.
.
Anak sunti merinai di pinggiran kali. Ia menanti biyungnya di seberang sana yang sedang mencuci bayam. Kaki-kaki kurus yang terendam air kali sampai semata kaki itu bergoyang silih berganti, berkecipak. Bagaskara yang menyengatkan cahaya sorenya membuat kulit cokelat si anak sunti mengilap. Senandung si anak tiba-tiba terhenti tatkala ia melihat sesuatu yang menarik. Kurang lebih sepuluh langkah, tampak seekor gagak sedang berada di tepian kali yang kala itu surut.Mula-mula, si anak sunti merasa ragu atas keinginannya mendekati si gagak, tetapi ketika merasa burung hitam itu tidak acuh padanya, si anak bangkit perlahan. Satu langkah, si gagak yang agaknya ingin meminum air kali sebening embun itu masih abai. Langkah kedua, si gagak menoleh, membuat si anak sunti berhenti tetapi kemudian melangkah lagi kala melihat burung penanda kematian itu bergeming.
"Kau ingin minum?" tanya si anak sunti kepada gagak.
Yang ditanya hanya menggerak-gerakkan kepala, merasa heran dengan manusia tanggung di depannya.
"Kali itu cukup dalam, apa kau bisa mengambil air sendiri? Aku pikir kau bisa terperosok nanti. Kalau kau mau, aku akan membantu." Si anak berceloteh tetapi si gagak tidak jua membalas.
Akhirnya, si anak sunti melompat pendek ke kali, ia celingukan sebentar sampai mendapat daun nangka setengah kering yang tersangkut rerumputan liar di dekat aliran. Ia tekuk daun kecil itu hingga mampu menampung air. Si anak sunti merasa gembira bisa menolong si gagak. Akan tetapi, wajahnya berubah sedih ketika ia tidak lagi mendapati burung yang akan ditolong berada di tempat. Si anak sunti mengamati sekitar yang kiranya sepi, kecuali memang hanya ia dan sang biyung menjadi penghuni. Ia lalu mendongak tetapi tidak ada tanda-tanda si gagak besar.
"Kamu ngapain masuk ke kali lagi? Kan sudah biyung bilang kalau enggak usah nyemplung. Pakaianmu masih basah semua itu di rumah. Aduh, Wiyanti ini!"
Si anak sunti bergegas naik sebelum sabetan batang bayam itu mengenai bokongnya. Ia hanya pasrah ketika sang biyung ngomel-ngomel mengenai jaritnya yang basah.
"Ampun, Biyung, tadi Wiyanti hanya ingin membantu burung gagak yang kehausan. Wiyanti takut gagak itu akan terseret arus kali. Tapi burung itu sangat aneh, Biyung. Dia sama sekali tidak takut padaku. Gagak itu juga agak besar dari gagak lain yang pernah aku lihat."
Sang biyung jelalatan. Angin dingin sore itu mendadak membuat kuduknya merinding.
"Gagak yang mana, Wiya? Biyung tidak melihat burung sedari tadi. Kalau pun ada, gagak itu pasti berkoak."
"Nah, itu dia anehnya, Biyung. Gagak itu sangat tenang. Dia tidak takut sewaktu aku menghampiri, seolah dia mengerti jika aku tidak akan berbuat sesuatu padanya. Sepertinya dia jinak. Andai saja bertemu lagi, aku ingin memeliharanya."
"Hush! Jangan sembarang bicara kamu. Gagak itu penanda buruk, pertanda akan ada orang mati." Sang biyung jelalatan lagi. Kali ini seluruh bulu di tubuhnya benar-benar berdiri. Nalurinya merasa ada yang mengawasi walau ia tidak tahu apa dan di mana.
Buru-buru sang biyung menarik tangan putrinya ketika terdengar koakan gagak yang memekakkan telinga. Perempuan itu tidak lagi menghiraukan keluhan si anak sunti yang keteteran ketika mengikuti langkahnya.
Sementara itu, seekor gagak nyatanya masih anteng pada dahan pohon asam tidak jauh dari tempat ibu-anak tadi bercengkerama. Gagak itu memang mengawasi gerak-gerik dua manusia tersebut. Si burung besar bahkan mengerti apa yang dibicarakan tentangnya. Ketika menurutnya tidak ada yang menarik, ia putuskan untuk kembali terbang dengan koakan, meninggalkan biyung si anak sunti yang ketakutan.
-
-
-Ujung jarit dua dayang itu kebat-kebit karena berlari kecil. Adapun yang membuat mereka tampak khawatir adalah tidak menemukan Mayasari di biliknya padahal malam telah semakin menggulita. Beruntung bagi mereka sebab telah mengetahui kebiasaan nyeleneh sang junjungan, sehingga tanpa perlu bertanya kepada para penjaga, dua dayang itu langsung menuju taman sari.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIRUDA (SELESAI-dalam masa revisi)
Historical FictionSebelum sang surya menyentuh ujung bumi, kalasangka akan ditiup kembali. Memanggil para kesatria untuk turun ke medan laga. Perang itu bukan untuk mereka, tetapi mereka akan menjadi bagian darinya. Sebagian menjadi saksi, sebagian akan mengukir seja...