Tatapan mengintimidasi dan raut wajah kaku. Dia sangat membenci kedual hal tersebut, apalagi jika berasal dari orang yang asing baginya. "Jangan natap saya seperti itu," ujarnya dengan tatapan kesal. Sudah sekitar lima menit dia terduduk di ruangan yang lumayan nyaman ini, akan tetapi seorang pria di hadapannya ini yang membuat dia merasa tidak nyaman bahkan ingin cepat-cepat keluar.
"Nama antum Ari?" tanya pria yang usinya sekitar dua puluh tahun itu.
"Hmm..." deham Ari dengan pandangan yang meliar ke seluruh ruangan, tanpa mau menatap lawan bicaranya. Terserah mau dibilang tidak sopan, yang jelas dia tidak mau melihat tatapan yang seakan menghunus dia.
Melihat respon ikhwan di hadapannya ini, membuat napas itu terembus berat. "Antum tahu kesalahan yang antum perbuat?" Dia masih mengingat saat Ari dengan entengnya menyatakan perasaannya di gerbang sekolah tadi, yang seharusnya tidak patut untuk dilakukan apalagi kepada sesama anggota rohis.
"Saya nggak tahu kesalahan saya, dan tidak mengenali anda," jawabnya dengan tatapan tajam. Yah... dia harus melawan tatapan mengintimidasi tersebut. Dia tidak suka diperlakukan seperti ini, padahal dia sendiri tidak tahu permasalahannya di mana.
"Antum anak rohis, kan'?"
"Iya."
"Udah berapa lama jadi anggota rohis?"
"Baru tadi."
"Apa tahu batasan antara laki-laki dan perempuan dalam islam?" Tanyanya.
Ari hanya mengangkat sebelah alisnya untuk kemudian memutar bola matanya malas. Untuk apa orang ini menanyakan hal itu. Sedangkal-dangkalnya ilmu agama yang dia miliki, dia cukup tahu batasan antara lawan jenis itu. "Laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya dilarang bersentuhan."
Raut wajah kaku itu perlahan berubah bersahabat mendengar perkataan itu. "Terus untuk apa kamu mengajak pacaran seorang wanita?" Tanyanya dengan senyum miring.
"Ya karena saya suka makanya saja ajak pacaran," jawabnya enteng, "lagipula untuk apa anda menanyakan hal seperti ini?"
Dia hanya menggeleng samar. "Apa tujuan antum masuk rohis?"
Ari seketika meneguk kasar salivanya, pandangannya seketika berpindah ke arah lain, sibuk mencari alasan. Tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya. Ah... ini semua karena kecerobohannya dan tidak bisa menahan keinginannya sendiri. "Saya ingin...."
"Ingin apa?"
"Ingin...." Ari tidak bisa melanjutkan ucapannya karena lidahnya seakan kelu. Dia kalah telak, pria di hadapannya ini semakin memojokkannya.
"Jika antum masuk sini hanya karena nafsu belaka. Mohon maaf antum termasuk orang yang merugi."
"Jangan urusi urusan saya," lirihnya.
Mendengar lirihan itu dia hanya tersenyum miring. "Tapi mengingatkan sesama muslim suatu kewajiban."
Ari hanya mendengus untuk kemudian bangkit dari duduknya. "Maaf tapi itu bukan urusan Anda." Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, dia segera keluar dari ruangan dengan perasaan csmpur aduk. Tangannya mengacak rambut frustasi dengan rutukkan yang setia keluar dari bibirnya. Dia tidak suka hidupnya diurusi seperti ini, toh orang tuanya sendiri saja tidak peduli.
Tanpa mempedulikan hari yang semakin sore, dia langsung melangkahan kaki ke pelataran masjid dan duduk di teras marmer tersebut. Pandangannya langsung menelisik sekolah yang sudah sepi. Hatinya benar-benar tidak karuan, perasaannya semakin membuncah untuk Risa. Ini semua karena si Rio tengil itu. Untuk apa dia mempercayai omongan dari cowok tersebut yang suka berbicara tanpa dipikir.

KAMU SEDANG MEMBACA
Past and Future
SpiritualAdrisa Resyafa atau kalian bisa saja memanggilnya Risa. Hanya seorang gadis dengan tubuh kecil untuk ukuran anak SMA, kulit kuning langsat dan mata yang sipit. Di masa putih abu-abunya, gadis tersebut mengalami berbagai macam hal. Dimulai dengan per...