3. I Promise

451 41 17
                                    

AUTHOR's POV

Malam telah berlalu, posisi bulan tergantikan oleh terbitnya matahari. Pagi ini Kendall bangun dengan rasa mual yang tidak biasa pada dirinya. Dia berlari ke kamar mandi dan berlutut di depan kloset untuk mengeluarkan isi perutnya.

Mendengar kekacauan dan ringisan Kendall di kamar mandi, Harry ikut terbangun dan langsung menyusul, melihat keadaan Kendall. Dia yang panik pun ikut berjongkok di belakang Kendall dan memijat tengkuk wanita itu.

Dalam hati mereka, mereka mengira akan memiliki anak sebentar lagi, tetapi pikiran mereka tidak mengatakan demikian. Bisa saja itu hanya masuk angin  atau Kendall sakit.

Pandangan panik dari Harry terus terukir di matanya, ia tidak bisa melihat wanita yang disayanginya seperti ini, sangat menohok hati, menurutnya.

"Kau tak apa?" Tanya Harry sambil memerhatikan wajah Kendall yang pucat dan pandangan lesu.

Kendall tidak mampu berkata-kata dan hanya menjawab dengan gelengan saja, berarti dia merasa tidak enak badan. Tanpa bertanya-tanya lagi, Harry menggendong Kendall hingga ke ranjang mereka.

"Tunggu disini, aku akan membuatkan bubur untukmu." Ujar Harry pelan sambil menutupi Kendall dengan selimut.

Harry tergesa-gesa turun menuju dapur dan menyeduh bubur instan yang ada di lemari persediaan makanan mereka. Sambil menunggu buburnya matang, Harry mengambilkan segelas air hangat dan pil obat di atas nampan.

Setelah semuanya selesai, ia memasuki kamar dan meletakkan nampan makanan di nakas sebelah ranjang. Karena terlalu lemas, Harry mengangkat posisi Kendall hingga menyender di headboard ranjang mereka.

"Minum ini, Ken agar kau merasa enakkan." Harry menyodorkan segelas air kepada Kendall.

Dengan telaten, Harry menyuapi Kendall bubur sedikit demi sedikit agar Kendall tidak tersedak ataupun memuntahkan makanannya lagi. Selang 20 menit, bubur Kendall habis dan Harry memberikan pil kepada Kendall.

"Tidur lagi, aku akan bersamamu disini." Harry mengusap kepala Kendall.

Kendall mengernyitkan dahinya dan berkata-ralat-berbisik, "kau tidak berangkat kerja?"

"Apalah arti kerja jika pikiranku hanya tertuju padamu yang sedang sakit sekarang? Istirahat lah, nanti siang kita akan ke dokter." Pinta Harry.

Sedikitpun masalah pada Kendall terjadi, Harry tidak akan meninggalkan dia walaupun satu menit saja. Dia mau selalu berada di sisi Kendall jika isterinya itu sedang bermasalah, dia mau menjadi penyemangat, penghibur, dan setia.

.
.

Harry's POV

Jam menunjukkan pukul 2 siang, aku berjanji akan membawa Kendall ke dokter untuk memeriksa apa yang terjadi pada dirinya. Oh ya Tuhan, aku berharap sebuah kabar gembira untuk kami. Yaitu Kendall mengandung.

Aku berjanji akan lebih banyak meluangkan waktu dengan isteri dan anakku dibanding dengan pekerjaanku. Janji.

Aku melirik Kendall yang duduk dan bersandar pada kaca mobil di sebelahku, dia sangat lemas dan tangannya dingin karena grogi, akan mendengar kabar dari dokter nanti.

"Sabar ya, sebentar lagi kita tiba di rumah sakit.." bujukku sambil mengeratkan pegangan tanganku pada tangannya.

Aku tidak tega melihat dia lemah seperti sekarang, tidak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya selain pertanyaan tadi pagi. Aku menyukai dia yang semangat, ceria, selalu bawel, dan perhatian.

Selang beberapa menit, aku tiba di rumah sakit dan menempatkan mobilku di parkiran khusus mobil. Dengan perlahan aku mengangkat Kendall ke kursi roda yang tersedia tidak jauh dari parkiran.

Kami menunggu selama 30 menit sampai seseorang memanggil kami untuk masuk ke dalam ruangan dokter.

"Selamat siang, ada yang bisa aku lakukan untukmu, Tuan?" Sapa dokter itu dengan sangat ramah.

Aku tersenyum, "ya, isteriku mual-mual sejak tadi pagi, dia muntah cukup banyak dan keadaannya sangat lemah, bahkan bicara saja tidak sanggup." Ujarku, prihatin.

"Hmm, mual-mual merupakan tanda-tanda dari sesuatu, bisa saja hanya masuk angin, alergi, ataupun isteri anda sedang mengandung, tetapi untuk memastikan, aku akan memeriksanya sebentar." Dokter itu pun mengambil alih kursi roda dariku dan menyiapkan alat-alat pemeriksa.

Aku menggendong Kendall dan membaringkannya di brankar. Sambil mengelus kepalanya, aku memperhatikan pekerjaan dokter yang memeriksa detak jantung Kendall sampai usg.

Dokter itu menengok kepadaku dan aku menatapnya penasaran. "Apa yang terjadi padanya?" Tanyaku.

Dia tersenyum, membuatku berpikir bahwa Kendall mengandung. Tapi..


"Tenanglah, ini hanya alergi biasa. Mungkin dia tidak terbiasa memakan makanan yang terakhir dia makan sebelum dia mengalami mual-mual ini. Aku akan memberimu resep dan kau bisa menebusnya di apotek atau pada bagian resepsionis di bawah." Jelasnya.

Dokter itupun berbalik badan dan sibuk menulis resep di kertas. Aku membantu Kendall duduk dan dia menatapku sedih, aku tau apa yang ada dipikirannya. Dengan lembut aku memeluknya, berusaha mencegah air matanya keluar.

"I thought I was pregnant.."

Suaranya sangat serak ku dengar, nada sedih tersirat saat dia berbicara. Tubuhnya menegang, tangannya meremas bajuku dan tangisnya semakin menjadi walaupun tanpa suara.

"Shh.. tenanglah, Sayang. Mungkin Tuhan belum mempercayakan momongan kepada kita, banyak pasangan lain di luar sana yang telah lama menikah tetapi belum mempunyai anak. Kita harus sabar, kita tidak sendirian."

Ucapku sambil menangkup wajahnya, dia mengangguk dan akupun mengusap air matanya lalu merapihkan rambutnya yang sedikit berantakan.

Setelah aku menerima resep dari dokter, aku menuntun Kendall berjalan keluar karena ia tidak ingin menggunakan kursi roda. Aku mengantar Kendall masuk ke dalam mobil sementara aku kembali ke bagian resepsionis untuk menebus obat.

Selang beberapa menit, suster pun memberikan bungkusan yang di isi dengan beberapa botol pil dan kapsul. Cukup banyak.

Aku kembali menghampiri Kendall yang ternyata sudah tertidur lelap dengan kepalanya menyender pada jendela. Aku membuka mantel ku dan menjadikannya selimut untuk Kendall, dia terlihat kedinginan.

Perlahan-lahan aku membawa mobil ini ke rumah agar Kendall tidak bangun. Kendall terlalu baik untuk merasakan semua kepedihan, dia tidak pantas menerima cobaan seberat ini.

Yang paling menyakiti hatiku adalah saat Kendall cerita bahwa ia bermimpi aku sedang menggendong seorang anak kembar di ruang bersalin, dan aku mencurahkan air mata saat melihat kedua anak kami tersebut. Kendall bercerita dengan begitu semangat, membuat hatiku semakin sakit saat dia sampai menangis. Aku yang berusaha mati-matian agat tidak menangis pun, ikut mengeluarkan air mata saat melihatnya.

Aku tidak peduli, apapun yang terjadi pada kami, aku akan tetap setia dan tetap sabar menunggu kehadiran anak-anak kecil di rumahku, menemani Kendall saat aku pergi bekerja, mengecup pipiku saat aku mengantar mereka ke sekolah, bercanda tawa dengan aku dan Kendall, dan sampai aku melihat mereka menjalani hidup mereka sendiri nantinya. Aku janji.

————————————————————————

Janjinya heri manis banget ya guys:(
Heri jan kaya mimin yah, janji" update cepet malah tunda" mulu. Maaf ya semuaaahh.....

Please keep vote and comments..

P.s a little support will help me to update the next chapter next week...

Fight For Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang