Rasanya Risa tidak ingin datang ke sekolah hari ini. Setiap dia melewati koridor demi koridor sekolah ini seperti berada di sarang harimau. Tatapan-tatapan dari murid di sekolah ini begitu mengintimidasinya. Ini masih pagi hari, akan tetapi semua terasa berat untuk dijalani.
"Risa!!" panggil suara yang sangat Risa kenali.
"Cukup Ti, aku nggak marah sama kamu, tapi jujur aku kecewa," ujar Risa dingin begitu orang yang memanggilnya tadi ternyata Tiar.
"Dengerin penjelasan gua, Ris," ujar Tiar sambil menahan tangan Risa untuk tak beranjak dari sini.
"Lepas, Ti," lirih Risa. Ia mencoba melepaskan cengkraman itu.
"Ini semua kerjaan Dinda, Ris" ujar Tiar dengan emosi yang dia coba tahan.
"Cukup, Ti. Kamu udah ketahuan, jangan limpahin kesalahan ke orang tanpa bukti," jelas Risa.
"Tapi Ris---"
Risa segera melepas kasar cengkraman itu dan berlari menjauhi Tiar. Sungguh dia tidak kuat, hatinya sakit setiap melihat Tiar. Padahal Risa sudah sangat percaya dengan Tiar seperti dia percaya ke pada Dinda yang lebih awal kenal dengan Risa. Tetapi mengingat perlakuan Tiar membuat kepercayaannya hancur dalam sekejap.
Eh itu yang anak sok alim itu, kan.
Paling dia melet si Azzam.
Penampilan dia kayak gitu, paling niat deketin Azzam.
Kuping Risa panas mendengar ucapan demi ucapan yang menyakitkan ini. Dia harus bisa menahan jangan sampai terpancing emosinya. Lagipula foto-foto itu benar dia dan Azzam, akan tetapi sang pengambil gambar pintar sekali mengambil gambar dari sudut yang pas hingga kelihatan dekat. Tak hanya itu, foto-foto itu diperkuat oleh foto Risa dan Azzam yang kelihatan berdua di taman. Dalam hati masih tak menyangka, Tiar setega itu padanya.
Sepi. Kemana suara-suara itu? Dari awal dia masuk ke gerbang sudah disambut kata-kata pedes, sampai dia jalan saat ini. Ini belum sampai di kelas tapi tiba-tiba saja sepi. Risa yang sedaritdi menunduk segera memberanikan diri menatap sekitar.
"Sekali lagi gua denger kalian ngomongin sepupu gua, gua bakar satu-satu."
Risa hanya bisa menggeleng kecil, ternyata tepat di belakang nya ada Rio. Sejak kapan Rio di sini. Pantas saja langsung pada diam. Bagaimana tak diam, Rio ini biang onar di sekolah, siapa yang tak mengenalnya. Apalagi semenjak kelas 11, tambah parah. Dia tak onar seperti tawuran, akan tetapi jiwa jahilnya untuk mengerjai orang benar-benar membuat kesabaran diuji. Makanya banyak yang malas berurusan dengan Rio.
"Nggak usah dengerin omongan mereka," ujar Rio. "Ayok gua anter ke kelas," ajaknya dan jalan ke depan lebih dulu.
Kalau sudah seperti ini dia merasa punya sosok seorang abang. Dari kecil Rio yang selalu menjahilinya, mengerjainya, Bahkan membuatnya menangis karena tak kuat diusili. Akan tetapi di satu sisi, lelaki ini yang akan maju ke depan jika ada yang berani menyakiti Risa.
"Tumben baik," kekeh Risa dan mengikutinya dari belakang.
Beberapa menit kemudian sampai lah di depan kelas Risa.
"Ingat kata gua, jangan dengerin kata-kata mereka. Mereka cuma manusia bodoh yang termakan berita bohong. Lu nggak salah, ini salah mantan sahabat lu." Itu lah pesan terakhir Rio setelah meninggalkan Risa sendiri di depan kelas.
Risa hanya bisa mengiyakan untuk kemudian memasuki kelas. Pelukan hangat sahabatnya langsung menyambutnya saat dia sampai di bangku nya. Dinda menepuk-nepuk bagi Risa. Ananda mencoba menguatkan.
"Ris lu ada kita, pasti nanti kebenarannya terungkap," ujar Ananda.
"Lu harus tenang ada gua, nanti gua pites orang yang bilang aneh-aneh ke lu," ujar Dinda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Past and Future
EspiritualAdrisa Resyafa atau kalian bisa saja memanggilnya Risa. Hanya seorang gadis dengan tubuh kecil untuk ukuran anak SMA, kulit kuning langsat dan mata yang sipit. Di masa putih abu-abunya, gadis tersebut mengalami berbagai macam hal. Dimulai dengan per...