20. LEFT ALONE

229 23 4
                                    

KENDALL'S POV

Aku terbangun dan refleks membuka kedua mataku saat aku mendengar Harry mengumpat dengan bisik-bisik namun tetap jelas terdengar karena kamar kami saat ini hening, mengingat waktu masih menunjukkan pukul 5.30 pagi yang biasanya kami masih terlelap dalam mimpi kami masing-masing.

Harry memegangi ujung jari kakinya sambil melompat kecil seraya meringis kesakitan. Aku rasa ujung jari kakinya baru saja terbentur dengan nakas di sebelah sisi rangjangku. Ia masih belum menyadari jika aku sudah terbangun karena posisinya membelakangiku.

"Harry?" Panggilku, membuatnya menoleh. Tunggu, mengapa ia sudah serapih ini? Ini masih terlalu pagi untuk berangkat ke kantor.

"Oh, good morning, Hun. Maaf membuatmu terganggu." Ucapnya sambil membantu medorong pinggangku agar aku terduduk. Perut 8 bulan sangatlah berat, apalagi aku mengandung anak kembar.

Harry mencium pelipisku kemudian merapikan rambutku yang berantakan setelah bangun tidur. Ia duduk tepat di sebelahku dan sesekali mengelus perutku.

Aku menatapnya bingung, "kemana kau sepagi ini, Harry? Biasanya kau ke kantor pukul 9 kan?" Tanyaku, menelusuri pakaiannya dari atas hingga bawah.

"Aku ada urusan mendadak dengan kolegaku, Sayang. Ia ingin meeting yang seharusnya diadakan minggu depan untuk dimajukan menjadi hari ini dan aku harus menyelesaikan persiapan topik meeting sebelum jam 10." Jelasnya, sambil menatapku seolah meminta pengertian.

"Bagaimana dengan asistenmu? Memangnya ia tidak bisa mengerjakan itu semua?"

Harry menggeleng, "ia sedang cuti selama 5 hari karena urusan keluarga yang ia bilang pribadi."

Mendengar jawabannya, aku hanya mengangguk-anggukkan kepala, berusaha mengerti keadaan asistennya dan kemauan koleganya yang kurang proffesional menurutku.

This is it. Hari sepi dan menyebalkan dimulai lagi. Tidak ada Harry, Kylie dan Khloe sudah kembali ke rumah mereka setelah makan malam, aku terjebak lagi bersama Tracy, perempuan yang punya 1001 cara untuk membuatku kesal. Well, setidaknya ada Susan yang bisa aku ajak untuk menghabiskan waktu dengan mengobrol.

"Apa yang kau pikirkan, Hun?"

Aku tersadar dari lamunanku karena suara Harry. Dengan cepat aku menggeleng sambil memberikan senyuman yang terkesan terpaksa.

"Berjanjilah kau tak akan lama." Pintaku. Harry menarikku ke dalam pelukannya dan mengecup puncak kepalaku berkali-kali.

"I promise." Aku menarik diriku menjauh setelah ia mengucapkannya. Setidaknya aku sedikit lebih tenang.

"Biarkan aku membantumu bersiap ke kantor. Apakah ada yang kurang?" Tanyaku.

"Uhhmm.. apa kau melihat jas yang berwarna hitam? Aku ingin memakainya hari ini, sejak tadi aku mencarinya kemana-mana namun tak kunjung ku temui."

Aku terkekeh, "apa itu sebabnya kau membenturkan jari kakimu?" Aku menatapnya dengan jahil.

Harry menggaruk tengkuknya yang aku yakini tidak gatal sama sekali. Akupun berdiri dari ranjangku dan berjalan tepat menuju salah satu kabin di walk in closet kami.

Setelah menemukan apa yang aku cari, lebih tepatnya yang Harry cari, aku memberikan jas itu padanya. Alih-alih berterima kasih, ia malah menatapku dengan bingung.

"Mengapa kau selalu menemukan apa yang tidak bisa ku temukan, huh?" Tanyanya, diakhiri dengan mendengus kemudian memakai jasnya dengan benar.

"Jas mu yang berwarna netral selalu terselip dan tertutup oleh jas lainnya yang memiliki warna pelangi, Harry. Kau senang sekali mengoleksi jas warna-warni seperti itu."

Fight For Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang