"Pertama-tama, kau harus bisa memegang pedang dengan benar. Sesuaikan tanganmu dengan bentuk ganggang pedang yang berbeda-beda, tetapi dasar memegangnya adalah sama, kau harus kuat dalam mencengkram namun, tidak boleh terlalu kaku."

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang