Brama Kesumat

312 56 0
                                    

Di sebuah tempat pelatihan yang telah disediakan pada keraton Walingan, bersebelahan dengan lahan yang ditumbuhi berbagai macam buah-buahan, di sana telah bersila dua orang laki-laki. Yang satu tampak lebih tua, lebih matang perawakannya sebagai lelaki dewasa. Satu lagi terpaut cukup jauh usianya, masih belasan tahun. Dengan berhadapan, mereka sama-sama terpejam, kedua tangan rapat di masing-masing ujung lutut. Tidak ada suara akibat manusia, karena tempat itu memang khusus untuk mereka berdua.

Pada diri laki-laki yang masih belia, yang tidak lain adalah Raka Gangsar, awalnya berhasil menangkap suara dedaunan yang tergesek angin, jatuhnya sehelai daun kering dari sebuah pohon di tanah hingga rayap yang menggerogoti pohon rambutan di samping kirinya. Akan tetapi, kemudian sayup-sayup suara-suara itu lenyap. Raka Gangsar bersikeras mengambil kembali pusat pikirannya tetapi yang demikian malah menyebabkan bocah itu semakin terganggu sampai alisnya terpaut dan keningnya sedikit mengerut. Bocah itu menelan ludah dengan berat.

"Apa yang menyebabkan Anda begitu gelisah, Raden?"

Ketika laki-laki dewasa di depannya bersuara, sirna sudah usahanya mengembalikan pemusatan pikiran. Raka Gangsar mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Dengan pelan pula, ia membuka mata. Dan, terlihat olehnya, laki-laki dewasa di depannya, yang menjadi gurunya itu menatapnya tenang, mungkin juga menyiratkan senyuman tanda maklum walau tidak kentara.

"Maaf, Paman Patria, saya memang memikirkan sesuatu," jawab Raka Gangsar dengan jujur.

Patria mengangguk, secara samar.
"Jika boleh hamba tahu, persoalan apa yang membuat Raden terusik hingga tidak bisa melanjutkan latihan untuk menguasai Bhumi Warta? Apakah Raden merasa bosan?"

Raka Gangsar tidak segera menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Patria. Bocah itu menunduk saja hingga helaan napas panjang tampak dari dadanya yang naik-turun. Jika boleh jujur mengenai latihan, memang bocah itu merasa bosan. Sejak pertama berlatih bersama Patria, Raka Gangsar merasa tidak ada perkembangan yang pesat. Dia merasa Patria begitu lamban untuk mengajari inti sari ajian-ajian dahsyat yang dimiliki.

Terlebih, ketika di Galung Asri, dirinya belum tuntas dalam mengambil semua ilmu yang diajarkan. Membuatnya merasa setengah-setengah dalam mencari ilmu. Akan tetapi, sebenarnya bukan itu yang membuat Raka Gangsar gelisah. Hingga akhirnya, ia pun mengeluarkan uneg-uneg yang selama ini terpendam.

"Saya sedang memikirkan Ayahanda. Juga pamanda dan Bibi Ratih Padmawati. Mungkin juga, segala hal di Hanimpura akhir-akhir ini memang menjadi pikiran bagi saya. Tidakkah Paman merasakan hal yang sama?"

"Apakah maksud Raden sebenarnya?" Patria kembali bertanya.

"Tidakkah Paman merasa, jika Ayahanda selalu murung akhir-akhir ini?"

Patria terdiam sejenak.
"Memang, Raden. Tetapi, mungkin itu karena beliau merasa kesepian. Seperti yang kita ketahui, Raden Mas Danendra begitu mengasihi ibunda Raden Raka," jawab Patria kemudian.

"Saya mengerti akan hal itu, Paman. Oleh karena itu, Ayahanda memutuskan untuk menjadi pertapa. Walau saya merasa keputusan itu terlalu cepat. Bukankah Walingan masih membutuhkan kepemimpinan beliau? Jika untuk menenangkan diri, beliau tidak perlu menjadi pertapa. Bagaimana menurut Paman? Mungkin Paman bisa memberikan saran atau nasehat sehingga Ayahanda tidak perlu pergi dari Walingan. Saya merasa masih membutuhkan bimbingan beliau."

Patria menatap sendu pada Raka Gangsar di depannya lalu menurunkan manik matanya hingga pusat perhatian lelaki itu kini adalah tanah berumput jarang. Bocah itu memang memerlukan bimbingan lebih dari Danendra. Ia terlalu muda untuk ditinggal sekarang. Akan tetapi, segalanya telah diputuskan berdasarkan keinginan junjungannya sendiri, maka ia pun tidak bisa berbuat apa-apa. Teringat pula padanya, tentang perbincangan yang terjadi antara dirinya dan Danendra beberapa waktu setelah putusan Aditya Seta dilontarkan.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang