Part 76

122 13 0
                                    

Azzam menggeleng pelan saat teman-temannya mendekat. Ia bisa merasakan langkah Risa yang semakin mundur untuk menjauhi papan mading itu. Saat ini Azzam sadar bahwa perempuan ini tidak baik-baik saja. Ia sangat tahu bahwa Risa sangat mengharapkan beasiswa ini.

"Aku gagal," lirih Risa. Terdapat rasa kecewa yang mendalam karena tidak lolos diseleksi terakhir ini. Namanya, berada diurutan kesebelas, pertanda ia tidak lolos karena beasiswa ini hanya untuk sepuluh orang.

"Padahal selisih nilainya tipis banget sama yang diurutan kesepuluh," ujar Tiar.

Ananda yang paling peka di antara mereka langsung merangkul bahu Risa untuk menguatkan. Ia bisa merasakan kesedihan yang dialami Risa saat ini. Apalagi perjuangan Risa untuk sampai pada tahap ini banyak sekali halangannya.

"Hei Ris, lu udah hebat loh sampai tahap ini," ujar Dinda sedikit menghibur, "ya walau gagal, tapi lu udah berusaha semaksimal lu."

"Ya dari awal sih gua emang nggak yakin si Risa cengeng ini bisa lolos sampai sejauh ini," timpal Rio yang seketika mendapat pelototan dari teman-temannya.

"Rio...,"desis Tiar dan Dinda bersamaan.

"Eh santai gua belum selesai ngomong," sela Rio, "tapi lihat lu sekarang yang udah melampaui ratusan peserta, lu bukan hebat lagi lah woy. Bayangin, sepupu gua yang bahasa Inggrisnya sering do re mi, malah udah bisa bahasa Arab yang tingkatannya lebih susah. Udah sampai tahap akhir juga, ya walaupun gagal, tapi ini benar-benar menakjubkan bisa ikut beasiswa ini. Eh anjir gua malah pidato," ringis Rio saat sadar menjadi pusat perhatian.

"Lu sehat?" tanya Dinda, "tumben bener otak lu."

Rio hanya mendengus sebal akan pertanyaan Dinda barusan. Kalau saja situasinya tidak seperti ini, ia sudah balas si nenek lampir ini. Akan tetapi, keadaan Risa saat ini lebih penting. Ia takut sepupunya ini menyalahkan dirinya sendiri.

Risa tersenyum samar karena merasakan teman-temannya saat ini mencoba untuk menghiburnya. Dia jadi teringat semua perjuangannya untuk sampai tahap ini, tapi memang proses tidak ada yang semulus jalan tol, kan? Walau prosesnya teramat menyakitkan, tapi hal itu tanpa sadar membuat Risa semakin kuat dari sebelumnya. Ia merasa banyak perubahan yang terjadi seiring berjalannya waktu, kecuali satu hal, yaitu keberadaan teman-temannya yang masih setia di sampingnya saat ini.

"Kegagalan emang nggak ada yang mengenakan, tapi itu bukan akhir. Tahun depan kita masih bisa daftar, Ris. Ana yakin masih ada kesempatan yang lain," ujar Azzam memberi semangat.

"Nah sebagai perayaan akan perjuangan Risa selama ini, kalian semua gua traktir. Kapan lagi gua traktir kalian, kan," ujar Rio dengan senyum bangga.

"Eh serius???" Tanya Tiar tak percaya.

"Khusus Risa bebas beli apa aja. Kalian semua? Nggak boleh lebih dari seribu," ujar Rio.

"Dih, apa-apaan," ujar Dinda tak terima.

"Seribu dapat apaan?"tanya Tiar sewot.

"Eh dapat permen kok," timpal Ananda yang membuat kedua perempuan itu gemas.

Risa sudah tak bisa menahan senyumnya menyaksikan percakapan random ini. Jauh di lubuk hatinya, rasanya ingin bersedih dan mencerna apa yang salah dari usahanya selama ini. Akan tetapi, teman-temannya saat ini seakan tak memberi waktu untuk Risa untuk terpuruk sendiri.

Hingga akhirnya, mereka semua memutuskan untuk meninggalkan gedung tempat diadakan tes beasiswa ini. Mereka berencana untuk ke cafe punya orangtua Azzam. Ya, pada akhirnya semua ucapan Rio seakan jadi wacana saja karena buat apa mereka ditraktir kalau hanya seribu. Kalau sudah seperti ini, Azzam akan berbaik hati mentraktir teman-temannya.

Saat di parkiran, Azzam segera menuju sebuah mobil hitam yang baru saja diantar oleh orang kepercayaan keluarganya. Sedangkan, motor Rio dibawa orang itu ke rumah Azzam agar mereka berlima bisa pulang bareng. Mengenai Riko, ia hanya ikut mengantarkan saja karena ada urusan mendadak.

Selama perjalanan menuju cafe, Risa hanya bisa termenung menatap jalan raya yang tidak terlalu padat. Masih terbayang bagaimana semua perjuangannya selama ini. Mulai dari belajar bahasa Arab yang sama sekali tidak mengerti, belajar soal-soal tes secara mandiri di rumah, membeli berbagai macam buku penunjang tes, kasus sabotase, dan masalah lainnya. Seketika ia merasakan bersalah karena mengecewakan teman-temannya yang selama ini terus mendukungnya berjuang sampai sejauh ini. Walau sedari tadi teman-temannya memberi motivasi yang beragam, ia tidak bisa menghilangkan rasa kecewa ini, terlebih kepada dirinya sendiri.

"Zam, tes ini tiap tahun ada, kan?" tanya Rio yang diangguki Azzam yang sedang fokus menyetir.

"Kalau tahun depan gua ikut, gimana?" tanya Rio.

Semua yang berada di dalam mobil, bahkan Risa yang sedaritadi sibuk dengan pikirannya seketika menatap Rio tak percaya.

"Lu yakin?" tanya Azzam.

"Duh, Yo. Mohon maaf aja nih, bukannya gua ngeremin, lu setiap pelajaran agama aja tidur gimana mau ikut kayak gitu," ujar Dinda.

"Wah segitu sukanya lu sama gua ya. Sampai gua tidur pas pelajaran Agama tahu. Lu kirim mata-mata ke kelas gua?" tanya Rio.

Dinda yang merasa salah bicara segera mengalihkan pandangan ke arah lain. Bodoh sekali, ia membongkar telah memperhatikan Rio sejauh itu. Bisa kepedean tingkat tinggi si kunyuk satu ini.

"Udah sih jadian aja kalian," suruh Tiar yang mendapat pelototan dari Dinda.

Rio seketika bergedik ngeri membayangkan dirinya jadian dengan Dinda. Bisa-bisa telinganya pecah, otaknya ngehang, kepalanya migran dengan kehebohan dan kerempongan nenek lampir ini.

"Kamu serius mau ikut daftar beasiswanya?" tanya Risa yang masih penasaran akan keputusan Rio tadi.

"Bukan lah, maksudnya tuh gua mau ikut anterin Risa kalau mau daftar lagi," ujar Rio.

"Nyesel gua dengerin lu, Yo," ujar Azzam.

"Waktu gua kebuang akan pertanyaan nggak bermutu lu," ujar Tiar.

"Padahal kalau emang niat, Rio bisa kok kalau mau ikut juga," ujar Ananda yang menganggap serius pernyataan Rio tadi.

"Bisa gila paling, An. Nanti setan di tubuhnya pada kepanasan karena ayat-ayat Al-Qur'an," timpal Dinda.

Hingga akhirnya, selama perjalanan hanya diisi perdebatan antara Rio, Tiar, dan Dinda. Ananda seperti biasa hanya memperhatikan dan menimpali sesekali. Sedangkan, Risa menatap jalan raya dengan pikiran yang entah kemana.

Di sisi lain, Azzam sibuk memikirkan berbagai cara agar Risa kembali bangkit dan semangat seperti biasanya. Walau perempuan itu terlihat tidak begitu membahas kekecewaan atau perasaan tak enak di hatinya. Azzam bisa merasakan Risa tetap mencoba untuk terlihat ikhlas di depan teman-temannya, padahal perempuan ini begitu terpuruk.

Drttt....

Drtt....

Getaran ponsel yang berada digenggaman tangan Risa membuat seluruh perhatian menuju ke arahnya. Apalagi saat melihat ekspresi Risa yang sulit terbaca saat mengangkat panggilan tersebut.

"Innalillahi wa innailahi raji'un," ujar Risa.

Hal tersebut membuat keadaan di dalam mobil hening seketika. Berbagai macam pertanyaan menghinggapi otak mereka, terkhusus mengenai siapa yang meninggal?

Bogor, 24 September 2021

Past and FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang