Pelajaran sejarah kali ini entah kenapa seperti dongeng bagi Risa. Biasanya dia sangat suka sekali dengan pelajaran ini. Akan tetapi, untuk hari ini terasa membosankan. Dia seperti mendengar dongeng penghantar tidur. Entah sudah menguap berapa kali Risa kali ini dari awal jam pelajaran sampai setengah jam pelajaran saat ini.
Mungkin efek semalam baru terlelap pukul 03.00 pagi karena memikirkan pesan yang dia dapatkan semalam. Ingin mencoba menghubungi nomor itu, tapi perasaan takut menghinggapi hatinya. Apa dia minta tolong Rio untuk menemaninya ke sana. Sepertinya itu ide bagus, kalau menceritakan ini kepada sahabatnya, Risa rasa tak mungkin. Dengan perlahan dia segera mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Risa harus hati-hati, jika ketahuan menggunakan ponsel akan sangat bahaya.
Diliriknya Dinda yang sepertinya sedang melamun atau lebih tepatnya khayalannya berkelana entah kemana.
Dirasa keadaan sudah aman, dia sedikit menundukkan kepalanya untuk menuliskan pesan kepada Rio. Akan tetapi, badannya seketika menegang saat suara dingin itu menggema di kelas yang sepi ini.
"Adrisa Resyafa, ponselmu mau saya sita atau keluar dari kelas saya sekarang!"
"Eh itu Bu...,"
"Keluar sekarang!"
Kalau sudah begini, Risa hanya bisa pasrah dan menyesali aksi nekatnya barusan. Dia segera mengalihkan pandangannya ke sepenjuru kelas dan betapa kalinya saat semua pasang mata menatapnya.
"Ris, kaget gua," lirih Dinda yang lamunannya terpecah, "lu tumben amat main hp."
Risa hanya meringis untuk kemudian menuruti permintaan guru tersebut. Bisa dilihat tatapan sahabatnya yang seolah bertanya mengapa Risa bermain hp. Tak hanya itu dia bisa melihat Ananda dan Tiar menatap kasihan. Berbeda dengan Dinda yang malah keliatan terusik, hari ini Dinda mendadak jadi pendiam. Datang juga tadi agak telat, untung saja diperbolehkan masuk kelas. Dinda juga belum menceritakan apapun hari ini.
"Permisi, Bu," ujar Risa sopan dan keluar dari kelas. Tamat sudah nilai sikapnya di pelajaran sejarah kali ini. Tapi percuma juga dia ada kelas tapi pikirannya kemana.
Dia melangkahkan kakinya di koridor yang sepi ini karena KBM masih berjalan. Apa mungkin dia ke perpustakaan aja. Sudah lama juga tidak membaca novel di sana. Dia segera mengarahkan langkahnya ke perpustakaan yang dekat dengan ruang guru.
Akan tetapi langkahnya seketika pelan saat tepat beberapa meter darinya ada Azzam yang sedang berjalan berlawanan arah dengannya. Entah kenapa takdir mempertemukannya dengan Azzam di saat niat untuk move on tertanam.
Dari kejauhan Azzam yang menyadari kehadiran Risa segera tersenyum simpul dan menghentikan langkahnya saat sudah berpapasan.
"Assalamualaikum, Ris," salam Azzam yang membuat langkah Risa ikut terhenti.
"Wa'alaikumussalam, Zam," jawabnya kaku. Ada sedikit rasa lega saat melihat Azzam saat ini baik-baik saja.
"Eh ana duluan ya," pamit Risa saat dirasa tidak ada hal yang ingin dibicarakan.
"Tunggu ada yang mau ana omongin sama anti," ujar Azzam.
"Omongin apa?"
"Ada, hal penting. Lagipula pas banget ana mau ke kelas anti tadinya. Eh iya, kenapa nggak di kelas?" tanyanya yang membuat Risa mati kutu seketika.
Risa hanya memainkan jari bingung. Duh, yakali dia bilang disuruh keluar gara-gara main ponsel. Malu banget dong. Tapi emang kenyataannya gitu, mau gimana lagi coba." Disuruh keluar gara-gara main ponsel, " ujarnya dengan senyum malu.
Mendengar itu Azzam seketika kaget. Akan tetapi, dia cepat-cepat menghilangkan raut kagetnya dengan ikut tersenyum. "Santai aja, Ris. Biasa itu bumbu-bumbu SMA," ujarnya sedikit terkekeh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Past and Future
SpiritualitéAdrisa Resyafa atau kalian bisa saja memanggilnya Risa. Hanya seorang gadis dengan tubuh kecil untuk ukuran anak SMA, kulit kuning langsat dan mata yang sipit. Di masa putih abu-abunya, gadis tersebut mengalami berbagai macam hal. Dimulai dengan per...