Bab 42

551 87 29
                                    


Kawasan yang dilalui kelompok Nawala saat ini merupakan hamparan lembah yang luas. Telah berhari-hari mereka menyusurinya, tetapi belum jua sampai ke wilayah Gunung Kawi. Wajah muda-mudi itu tampak kelelahan bahkan kantung mata mulai terlihat karena kurangnya istirahat. Kulit mereka pun memerah karena seringnya terbakar rawi. Namun demikian, tiada surut pula semangat mereka untuk menuju tujuan.

Nawala mendongak manakala melihat bayangan gagak yang melintas. Matanya menyipit untuk mengamati.

"Rasa-rasanya gagak itu mengikuti kita," katanya.

Yudharangga pun turut memperhatikan gagak yang berkoak ketika telah menjauh.

"Hanya perasaanmu saja. Bukankah wajar ada banyak burung berkeliaran?" tanggapnya.

"Ya, tetapi gagak itu terlihat ganjil. Bukankah itu sama dengan yang kita temui di Gunung Kampud?"

Yudharangga enggan membalas. Ia mengira kawannya itu sedang menghidupkan suasana yang sepi karena semuanya terpusat kepada perjalanan yang panjang. Sementara itu, Nastiti berharap-harap cemas karena bagaimanapun ia tahu bahwa gagak yang dibicarakan Nawala memang mengikuti mereka. Kesal pula ia dengan Bhargawala yang tidak mau menyerah untuk membujuknya keluar dari kelompok para pemuda tersebut.

"Kau ingin istirahat? Cuacanya panas terik!" Yudharangga akhirnya menyarankan sehingga Nawala mengedarkan pandangan. Mereka telah melewati wilayah pohon lebat dan kini menyusuri padang penuh rerumputan tinggi yang terhampar di depan mata. Matahari pun sedikit lengser ke barat, tetapi cahayanya masih begitu menyengat kulit.

"Ya, aku rasa istirahat sebentar tidak mengapa." Akhirnya Nawala menyetujui.

Namun baru saja akan menentukan tempat, seekor gagak berkoak nyaring berkali-kali. Hal itu tentu saja membuat para pemuda mengalihkan perhatian kepada si burung hitam.

"He, katakan padaku itu bukan gagak yang sama seperti yang melintas tadi," ujar Nawala.

Yudharangga pun masih mengamati si burung yang kini mengitari mereka sembari terus menyuarakan suaranya yang parau tanpa henti.

Berbeda dari dua rekan seperjalanannya, Nastiti mendengarkan dengan baik apa pun yang disampaikan sang jagapati. Bahwasanya, ada sekelompok orang menuju ke arah mereka. Dan kelompok itu bukan terdiri dari manusia, tetapi juga beberapa siluman. Berdesir benak Nastiti dibuatnya terlebih ketika Bhargawala memintanya untuk segera pergi karena kelompok itu datang bukan untuk perdamaian.

"Kakang Yudharangga...," ucap Nastiti yang segera membuat si pemilik nama menoleh, "kita harus segera pergi dari sini!"

"Apa yang kau bicarakan?" tanya Nawala.

"Kita harus pergi! Lekaslah!"

Tanpa menunggu, Nastiti segera menyambar tangan Yudharangga sehingga mau tidak mau turut pula Nawala untuk berlari. Di saat pelarian itu terdengar lagi koakan gagak yang melintasi muda-mudi tersebut.

"Ke arah hutan! Cepat!"
Demikian perintah Nastiti yang entah mengapa dituruti saja oleh pemuda lainnya.

Nawala yang kini berada di barisan paling belakang mengamati si burung hitam. Gagak itu seolah-olah mengawal mereka dari udara. Kemudian beralih pandangannya kepada si gadis sehingga sebuah dugaan pun terlintas.

Tubuh Nastiti tiba-tiba ditarik ke samping, bersamaan dengan terdengarnya ledakan. Bergulingan gadis itu dengan Nawala hingga setelah mampu menguasai diri, tampak bahwa kelompok pengejar yang dinyatakan Bhargawala telah menyusul. Ia bahkan melihat Nawala sudah menyiagakan senjata, demikian pula Yudharangga. Para pemuda itu paham bahwa mereka tidak bisa melanjutkan pelarian.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang