Bab 35

506 88 3
                                    


Koakan gagak.

Itulah suara pertama yang menyadarkan Nastiti dari tidur lelapnya.
Ia baru saja bangkit dari tanah tempatnya berbaring semalaman ketika lengannya tiba-tiba dicekal dan ditarik paksa.

"Kita harus pergi!"

Gadis itu bahkan tidak diberi kesempatan untuk sekadar menyahut. Tarikan itu sangat kuat sampai hampir di sepanjang jalan kakinya terantuk-antuk. Untung saja embun pagi sedikit membantu menyegarkan pikiran sehingga disadarinya pula bahwa jalanan turun-naik yang tidak rata itu masih berkabut.

Nastiti tidak sempat bertanya kenapa mereka harus berlari, tetapi ia biarkan si jajaka lancang menariknya untuk mengikuti ke mana langkahnya mengarah. Koakan gagak yang melintasi mereka dari atas membuat Nastiti mendongak, raut wajah tidak suka ditampakkannya kemudian.

"He, mengapa kita berlari? Apa ada sesuatu?" tanya Nastiti di tengah kesibukannya menghindari bebatuan serta tanaman liar.

"Kita dikejar!" jawab Nawala singkat.

"Siapa yang mengejar kita? Dan kenapa?"

Alih-alih mendapatkan jawaban, telinganya menangkap suara-suara di belakang sana. Sedikit kacau pendengaran Nastiti karena ia juga harus mendengar detak jantung dan napas memburu mereka yang berlari di depan, termasuk dirinya. Tidak lama, suara-suara itu menghilang, berganti bebauan sekitar. Bau tanah, rumput, lumut, embun, juga bau manusia.

Nastiti mengibaskan kepala yang terasa pening akibat serbuan indra yang menajam.

"Tunggu dulu! Kita perlu berhenti!" seru Nastiti.

Beberapa langkah kemudian, barulah Nawala menghentikan langkah dan melepaskan cengkeramannya atas Nastiti. Terlihat jejak jemarinya yang memerah di kulit kuning langsat si gadis.

Napas Nastiti tidak beraturan. Diredamnya rasa pegal di kakinya dengan membungkuk sementara kedua tangannya menumpu pada lutut masing-masing. Dirinya memang terbiasa mengeluarkan tenaga, tetapi tidak dalam keadaan mendadak seperti ini.

"Sebenarnya mengapa kita berlari?" tanyanya lagi.

Nawala bersitatap dengan Yudharangga yang juga terpaksa berhenti. Sebilah keris telah digenggam pemuda itu guna menebas ilalang dan tanaman penghalang lainnya. Sementara Nawala sendiri telah bersedia mengeluarkan pedang Nagasangkar dari sarungnya.

"Kita harus terus berlari, Nyisanak. Mereka akan menangkap kita!" jawab Yudharangga.

"Kenapa aku juga harus berlari? Memangnya apa salahku hingga harus ditangkap?"

Nawala mendecak. Dia kesal karena gadis itu memperlambat perjalanan mereka. Tetapi, lebih kesal lagi ketika menyadari bahwa dirinyalah yang menyeret gadis itu secara tiba-tiba. Si jajaka hanya mengikuti nalurinya.

Ketika gemuruh terdengar, pemuda itu tahu harus segera meninggalkan tempat. Maka, kembali ia menyeret si gadis untuk turut melarikan diri.

Gadis itu mungkin tidak bersangkut paut dengan masalahnya. Akan tetapi, andai tertangkap para prajurit di bawah sana, si gadis bisa saja mendapatkan hukuman

Sementara itu, di belakang sana telah tampak bintik-bintik api yang seolah-olah berjalan merambat bagai ular.

"Apa itu? Banaspati?" tanya Nastiti ketika ditengoknya ke belakang.

Penglihatannya masih terhalang sempurna oleh kabut, tetapi cahaya-cahaya api dari obor berusaha menembusnya sehingga yang tampak adalah serupa titik api berbentuk lonjong yang meliuk-liuk.

"Ya, itu banaspati yang akan menghanguskan kita jika berhenti! Lari lebih cepat!" utus Nawala.

Nastiti sendiri bagai kerbau dicucuk hidungnya, menurut saja ke mana si jajaka lancang membawanya.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang