- 51 -

64K 2.9K 427
                                        

"Dion gak mau ke rumah sakit, Bunda!" teriak si empunya kamar dengan kesal. Namun bukannya menyerah, si pengetuk malah semakin gahar menggedor pintu.

"Bunda maksa banget si, udah tau Dion ta—" ucapan Dion terpotong saat dia melihat siapa yang masuk ke kamar. "E-eh Kia," ucap Dion kikuk.

"Ayo ke rumah sakit," ucap Kia singkat.

Dion mengerutkan dahinya, pasti ini ulah Bunda. "Gak. Gue gak mau," tolak Dion menatap Kia kesal.

"Yakin gak mau?" tanya Kia dengan nada ancaman.

"Gak," jawab Dion yang sudah duduk di atas ranjangnya seperti anak kecil yang tidak bisa dibujuk.

"Yaudah kalo gak mau, jangan harap ngomong dan ketemu sama gue lagi," balas Kia yang akan pergi dari depan pintu kamar Dion.

Dion yang mendengar itu pun langsung beranjak dari ranjangnya dan menarik tangan Kia dengan cepat membuat Kia terbentur ke dada bidang Dion.

Kupu-kupu beterbangan diperut Kia dan jantungnya pun seperti habis maraton, berdetak tanpa kontrol.

"Iya gue mau pergi, asal sama lo," ucap Dion membuat Kia akan terbang dari tempatnya berdiri saat ini.

Kia mendongak karena Kia hanya setinggi leher Dion. Karena jarak mereka sangat dekat, saat Kia mendongak Dion pun ikut menunduk untuk menatap mata Kia yang sangat cantik.

Napas masing-masing terasa. Kia bingung harus apa sekarang dan hanya bisa diam sebelum Dion menjauhkan dirinya sendiri. Dion menatap seluruh inci wajah Kia yang menurutnya sangat sempurna, entah dorongan dari mana Dion mendekatkan wajahnya pada Kia.

Di tempatnya berdiri, Kia seperti mati gaya. Dia tahu kondisi ini, dia hafal betul posisi ini. Namun, badannya tidak berniat beranjak sedikit pun. Bahkan saat wajah Dion sudah berada sangat-sangat-sangat di depan wajahnya. Kia hanya menunggu sampai sebuah teriakan mengganggu momen mereka.

"Bundaa! Abang mau tium-tium Kaka cantikkk!" heboh Rafka dari ambang pintu.

Dion langsung menjauhkan dirinya dari Kia dan mengumpat pelan.

Anjir hampir aja masa depan gue dipotong Bunda

***

Jadi, pagi-pagi tadi Dion sudah nangkring di rumah Kia. "Jemput elo, lah, ya kali ngapelin William. Yang bener aja." Begitu jawaban Dion saat Kia bertanya. Dan begitu saja, mereka akhirnya benar-benar berangkat herdua.

Dion mengantarkan Kia hingga depan kelasnya. Sebelumnya Kia sangat menolak keras, karena pasti banyak gosip-gosip yang mulai beredar tentang dirinya dan Dion. Tapi tabiat Dion yang memang tukang paksa membuat Kia mau tidak mau menurut.

"Belajar yang bener ya biar gak bego-bego banget jadi bini gue," ucap Dion sambil mengacak pelan rambut Kia yang sudah tertata rapi.

Kia mendengus kesal karena rambutnya berantakan. "Dih ogah banget jadi bini lo, mending gue nikah sama kodok daripada sama lo."

Dion menatap langit-langit sembari pura-pura berpikir keras. "Kenapa, sih, lo cari Pangeran Kodok? Nih, pangerannya udah di sebelah lo."

"Dih, najis. Kepedean amat si lo jadi orang," balas Kia menunjuk wajah Dion dengan garang.

Saat mereka asyik berdebat, seseorang tanpa sengaja menabrak bahu Dion.

"Eh lo kalo jalan liat-liat dong! Untung aja gue gak jatuh," dumel Dion yang memang nyaris jadi penghuni tong sampah.

"Sori, Bro, gue buru-buru," balas orang itu dan membuat Kia mengernyitkan dahinya.

Masih di sini? Gue kira udah nyusul si Monyet.

Dion tahu makna ekspresi Kia saat ini.
"Ciee, keknya ada yang menatap masa lalunya nih," sindir Dion yang entah bagaimana merasa tidak suka.

"Bacot ih, siapa coba masa lalu gue? Gue mah ogah nginget yang udah terjadi."

"Tapi dulu pernah suka kan sama dia?" Dion semakin gencar membuat Kia kesal dengan wajah memancarkan api yang panas.

"Sekali lagi lo bahas dia, gue balikan lagi sama dia," ancam Kia menaik turunkan alisnya.

Raut wajah Dion berubah murung seketika. "Coba aja, gue bakal cium lo sekarang juga."

Karena tak percaya dengan ancaman itu, Kia mencoba menjahili Dion. Ia pun berjalan menuju ke arah Marchel yang jauh di depannya.

Tangan Dion terkepal dan rahang yang mengeras. Dengan sekali sentakan, Kia berbalik ke hadapan Dion. Satu kecupan dengan cepat mendarat mulus di bibir Kia.

"Gue gak pernah main-main kalo ngomong." Dion pergi dari kelas Kia, membiarkan perempuan itu mematung.

"Dion!" Teriak Kia dilorong kelasnya, untung saja tidak ada orang yang menyaksikan itu.

Dari ujung sana, Dion tersenyum puas.

Manis.

A Z K I A 🗡️ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang