Bab 44

569 93 14
                                    

"Ha-na-ca-ra-ka."

"Da-ta-sa-wa-la."

"Pa-dha-ja-ya-nya."

"Ma-ga-ba-tha-nga."

Dengan mata berbinar, gadis berusia sepuluh warsa itu menyerahkan beberapa sobekan daun pisang yang telah penuh aksara kepada Bhargawala. Dimainkannya sebuah ranting luntas sebagai alat menulisnya ke atas tanah sembari menunggu hasil penilaian.

Senyum tipis tersungging manakala tulisan sang pratali telah sesuai dengan yang diharapkan. Nastiti muda telah lulus dalam hal membaca dan menulis bahkan mampu mempelajari aksara beberapa kerajaan. Sebuah pencapaian yang sangat memuaskan dan Bhargawala tidak perlu terkejut mengenai hal tersebut.

"Jadi, aku lulus?" tanya Nastiti lalu mengulas senyum.
Dan anggukkan sang pengawal membuat senyum itu semakin melebar.
Seketika diulurkan tangan kanannya, seolah-olah meminta sesuatu.

"Kalau begitu, aku sudah diijinkan memakai senjata, bukan? Sesuai janji," katanya.

"Menurut hamba, lebih baik jika Gusti Ayu mempelajari beberapa ilmu kanuragan lebih dahulu. Hal itu akan sangat membantu untuk menggunakan senjata nantinya dengan mudah." Bhargawala menyarankan.

"Begitukah?" Nastiti menurunkan tangannya, lalu menopang dagu sebelum kembali berujar, "Baiklah, aku akan belajar ilmu kanuragan."

"Tetapi, hamba meminta satu hal kepada Gusti Ayu."

"Apa itu?"

"Jika telah berhasil menguasai ilmu-ilmu tersebut, Gusti Ayu tidak diperkenankan menggunakannya secara sembarangan, apalagi untuk diketahui manusia lain."

Kening Nastiti mengerut mendengarnya. Kemudian tanyanya,
"Bahkan untuk membela diri?"

"Hamba bisa melindungi Gusti Ayu," jawab Bhargawala.

"Aku tahu, tetapi bagaimana jika keadaannya memaksa? Semisal kau sedang kembali ke Prasada Mega lalu aku kesulitan? Semisal dikejar macan?" tandas si gadis.

Terdiam cukup lama Bhargawala setelahnya sehingga si gadis menjadi tidak sabar.

"Boleh?" tanyanya dengan sikap mendesak.

"Ya, Gusti Ayu."

Berbinar manik si gadis mendengar jawaban yang memuaskannya tersebut sehingga semakin bersemangat pula ia dalam menimba ilmu.

Hari menuju sasi*, sasi menuju warsa, masa-masa itu dihabiskan Nastiti muda menjalani pendadaran dari pengawalnya. Secepat belajar aksara, secepat itu pula ia menguasai beberapa ilmu dasar yang diajarkan. Hingga tibalah ia menggunakan senjata.

[Sasi: bulan]

Netranya sibuk bergerak ke kanan lalu ke kiri dengan gerakan lambat. Diamati sampai bagian terkecil senjata-senjata dalam berbagai bentuk dan ukuran di atas tanah, sesekali ia angkat senjata itu, mengamatinya lalu diletakkan kembali.

Semua senjata yang disodorkan sang jagapati membuat bingung, tetapi ia memang harus memilih.
Pedang pendek, trisula, tombak, cambuk, lameng, keris kembar, busur lengkap dengan anak panahnya, dan masih banyak lagi. Semuanya terlihat menggoda untuk dimiliki. Hingga beberapa kedipan mata kemudian, barulah kedua tangannya memilih. Tangan kanannya memegang busur sementara yang kiri memegang tempat anak panah beserta isinya.

"Aku pilih yang ini," putus Nastiti.

Bhargawala mengangguk pelan, bersamaan dengan itu semua senjata lain yang tidak terpilih menghilang.
"Boleh hamba tahu kenapa Gusti Ayu memilih panah?"

Nastiti menimbang sebentar busur tersebut, senyum manis terukir pada bibir mungilnya.
"Karena aku suka. Aku bisa menggunakannya untuk menangkap alas alas, celeng atau kijang. Para laki-laki di dusun juga sering menggunakan senjata ini untuk memburu. Aku rasa senjata ini lebih banyak kegunaannya."

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang