Bab 39

521 81 9
                                    


Isak tangis masih terdengar dalam pedati itu. Beberapa gadis yang baru diangkut terpekur ketakutan. Jumlah mereka semakin bertambah semenjak membuat kerusuhan di sebuah pesta perkawinan.

Mereka memang diculik secara terang-terangan. Beberapa diambil dari rumah, ladang, atau pinggir jalan ketika hendak pulang dari sungai. Satu-satunya yang diambil dari pesta adalah Lembayung. Dirinya berada di antara gadis-gadis yang entah dari dusun mana. Lembayung tidak mengenal suara mereka. Dia bahkan masih belum tahu apa yang terjadi dan mengapa ini bisa terjadi. Pikirannya melanglang jauh ke orangtuanya dan Abisaka.

Dia menolak naluri yang menyatakan bahwa telah terjadi sesuatu kepada orangtua dan calon suaminya. Gadis buta itu hanya ingin percaya bahwa mereka baik-baik saja. Dan Abisaka pasti mencarinya.

Lembayung menyentuh sebuah cincin emas bermata putih di jemari kiri, tanda cinta dari sang kekasih dulu. Airmatanya menetes jua. Tidak berapa lama, pergerakan pedati terhenti. Para gadis yang ada di dalam seketika semakin ketakutan. Biasanya akan ada gadis-gadis tambahan dengan teriakan, gertakan, kadangkala dengan pukulan pula.

"He, kalian yang di dalam! Jika ada yang ingin makan, minum, atau buang hajat silakan lakukan di sini sekarang juga!"

Demikian perintah para bramacorah itu. Meski demikian, tiada pula yang berani keluar dari pedati. Ada kalanya kawan-kawan mereka tidak kembali atau kembali dalam keadaan tidak baik karena katanya berusaha melarikan diri. Namun demikian, ada pula segelintir yang mengabaikan itu semua dan memilih memanfaatkan sedikit keleluasaan tersebut.

Pada saat itu, Lembayung ingin pula keluar untuk sekadar menuntaskan dahaga. Meraba-raba ia pada dinding pedati. Tiada yang membantu dari pihak gadis-gadis karena mereka tidak sempat memikirkan orang lain. Sehingga Lembayung yang harus menolong diri sendiri.

"He, kau! Apa yang kau lakukan?" bentak salah satu bramacorah yang mengagetkan si gadis.

"Geblek! Dia itu buta! Lihat saja matanya!" Kawan bramacorah itu menegur.

Lembayung urung jua meneruskan niat sehingga memilih berdiam diri.

"Kata Ki Rowot, sebelum keluar dari hutan ini, kita harus mencari sumber air. Gadis-gadis itu perlu dibersihkan agar layak ketika diserahkan kepada Ki Nagapeti nanti."

"Kau tahu mengapa Ki Nagapeti menyuruh kita mencari gadis perawan? Maksudku, ini di luar kebiasaan kita."

"Apa kau sungguh tidak tahu? Aku dengar Ki Nagapeti melakukan ini untuk perempuan yang ia sukai. Dan perempuan itu penyembah siluman, jadi dia butuh gadis untuk ditumbalkan."

Percakapan dua begundal itu sampai pula kepada telinga Lembayung sehingga menjadi terang maksud para gadis diculik. Gemetar tubuhnya sehingga kedua tangannya memeluk diri sendiri. Tidak lagi ia pedulikan pupur yang luntur karena airmata yang terus berderai. Mana ia sangka apabila dirinya akan menjadi tumbal siluman?

Pedati itu pun bergerak kembali, tetapi kali ini Lembayung seolah-olah tidak memiliki daya untuk merasakan guncangan-guncangan. Tubuhnya seakan-akan mati rasa untuk merasakan pegal. Pikirannya pun selayaknya orang linglung karena tampak tanpa binar di matanya. Usai mengetahui rahasia para bramacorah tadi, pupus pula harapannya untuk hidup. Apalagi dalam keadaan yang tidak bisa melihat. Gadis itu pasrah kepada kematian yang telah sedia di depan mata.

Sekian lama menempuh perjalanan, pedati itu kembali berhenti. Lembayung bahkan sudah menyangka telah tiba di tempat penumbalan. Digenggam jaritnya kuat-kuat ketika mendengar seruan dari luar.

Sementara itu di luar sana, rupa-rupanya rombongan bramacorah itu dicegat sekelompok besar orang-orang keprajuritan. Piranti yang dipakai pun mencerminkan bahwa mereka adalah yang sebenar-benarnya prajurit.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang