Part 35

1K 90 6
                                    

Semilir angin sore menjadi penyejuk bagi seorang gadis bermata bulat kecil itu. Matanya terpejam beberapa saat saat semilir itu membelai lembut pipinya. Ahh... rasanya sudah lama sekali dia tidak menikmati senja yang damai seperti ini. Terkadang saat-saat seperti ini yang ia butuhkan, dan ia bersyukur karena, merasa kondisi tubuhnya sudah membaik. Tapi ada satu hal yang mengganjal, kenapa dia belum diperbolehkan pulang?

Dia rindu rumah, sekolah, dan berkumpul dengan teman-temannya. Rasanya sudah lama tidak melakukan kebiasannya setiap hari. Sekolah, ekskul, bantu Mama di rumah, bertengkar dengan Rama sampai sleding-sledingan dan hal-hal lucu lainnya. Tangannya terulur memegang pucuk kepalanya yang berbalut kerudung instan ini. Dia berharap kepala ini baik-baik saja, dan dia berjanji dengan dirinya sendiri agar tidak ceroboh. Cukup sudah dia merepotkan semua orang karena keluar masuk rumah sakit mulu.

"Kakak cantik."

Dia seketika menoleh, saat seorang bocah laki-laki dengan kepala yang berbalut sebuah kupluk, telah berdiri di sampingnya. Dahinya mengernyit ketika tangan itu terulur dengan sebuah lolipop.

"Kamu ngapain?" tanya Risa bingung. Udah jelas Risa tidak paham bahasa isyarat, dan bocah ini malah terdiam dan tahu-tahu mengulurkan lolipop. Ah apa anak ini mau memberikan lolipop?

"Kak ini..." ujar bocah itu. "Tanganku capek nih, pengen cepet-cepet cobain lolipopnya."

"Hah maksud kamu?" Tanya Risa, "ini buat aku, kan?'" Oke Risa makin tidak paham mau bocah ini.

"Hih enak aja," sewotnya tiba-tiba, "ini buat akulah, kan aku yang beli. Aku mau minta bukain plastik lolipopnya, susah banget." Entah sejak kapan bocah ini jadi sewot sendiri cuma gara-gara Risa kira lolipopnya buat dia. Harusnya kan Risa yang kesel, dia kayak dipermainkan.

"Jangan manja, masa buka sendiri aja nggak bisa," ujar Risa ikutan sewot. Biarin aja, abisnya udah jelas Risa nggak tahan sama lolipop, dan anak ini kayak PHP. "Emang nggak ada yang bisa diminta tolong selain aku?" tanyanya.

"Yah si Kakak, kan di taman ini cuma kakak yang kelihatan sendiri kayak jones," ujarnya tanpa rasa bersalah. "Kak, tanganku pegel nih," keluhnya.

"Apa katamu jones?" tanya Risa memelototkan matanya. Hingga akhirnya dia mencoba membuktikan perkataan bocah ini dengan mengalihkan pandangan ke sekeliling taman. Memang sih taman mulai sepi, dan tidak ada yang lain selain dia dan bocah ini. Lagipula wajar sepertinya beberapa menit lagi masuk waktu maghrib. Ah iya, Risa sampai tidak sadar sudah terdiam di sini cukup lama. Omong-omong bocah ini nggak dicariin apa ya, mau malam gini masih keluyuran. Mencoba melupakan kekesalannya, dia segera mengalihkan pandangannya kepada si bocah yang sudah terduduk di sampingnya. "Kamu kok masih keluyuran?" tanya Risa. "Nanti dicariin orangtua kamu loh."

"Aku lupa ruanganku," celetuk si bocah.

"Eh kamu sakit?" tanya Risa ragu. Tapi kalau dilihat-lihat si bocah emang kurus banget, dengan muka sedikit pucat. Tapi kok bisa-bisanya gitu keluyuran sendiri gini.

"Aku nggak sakit," ujarnya, "tuh kak buktinya aku masih bisa jalan-jalan. Tapi suka kesel aja kok kadang-kadang aku cepet lupa gitu. Padahal ya Kak, aku tuh di kelas yang paling pintar, buktinya juara satu terus," ujarnya yang akhirnya malah banga-banggain diri sendiri. Lagipula apa hubungan pelupa dan juara?

Risa yang bingung mau respon curhatan si bocah yang mana. Segera menatap langit yang mulai gelap dan mendung. Sepertinya mau hujan, dan dia tidak bisa terdiam lama-lama di sini. "Kakak bantu cari ruanganmu yuk," ajak Risa yang sudah berdiri. Tidak mungkin juga kan Risa tinggalin si bocah nyebelin ini sendiri di sini, walau rasanya tadi pengen unyeng-unyeng si bocah.

"Emang kakak tahu?" tanya si bocah.

"Ya enggak tahu," ujar Risa kikuk. "Nanti bisa kita tanyakan di meja resepsionis. Nama kamu siapa?" tanya Risa.

"Dino," ujarnya.

"Yaudah yuk," ajak Risa.

Dino hanya bisa menggeleng lesu saat Risa mengajaknya. Tangannya seketika terkepal untuk kemudian meninju kasar bangku kayu itu. "Aku benci kalau udah kayak gini."

"Hei kamu bicara apa?" tanya Risa kaget.

"Aku nggak bisa jalan," lirihnya.

Risa hanya bisa menautkan alis bingung. Sungguh bocah ini benar-benar sulit dipahami. Mencoba bersabar, dia segera kembali ke bangku tempat duduknya tadi. Perlahan dia sedikit mengacak rambut Dino. "Kalau bukan anak kecil udah aku unyeng-unyeng, deh."

Dino hanya menggeleng dengan raut yang lebih sendu. Entah sejak kapan suasana jadi mellow seperti ini. Padahal beberapa menit yang lalu, Dino sangat terlihat bersemangat. Bahkan sempet-sempetnya ngeledek Risa tanpa rasa bersalah.

"Aku emang suka kayak gini," ujar Dino, "terkadang secara mendadak bagian tubuhku kaku. Tanganku tadi mulai lemah, makanya minta bukain lolipop ke kakak. Sekarang kaki aku yang lemah, buat digerakkin susah deh," ujarnya dengan wajah yang begitu lelah.

Mendengar penuturan polos Dino membuat Risa seketika membisu. Netranya melirik kaki itu yang hanya diam kaku, tanpa pergerakkan. Sebenarnya sakit apa yang dialami si bocah? Pertanyaan itu seakan memenuhi otaknya.

"Kamu sakit apa?" tanya Risa sedikit ragu.

"Kanker otak."

Deg

"Kan...ker?" Risa hanya bisa meneguk susan payah salivanya. Dadanya seakam sesak akan penuturan Dino. Sungguh, malang sekali nasibnya. Mencoba menyembunyikan kesedihannya, dia seketika tersenyum samar. Dia memikirkan cara untuk mengajak bocah ini pergi. Tapi dengan apa?

Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling taman ini, hingga akhirnya netra itu berbinar senang.

"Rio!!"

***
Dino Ardiansyah, seorang bocah berusai 8 tahun yang mengidap kanker otak stadium 2. Sungguh dia masih mengingat bagaimana anak kecil itu seketika berubah menjadi ceria saat bertemu keluarganya yang panik akibat Dino menghilang. Anak itu sekana mengatakan semuanya baik-baik saja, padahal saat bersama Risa tadi, raut khawatir, ketakutan dan sedih itu begitu ketara. Sungguh Risa seakan tertampar. Dia begitu kufur atas nikmat yang Allah berikan, apalagi kesehatannya ini, dan dia masih sering menyalahkan takdir. Entah kenapa air mata itu menetes seketika.

"Lah mewek."

Tangan mungil itu refleks mengusap kasar wajahnya, untuk kemudian mengalihkan pandangannya kepada sang pahlawan kesorean ini. "Makasih yo."

Aneh. Itu yang Rio pikirkan tentang Risa saat ini. Daritadi gadis yang berjalan di sampingnya ini hanya melamun, setelah itu mengeluarkan air mata, dan sekarang malah berterima kasih. "Ris, kayaknya lu masih sakit."

"Ck... dibilang aku udah sembuh," sanggah Risa, "buktinya udah bisa jalan-jalan gini."

"Maksud gua otak lu masih sakit," ujarnya, "sikap lu aneh tahu, Ris. Apa lu kesambet gara-gara di taman tadi!!" Rio sekektika membulatkan matanya saat memikirkan hal-hal seperti itu.

"Ngaco," ujar Risa. "Udah ah bicara sama kamu suka bikin emosi. Pokoknya makasih atas kesedianya menjadi superman Dino tadi," ujarnya dengan sedikit terkekeh mengingat saat di taman tadi pas sekali ada Rio. Jadi dia bisa minta tolong kepada sepupunya ini menggendong Dino sampai ruangannya.

"Ah sama-sama," ujarnya, "ternyata jagoan juga ya tuh bocah. Padahal tadi dia hampir mewek pas gua bilang nggak mau dan tinggalin aja di taman. Eh pas ketemu keluarganya sok kuat gitu." Rio menggeleng takjub.

"Semoga aku bisa sekuat anak itu," gumam Risa.

27-12-2018

Past and FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang