Part 36

1.2K 104 15
                                    

Semoga senyum itu tidak akan luntur, meski kesedihan berdatangan silih berganti.

***

"Pokoknya nanti Azzam dengan Tiar yang jemput Risa ke rumah sakit," ujar Dinda dengan pandangan bergantian kepada teman-temannya saat ini. Pasalnya hari ini adalah kepulangan Risa dari rumah sakit, sehingga Dinda mengusulkan untuk memberikam kejutan kecil.

Akan tetapi dia khawatir jika semuanya menyiapkan kejutan di rumah Risa, takutnya gadis itu sedih atau curiga karena tak ada temannya yang datang satu pun ke rumah sakit. Kan nggak lucu juga, selama ini mereka selalu datang menemani Risa, eh pas kepulangan Risa pada hilang. Sehingga dia berniat menyuruh Tiar dan Azzam saja yang datang ke rumah sakit.

"Lah kok diam. Zam, Ti, setuju nggak?" tanyanya sekali lagi.

Azzam segera menghentikan aktivitasnya mengangkat sebuah kardus sedang, untuk kemudian mengalihkan pandangannya kepada Tiar. "Lu bawa motor, kan?'" tanyanya.

Tiar hanya mengangguk pelan dengan pandangan fokus kepada origami yang dibentuk bunga itu. Dadanya seketika berdebar saat membayangkan dia hanya berdua dengan Azzam untuk ke rumah sakit. Apalagi pasti nanti dia akan naik motor ninja itu, yang entah kenaoa selalu membuat penasaran. Jujur saja, dia sangat senang.

Berbeda dengan Tiar yang sedang menahan letupan kebahagiaan. Di sisi lain Dinda hanya bisa tersenyum miris saat melihat perilaku Rio kepada Ananda. Tepat di depannya saat ini, pria itu sibuk menawarkan ini itu kepada Ananda untuk mempercepat pengerjaan typografi yang dibuat Ananda untuk menyambut kedatangan Risa.

"Serius An cukup?" tanya Rio, "apa gua ke fotocopy depan lagi buat beli spidol hitamnya?" tanya Rio sambil membantu gadis itu dengan mengabsen spidol yang menurutnya kurang atau hampir habis. Memang hanya dia yang kurang kerjaan.

"Enggak usah, Yo," ujar Ananda, "Rio bantu Dinda aja."

"Duh males gua An sama dia. Bikin darah tinggi doang, nah mending sama lu kan ad--awww."

"Duduknya bisa jauhan dikit, Yo. Bukan mukhrim." Entah sejak kapan Azzam ada di samping pria itu. Saat ini tangannya terulur menjewer telinga sang sahabat. Bak seperti seorang Ayah yang marah kepada anaknya.

"Duh lu ngapain si Zam," kesalnya, "sakit woy!!" Dia segera menepis tangan Azzam hingga terlepas dan mengusap telinganya.

"Ya lu kerjanya modus mulu. Mending bantuin gua ayok!" Ajak Azzam dengan peluh yang membanjiir dahi.

"Bantu apa?" tanya Rio.

"Nguras kolam ikan," sewot Tiar yang datang sambil berkacak pinggang. "Duh yo, lu cowok bukan sih, tuh lihat kerjaan kita masih banyak. Hiasan biar cewek yang bikin, daritadi si Azzam sendiri yang angkat ini itu getok sana-sini buat majangin dekorasi." Entah kenapa emosi Tiar tersulut.

Bukannya merasa bersalah atau apa, Rio hanya menyengir untuk kemudian bangkit dari posisi selenjerannya. "Duh sorry, gua pikir Azzam bisa sendiri."

"Dasar nggak tahu malu," cibir Dinda.

"Heh apa maksud lu!" Kesal Rio mendengar cibiran itu. "Gua udah menghindar ya biar nggak ribut sama lu. Jangan mulai."

Dinda yang tidak terima ikut bangkit dari posisinya. "Lah emang gitu kan? Malah asik modus sama Ananda di sini."

"Terserah lu," balasany malas, "ayok Zam, gua harus apa?"

"Nih." Azzam menyerahkan palu dan paku yang ada di tangannya saat ini. "Pajangin hiasan bunga-bunga itu di sana," ujarnya sambil menunjuk dinding di pojok ruang tamu Risa.

Past and FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang