Part 64

138 20 6
                                    

Terkadang memotivasi orang lain lebih mudah daripada memotivasi diri sendiri

***

"Dinda, tolong jauhin benda itu!" pekik Risa.

Dengan air mata yang sudah tak terbendung, ia menatap nanar sahabatnya sejak berpakaian putih biru itu. Hatinya begitu teriris saat melihat keadaan Dinda yang begitu kacau. Rambut berantakan, wajah yang banyak bekas air mata, dan sebuah bekas tamparan yang masih terlihat jelas di pipinya.

"Jangan mendekat!" pekik Dinda dengan mata memereh.

Saat ini live instagram yang dilakukan oleh Dinda masih aktif. Siapa sangka banyak yang menonton aksi Dinda yang begitu kelewat wajar ini. Cewek ini sampai membuat heboh seantero sekolah karena memang ia cukup dikenal di sana.

"Dinda yang gua kenal nggak bodoh kayak gini," ujar Tiar sendu, "Din, lu lagi akting kan?" tanya Tiar masih tak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang.

Dinda seketika menyemburkan tawanya hingga menggema ke seisi rumah mewah ini. Ia menatap satu per satu sahabatnya ini dan ponsel yang banjir komentar.

"Gua capek asal kalian tahu?!! Gua capek pura-pura bahagia, baik-baik aja, ketawa-ketiwi basi, selama bertahan-tahun ini. Gua capek mendem semua hidup jelek gua ini! Kalian semua nggak akan ngerti apa yang gua rasaian!" Dengan napas yang terengah-engah karena amarah yang memburu, Dinda mengungkapkan segala penderitaan yang ia rasakan selama ini.

"Din, kamu punya kita. Kamu bisa ceri––"

"Halah basi!!" potongnya, "selama ini cuma cerita lu yang sibuk diurusin sama orang. Lu nggak akan pernah paham ada di posisi gua! Gua benci sama lu, Ris!!"

Sungguh perih sekali hatinya saat mendengar semua kata-kata Dinda. Luka yang masih menganga ditaburi garam terus-menerus. Ia merasa sejahat itu dengan sahabat yang sangat ia sayangi. Dia tak mau kehilangan Dinda, ia yakin semua masih bisa diperbaiki.

Ia merasakan tangannya ditahan kedua temannya saat langkahnya ingin sedikit maju. Ia tahu Tiar dan Ananda khawatir juga dengan kondisi Risa sekarang. Tapi sekarang yang lebih dikhawatirkan kondisi Dinda. Risa harus segera membuang pisau itu jauh-jauh. Ia tak mau Dinda terluka atau siapapun.

"Biarin aku deketin Dinda," ujar Risa lirih, "kalian harus percaya sama aku." Risa berusaha meyakinkan kedua temannya bahwa ia akan baik-baik saja.

"Ris, dia udah gila. Dia bukan Dinda yang kita kenal," ujar Tiar. Matanya masih menatap was-was Dinda yang takutnya nanti malah melayangkan pisau itu kearah lain. Tiar masih muda, tidak mau mati konyol. Ia masih ingin menikah dengan oppa-oppa khayalannya. Menikah dalam mimpi yang Pasti.

Perlahan Ananda mulai melepaskan genggamannya. "Hati-hati, kita siap siaga dari jarak aman," ujar Ananda.

Tiar mau tidak mau membiarkan Risa untuk mendekati Dinda. Ia hanya bisa berdoa agar Rio cepat menyelesaikan aksinya sesuai rencana mereka. Walau mereka sudah teramat membenci Dinda, tapi mereka tetap seorang teman yang memiliki hati nurani. Semuanya tidak terlepas dari Risa yang selalu memaafkan kesalahan Dinda.

"Kalau lu mendekat, lu yang gua tusuk!" ancam Dinda sambil menunjuk-nunjukkan pisau itu kearah depan.

Risa hanya menggeleng samar. "Din, dengerin aku. Kamu nggak sendiri, kamu masih ada kita. Aku janji mau terus temenin kamu asal jangan ngelakuin hal kayak gini. Kita masih bisa belajar sama-sama kearah lebih baik," ujar Risa.

"Gua cuma mau tenang, gua cape!" keluhnya.

"Kamu pikir setelah kamu pergi dari dunia dengan cara kayak gini semua masalah selesai? Din, alam akhir jauh lebih pedih. Aku yakin kamu orang ––"

Past and FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang