Bab 88

362 66 25
                                    

.
.

Bale agung Hanimpura siang itu kembali dipenuhi manusia-manusia pemangku jabatan. Tumenggung, senapati serta pejabat dalem kedaton, semuanya berkumpul untuk memenuhi panggilan. Sementara itu, tampak Raka Gangsar di singgasana, diapit beberapa menteri. Sepasang matanya menatap tegas seluruh penghuni bale. Adapun salah satu bahasan dalam pertemuan itu adalah hal yang disampaikan utusan dari Malwapati beberapa waktu lalu. Tragedi yang menimpa Galung Asri nyatanya mendapat peringatan keras dari banyak pihak, terutama para bangsawan. Mereka menyimpulkan bahwa penyerangan padepokan tersebut tidak patut dilakukan hanya karena kecurigaan semata. Akibatnya, tidak sedikit dari para bangsawan itu yang merasa sakit hati sebab kehilangan putra, putri, atau kerabat mereka. Hal tersebut memaksa Malwapati bertindak dengan mengirimkan utusan. Akan tetapi, sampai utusan kedua datang, Bhre muda Haningan tidak jua memenuhi panggilan.

"Kita tidak bisa lagi bergantung di bawah kekuasaan Malwapati," ucap Raka Gangsar. "Malwapati semakin melemah setelah tragedi Getih Abang."

Para pejabat yang tercatuk di lantai masih menyimak. Mereka menunggu waktunya dipersilakan.

"Contohnya bisa kita lihat dari Kriyak. Kerajaan itu sekarang terbelah. Paduka Bhatara di sana tidak mampu mengatasi pertikaian keluarganya sendiri sementara sang Raja terlalu lama memberikan keputusan."

Raka Gangsar mengedarkan pandangan, mengamati satu per satu wajah para pengikutnya yang sebagian besar mengangguk-angguk.

"Jika terus begini, kita tidak akan bisa berkembang," lanjutnya.

Yang demikian agaknya menjadi pertimbangan para pemangku jabatan di bale agung. Sejatinya mereka memang telah sepemikiran dengan junjungannya. Ketika itu, Raka Gangsar telah memberikan kesempatan bagi beberapa pejabat untuk menyampaikan uneg-uneg. Adapun Tumenggung Sengkaling adalah yang pertama mengajukan diri. Sang tumenggung mengaturkan sembah hormat sebelumnya.

"Saya sangat menyetujui pendapat Bhre Aruna Atyanta. Kiranya, melalui pengamatan saya beberapa sasi terakhir ini, keadaan daerah-daerah bawahan Malwapati mulai terusik dengan para perampok yang semakin meraja lela. Kendati demikian, Paduka Raja agaknya tidak peduli pada hal tersebut."

Mengetahui rekannya sudah bergerak, Tumenggung Kawisan turut menambahkan. Ia sampaikan pula apa yang menjadi tugasnya.

"Saya juga menyetujui hal tersebut. Ditambah lagi yang saya dengar, Paduka Raja Malwapati tidak bisa menjaga hubungan baik dengan Kadiri. Hal itu tentu akan berdampak pada nagara-nagara bawahan. Padahal Kadiri merupakan kerajaan besar, yang tentu saja akan berdampak sangat menguntungkan bagi kita dan nagara bawahan lainnya jika Paduka Raja mampu menjalin kerjasama yang baik. Contoh saja Kuningan. Keprajuritan dan tata laksana pemerintahannya berkembang pesat karena mereka bisa menjaga kerukunan dengan pihak Kadiri."

Senyum terbit di wajah Raka Gangsar kala para pemangku jabatan mulai terpengaruh pernyataan-pernyataan para sekutunya. Banyak dari mereka yang menyetujui pendapat dua tumenggung tersebut.

"Ampun, Bhre Aruna. Lalu bagaimana dengan panggilan itu? Malwapati tidak akan diam melihat kita mengabaikan perintah mereka. Dalam satu atau dua pekan, Malwapati bisa saja mengirimkan pasukan untuk menghukum Haningan karena dianggap mbalelo."

Ucapan dari seorang akuwu itu tidak membuat wajah tenang Raka Gangsar luntur. Ia ambil napas perlahan sebelum menjawab.

"Kita tidak perlu takut kepada Malwapati karena aku telah memutuskan untuk bergabung dengan Kadiri."

Gumaman-gumaman dari para pejabat terdengar seperti dengungan tawon. Walau demikian, Raka Gangsar membiarkan saja sampai hal itu mereda dengan sebuah pernyataan.

MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang