Mau sebaik apapun kita dengan orang lain, kalau sudah tersimpan rasa iri di hatinya. Semua hal yang kita lakukan pasti selalu salah di matanya.
***
Prang....
Prang....
Bosan. Satu kata itu yang Dinda rasakan saat pertama kali membuka pintu rumahnya. Dia memang sangat special, baru pulang dari sekolah seperti ini saja sudah disambut dengan suara pecahan barang-barang yang dibanting.
"Saya datang ke sini baik-baik, cuma mau bahas bisnis yang di Singapura!!" pekik sebuah suara bariton.
"Tapi nggak usah ganggu waktu saya sama Revan, sekarang bukan waktu kerja!!" pekik seorang wanita.
"Cih selera Anda rendahan, cuma sama cowok yang umurnya tiga atau empat tahun dari anak kita." Pria itu segera pergi meninggalkan kekacauan yang dia buat.
Hingga saat di pintu keluar, dia berpapasan dengan Dinda yang masih mematung menyimak semua yang terjadi di depan matanya.
"Ayah...." lirih Dinda. Sudah sebulan lamanya dia tidak berjumpa dengan Ayahnya karena sudah sibuk dengan keluarga barunya.
"Urus mamamu yang gila berondong itu," ujarnya dingin berlalu meninggalkan Dinda.
Tes...
Tes...
Setetes demi setetes berlian bening itu turun dari kelopak mata gadis tersebut. Dia benci kalau sudah menangisi keluarganya seperti ini. Bahkan dia benar - benar tidak merasakan mempunyai keluarga. Sedari kecil sampai tamat SD, Dinda diurus dengan neneknya di Bandung. Tetapi saat menginjak SMP, Dinda bersikeras ingin tinggal dengan kedua orangtuanya. Ya, dia menyesali tidak menuruti kata nenek dulu untuk tetap tinggal dengan nenek saja. Keluarganya begitu hancur, bahkan dia belum pernah merasakan arti memiliki keluarga seutuhnya.
Ingin tinggal sama nenek lagi, tapi Dinda tak ingin merepotkan neneknya. Di sana sudah banyak sepupunya yang lain, Dinda sudah merasa besar dan bisa mengurus hidupnya sendiri. Selama lima tahun belakangan ini dia hadapi semuanya sendiri.
Terkadang iri melihat keharmonisan keluarga Risa. Masih teringat saat SMP dulu, dia sering sekali ke rumah Risa untuk bermain. Akan tetapi, ternyata itu menjadi racun untuk dirinya sendiri. Melihat keluarga Risa hanya membuat hatinya sakit. Kenapa dia tidak dilahirkan dengan keluarga yang seperti itu juga. Hingga lama kelamaan dia tidak ingin lagi bermain ke rumah Risa. Menceritakan masalahnya kepada Risa? itu sangat tidak mungkin. Hidupnya akan terlihat menyedihkan mempunyai keluarga seperti ini.
Apalagi terkadang dia jijik sendiri melihat sang mama yang gonta-ganti pacar yang umurnya tidak jauh darinya. Jika orang lain tahu kelakuan sang mama, begitu memalukan. Bahkan dia tak sudi wanita itu disebut sebagai mama.
"Ngapain kamu diam disitu?"
Dinda seketika tersentak saat wanita itu telah berdiri di hadapannya dengan pakaian yang sudah rapi.
Tanpa menjawab ucapan sang mama, Dinda berlalu masuk ke dalam. Bersamaan dengan itu sebuah deru mobil datang. Pasti pacar mamanya itu. Jangan salahkan Dinda kenapa sikapnya seperti ini. Di sini tidak ada yang mendidiknya. Berbeda dengan Risa yang dididik dengan orangtuanya secara baik.
Pokoknya Dinda nggak akan biarin hidup Risa tenang. Rencananya untuk membuat impiannya hancur harus jalan. Dengan senyum miring, dia segera menghubungi Riko yang setia membantunya.
To Riko
Kita nggak usah masuk sekolah untuk besok. Nanti gua suruh Ayah gua buat urus surat izin. Siapin aja rencana buat senin depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Past and Future
EspiritualAdrisa Resyafa atau kalian bisa saja memanggilnya Risa. Hanya seorang gadis dengan tubuh kecil untuk ukuran anak SMA, kulit kuning langsat dan mata yang sipit. Di masa putih abu-abunya, gadis tersebut mengalami berbagai macam hal. Dimulai dengan per...