Dinda hanya bisa mengembuskan napas lelah saat sampai di depan sebuah rumah bercat biru laut. Pandangannya meliar ke sekeliling rumah yang sangat sepi. Ya, sama persis dengan suasana rumah Dinda.
Saat masih Sekolah Dasar, Dinda sering sekali bermain di rumah ini. Dulu, rumah ini lebih terasa rumah. Selalu ramai dan penuh dengan gelak tawa. Semua penghuni di dalam rumah rumah ini sangat terbuka dengan siapa saja yang bermain ke sini. Tapi, saat kelulusan SD, salah seorang anggota di rumah ini pergi menghadap ilahi. Membuat semua penghuni di dalamnya begitu terpukul. Sejak saat itu, mendadak rumah ini menjadi sepi tak tersentuh. Penghuni di dalamnya menjadi sosok yang begitu dingin. Tidak ada lagi gelak tawa dan Obrolan ringan yang mengisi rumah ini. Sejak saat itu juga, Dinda tidak bertamu ke rumah ini. Sebab salah seorang pria sepantarannya akan mengusirnya. Seperti kejadian beberapa hari yang lalu.
Seperti biasanya, rumah ini tidak dikunci. Entah apa yang dipikirkan orang-orang di rumah ini hingga tidak mengunci pintu. Seperti berniat mengundang maling saja.
Kosong. Satu kata itu yang menggambarkan kondisi di dalam rumah mewah ini saat Dinda pertama kali membuka pintu. Dengan langkah yang sengaja dipelankan, dia berniat mencari sang empunya rumah. Dia yakin, pria itu sedang mengurung diri di dalam kamar.
Ekhem
Sebuah suara dehaman membuat langkah Dinda yang berniat naik ke lantai atas terhenti. Ia segera membalikkan badan 90 derajat dan saat itu juga berhadapan dengan seorang pria paruh baya yang umurnya sekitar 40 tahunan.
"Hai, Om," sapa Dinda kikuk.
Pria itu hanya mengganguk sebagai respon atas sapaan Dinda barusan. Ia sangat tahu tujuan gadis belia ini datang ke rumahnya.
"Aku mau–"
"Dia di atas, susul saja."
Setelah mengucapkan sepatah kata itu, pria tersebut pergi menuju ke arah dapur. Dinda hanya bisa menelan salivanya karena setegang ini berhadapan dengan pria paruh baya itu. Padahal dulu, dia seorang pria yang begitu ramah. Tapi, lagi-lagi semenjak sang istri pergi meninggalkannya, sosok dingin sudah melekat di dalam dirinya.
Padahal Dinda sudah berusaha memelankan langkahnya, tapi tetap saja suara sendal yang dikenakannya menggema ke seisis rumah. Bisa dibayangkan betapa sunyinya rumah ini. Hingga akhirnya, langkahnya terhenti di depan sebuah pintu cokelat tua yang menggantung sebuah papan tulisan 'Jangan masuk! Atau nyawa lu taruhannya'
Walaupun, ia sudah pernah membaca tulisan ini, tetap saja ngeri sendiri. Ia ingat, tulisan ini dibuat seminggu setelah kematian wanita itu. Tapi, dia yakin pria itu tidak akan tega menyakitinya.
Tok
Tok
Tok
Tidak ada jawaban, lagipula juga percuma tidak akan direspon oleh seseorang di dalam sana. Pintunya juga sudah dipastikan terkunci rapat. Untung saja Dinda mempunyai duplikat kunci kamar ini. Ya, semenjak pria itu berubah, ia diam-diam menduplikat kunci kamar ini, kalau-kalau saja perlu.
Ceklek
"Ngapain lu?"
Dinda hanya bisa menelan salivanya saat melihat wajah dingin yang tengah sibuk mencoret-coret sesuatu di sebuah kertas putih. Rambut berantakan, wajah lesu, dan tubuhnya yang semakin kurus. Ia tahu bahwa pria itu sedang tidak baik-baik saja.
"Gua cuma mau–"
"Gua udah cukup muak liat wajah pengkhianat," desisnya dengan tatapan tajam. Sekarang ia telah menghentikan kegiatannya dan mengalihkan pandangannya ke arah Dinda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Past and Future
SpiritualeAdrisa Resyafa atau kalian bisa saja memanggilnya Risa. Hanya seorang gadis dengan tubuh kecil untuk ukuran anak SMA, kulit kuning langsat dan mata yang sipit. Di masa putih abu-abunya, gadis tersebut mengalami berbagai macam hal. Dimulai dengan per...