- 1 -

184K 6.5K 390
                                        

Di sinilah seorang Azkia Sferinly Bredanzo masih bergelung ria dengan selimutnya. Jam weker sudah menunjukkan pukul 06.20, artinya bel sekolah akan berbunyi 40 menit lagi—namun Kia tetap terlelap seolah dunia tidak punya urusan dengannya.

Mommy dan kakaknya sejak tadi berteriak dari ambang pintu. Bahkan sang kakak tak segan menyiraminya dengan air. Sayangnya, semua usaha itu sia-sia. Kia tetaplah Kia—tidurnya seperti patung: tak tersentuh, tak tergoyahkan.

Plak.

"Bangun nggak, Kia! Daripada Mommy nikahin kamu beneran sama Jono, anak tetangga depan!" dumel Sferin sambil menggeplak pantat Kia seenaknya.

Tak ada reaksi. Kia sama sekali tidak bergerak, apalagi menanggapi ocehan Mommynya.

Sferin mengembuskan napas kasar. Kalau ada ibu-ibu yang sabar menghadapi anak kayak Kia, tolong tulis di kolom komentar, ya. Sebelum saya depresi gara-gara anak sendiri.

Ia menaruh telunjuk di dagu, berpikir keras. Lalu sebuah ide muncul di kepalanya—seperti lampu bohlam yang tiba-tiba menyala.

"Kia, tadi Mommy lihat cogan di depan komplek. Mirip Shawn Mendes, loh."

Dalam hitungan detik, Kia langsung melek dan duduk tegak.
"Seriusan, Mom? Namanya siapa? Dapet nomor WhatsApp-nya nggak?"

Mommy langsung menoyor kepala Kia dengan agak keras.
"Giliran yang mirip manurios aja langsung sigap! Bingung deh punya anak perempuan satu, anak laki satu, rasanya kayak punya dua anak laki semuanya."

"Gini ya, Azkia Sferinly Bredanzo," lanjut Mommy panjang lebar. "Cucu perempuan pertama di keluarga Bredanzo. Coba gitu bangun bantu Mommy masak kek, apa kek, yang berguna buat Nusa dan bangsa. Nggak usah Nusa dan bangsa—dapur Mommy yang berantakan aja nggak pernah kamu sentuh sedikit pun!"

Kia hanya mengerjap-ngerjapkan mata, berusaha mencerna ocehan pagi itu sementara nyawanya belum terkumpul sepenuhnya.

"Didengerin! Dilakuin! Bukan masuk kuping kanan, keluar kuping kiri!" tegas Mommy.

"Iya, Mommy. Pagi-pagi udah ngomel aja." Kia menguap malas. "Ada lagi nggak? Aku mau mandi."

"Mentang-mentang sekolah punya Daddy, seenaknya aja berangkat pas jam pulang sekolah. Bingung deh, nama kamu tuh cocoknya Bambang, bukan Azkia."

Kia hanya mendengar sepintas, lalu bertanya santai,
"Whatever, Mom. Kakak mana?"

"Udah pergi. Kamu kelamaan. Untung Daddy lagi di luar negeri. Kalau nggak, udah Mom kaduin, dan uang jajan kamu dipotong setengah."

"Mommy, Kia kan cantik, baik hati, awet muda, seksi, dan masih unyu sampai sekarang," bujuk Kia sambil menggenggam tangan Mommynya erat. "Jangan dikaduin ya, Mom."

"No way. NO WAY."

"Sekarang mandi! Awas aja nggak mandi. Malu sama cowok, ih—anak perempuan gue gini banget!" bentak Mommy sebelum keluar dari kamar.

"Sabar... gue sabar," gumam Mommy sambil menuruni tangga, menyerah melihat kelakuan anak perempuannya yang satu itu.

Skip ✓

Tiga puluh menit kemudian, Azkia sudah rapi dengan seragam sekolahnya dan siap berangkat. Ia celingak-celinguk melihat rumah yang terasa sangat sepi.

"Mommynya ke mana, sih?" gumamnya. Namun tak satu pun jejak ditemukan.

"Mungkin ngerumpi di tukang sayur," ucapnya pelan sambil mengambil kunci mobil sport miliknya dan pergi.

Sesampainya di sekolah, beberapa pasang mata langsung tertuju pada mobil sport yang baru datang itu. Setiap pagi selalu seperti ini—Kia memang sudah menjadi primadona sekolah, status permanen yang tak bisa diganggu gugat.

Kia turun dari mobil dengan gaya badgirl khasnya. Wajah polos tanpa make up, bibir hanya dipoles lip tint. Seragamnya sedikit mengepres badan, rok di atas lutut, kaus kaki pendek, tas Gucci tersampir santai, sneakers putih, rambut digerai indah dengan ujung dicurly. Dasinya sedikit renggang, namun bajunya tetap rapi dimasukkan ke dalam rok.

Tanpa banyak basa-basi, Kia melangkah menuju kelas meskipun jam sudah menunjukkan 07.30.

XI IPA 1

Tok. Tok. Tok.

Kia mengetuk pintu kelas tanpa rasa bersalah sedikit pun. Tak lama, pintu terbuka, menampilkan seorang pria paruh baya dengan wajah yang kalem sekaligus sangar.

"Hai, Pak! Sorry ya, kali ini saya telat," ucap Kia dengan cengiran khas yang hanya ia keluarkan untuk orang-orang tertentu.

"'Kali ini, kali ini.' Sudah berapa kali kamu telat di jam saya?" balasnya datar.

"Ya ampun, Pak Delima. Besok-besok nggak lagi deh."

Ya, pria itu adalah Pak Delim, guru Fisika. Namun Kia bersikeras memanggilnya Pak Delima. Menurutnya, huruf A itu seolah hilang saat pencetakan akta kelahiran.

"Delim. Bukan Delima," koreksi Pak Delim dingin.

"Sekarang masuk. Sekali lagi kamu terlambat, saya suruh lari keliling lapangan sepuluh kali."

Kia menelan ludahnya sendiri. Lapangan sekolah mereka sangat luas.

"Oke, Pak. Siap laksanakan," sahut Kia sigap, bak prajurit TNI.

Begitu duduk, ekspresi Kia kembali berubah dingin dan datar. Sikapnya memang selalu bergantung pada siapa yang ia hadapi dan seberapa dekat orang itu dengannya.

Ia langsung duduk di sebelah Lauren—teman setianya yang, notabenenya, sudah bersama sejak Taman Kanak-kanak, bahkan sejak masih dalam gendongan.

Lauren tak jauh berbeda. Ia tertidur pulas di balik tasnya, tertutup sebuah buku. Dari depan, Pak Delim mungkin mengira Lauren sedang membaca, padahal tidak sama sekali.

A Z K I A 🗡️ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang