Part 31

1.1K 96 8
                                        

Ini amat sakit, ketika memori itu berlomba-lomba menyerbuku.

***

Bola mata cokelat tua itu masih menatap kertas yang sudah sedikit lusuh akibat lipatannya. Masih ada waktu setahun untuk meraih beasiswa tersebut. Tes Beasiswa untuk mengambil S1 di cairo, mesir.

Satu dari sekian banyak impian gadis itu untuk melanjutkan pendidikan selepas SMA di negara yang mengakui kemerdekaan Indonesia pertama kali. Ya... itu hanya sebatas impain yang dianggap semu, hingga akhirnya dia mendapat tawaran langsung dari Kepala Sekolah untuk persiapan tes. Itu semua... tidak lepas dari pria yang bernama Azzam itu.

Akan tetapi jika dilihat dari kemampuannya, apa dia bisa? Bahasa Arab aja dia tidak bisa selain mengatakan, syukron, na'am, antum, anti, hamasah. Hanya sebatas itu, apa dia juga bisa mengejar untuk tes hanya dalam jangka setahun, tanpa berbekalan ilmu apapun. Dia menggelengkan kepala cepat untuk mengusir pemikiran dangkalanya, lagipula apa salahnya? jika memang itu rezekinya, kun fa yakun, terjadilah apa yang memang tidak mungkin oleh pemikiran sempitnya.

"Risa."

Panggilan itu membuyarkan lamunan Risa yang entah sudah terbang ke mana. Tubuhnya seketika beku saat bertemu pandang dengan netra hitam pekat itu. Matanya mengikuti arah pandang gadis itu yang tanpa aba-aba duduk di meja Risa dengan santai.

"Tegang banget lu," ujarnya sambil meniup ujung kerudungnya tanpa berdia merapikan rambutnya yang sudah keluar di mana-mana.

"Hm... permisi aku mau keluar," ujar Risa mencoba mengabaikan tatapan perempuan yang sangat tajam itu. Dia tidak mau mencari masalah lagi dengan perempuan ini.

"Sebegitu nyereminnya gua, kah?" Tanyanya, "gua cuma mau ngajak damai."

"Tias kamu---"

"Hm gini sih... sebenarnya gua masih main-main sama lu," ujarnya dan sekarang berpindah duduk tepat di depan bangku Risa. "Kita baikan ya?" ajaknya dengan tangan yang sudah terulur di hadapan Risa.

"Kamu serius?" tanyanya, "eh tapi emang hubungan pertemanan kita buruk banget ya dulu?" tanyanya bingung. Sungguh Risa tidak ingat, akan tetapi biarlah yang berlalu itu. Rasa segera menerima jabatan itu, akan tetapi belum sempat bersentuhan, Tias sudah menarik tangannya cepat.

"Lu lama," ujar Tias malas. "Eh lu nggak ngerasa kehilangan sesuatu?" tanyanya.

Kehilangan sesuatu? Risa menerka-nerka dia kehilangan apa. Akan tetapi dia memang tak merasa kehilangan apapun. Dengan perlahan dia hanya menggeleng. "Aku ngerasa nggak kehilangan apa-apa."

Tias hanya mengangguk-anguk paham. "Kayak kehilangan dairy gitu?" tanyanya kepada Risa.

"Maksud kamu?"

"Lu lemot, gua yang gereget," ujar Tias, "nih karena gua baik, gua balikin nih dairy." Tias segera meletakkan sebuah dairy tepat di meja Risa.

Risa yang penasaran dengan dairy yang dimaksud Tias segera membukanya dan benar saja, namanya terukir dengan tinta emas tepat di halaman pertama dairy. Halaman demi halaman dia telusuri, dan betapa kagetnya saat isinya rata-rata mencurahkan kerinduan Risa kepada Ari saat SD dulu. Dia tak menyangka pernah sedekat itu dengan Ari.

"Gua waktu itu ngambil dairy ini di kamar lu pas jenguk sama teman sekelas waktu itu," ujarnya, "maaf lancang. Terus juga gua yang kasih dairy ini ke Ari dan ngehasut dia supaya ngejar lu, dan buat lu nggak nyaman. Gua tahu kesalahan gua nggak bisa dimaafin. Lu boleh marah sama gua," ujar Tias yang entah sejak kapan nada bicaranya tidak terdengar angkuh seperti biasanya. Dia sangat menyesali.

Risa hanya menahan napasnya saat mendengar segera rentetan fakta itu. Sungguh kenapa Tias melakukan semua itu. "Aku maafin kamu," ujar Risa yang sekarang mengenggam tangan Tias kuat. "Tapi apa boleh aku tahu, alasan kamu berbuat seperti ini?"

"Gua iri sama lu. Lu banyak temen, apa adanya, anak-anak suka sama sikap lu yang nggak milih kalau berteman. Apalagi saat lu merubah penampilan lu, lu benar-benar makin kelihata sempurna, lu nggak bales saat ada yg hina lu meski lu sebenarnya dongkol banget," ujar Tias dengan kekehan setelah mengatakan kata kedua terakhir. "Lu itu cewek strong. Saat Ayah lu meninggal lu kelihatan kuat banget, gua tahu lu juga kerja setelah itu, dan lu nggak mau cerita ke teman lu karena takut repotin," ujar Tias

Risa yang semula sedikit meringis saat mendengar rentetan pernyataan itu seketika terdiam kaku saat mendengar kata-kata yang membuatnya seakan sesak. Ayahnya meninggal? Dia kerja? Bukannya Ayahnya selama ini kerja dan jarang pulang?

"Tapi semenjak kecelakann itu, lu berubah sa. Lu jadi gadis yang menurut gua lebih sempurna lagi. Risa yang tadinya petakilan jadi gadis yang lembut. Mereka tambah suka sama lu, gua benar-benar ngerasa---"

"Arrgh... " Risa seketika berteriak akibat kepalanya yang mendadak sakit.

"Risa yang gua kenal, ga mungkin berpenampilan kayak Ibu-Ibu pengajian gini."

"Aku Ari Ris, coba kamu pikir, siapa yang tau semua kesukaan kamu selain aku?"

"Lu tau? padahal Ayah pernah bilang, dia bakal seneng banget kalau anak perempuannya udah bisa merubah penampilan sesuai agama. Tapi sekarang?"

"Dia pasti seneng banget Ris. Mungkin dia ga ada di sisi antum, tapi dia selalu di hati antum."

"Rio, aku kerja di sini. Apa yang salah?"

"Serahin duit lu!"

"Kembaliin!!"

"Risa lu kenapa??!!" Tias seketika panik saat melihat Risa yang memegang kepala kesakitan. "Ris..."

"Argh... Stop stop," ujar Risa saat memori-memori yang membuat kepalanya sakit terus berputar.

Brak...

"Tias lu ngapain Risa!!"

Pintu itu terbuka lebar menampilkan tiga orang gadis yang baru saja memasuki kelas diikutin dengan yang lain.

"Ris..." panggil Ananda dan segera memeluk sahabatnya.

"Sa... ki..." Kata-kata itu terputus dan akhirnya tubuh Risa lunglai dengan air mata yang telah banjir.

"Risa!! Bangun!!" pekik Ananda.

"GUA NGGAK SEGAN-SEGAN BIKIN LU TERSIKSA! KALAU DIA KENAPA-NAPA!!" pekik Dinda dengan Tias yang sudah terisak sambil menunduk dalam.

"Awas!"

"Azzam tol..."

Tanpa mendengarkan ucapan Tiar, pria itu segera mengangkat Risa keluar dari kelas. "Bertahan Ris."

07-10-2018

Past and FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang