Part 63

183 22 2
                                    

Bahkan hingga saat ini, aku belum mengetahui definsi keluarga yang sebenarnya?

***

Plakk....

Tubuh itu seketika terhuyung ke belakang saat sebuah tamparan mendarat tepat di pipi kirinya. Untuk kesekian kalinya, orang tua itu menamparnya. Ia tak habis pikir kenapa hidupnya jadi semenyedihkan ini.

"Harusnya Anda tinggal sama nenek saja, kehadiranmu di dekat saya cuma menjadi benalu!!" pekik seorang pria dewasa dengan raut wajah yang memerah menandakan kemarahannya sudah sampai puncak.

Matanya menatap tajam seorang gadis belia yang tengah menundukkan kepalanya dengan tangan terkepal.

"Kenapa diam saja?!!" pekiknya, "tidak puas sudah mempermalukan saya karena ulah Anda yang begitu menjijikan? Saya tak sangka Anda begitu tak waras sampai mau membunu---"

"Cukup!!!!" potong gadis itu, "Anda tak suka??? Kenapa tidak biarkan saja saya membusuk di dalam penjara?!!"

"Anak tidak tahu diuntung!!"

Plakk....

Untuk kesekaian kalinya pria itu menampar sang gadis.

Sungguh tamparan ini tidak sakit bagi Dinda dibandingkan sakit di hatinya. Tamparan, tendangan, semua itu tidak berasa untuk Tiar dibandingkan semua kata-kata menyakitkan dan perlakuan pria itu kepadanya. Apa pantas pria itu disebut sebagai Ayah?

"Tidak ada gunanya berbicara dengan Anda," ujar pria itu. "Kepala saya pusing melihat perusahaan yang hampir hancur karena berita seorang pengusaha hebat seperti saya memiliki anak yang hampir membunuh orang lain. Pergi jauh dari hidup saya dan segera urusi surat kepindahan Anda ke luar negeri." Setelah itu, dia melangkahkan kakinya keluar rumah disusul deru mesin mobil.

Hikd

Hikd

Hikd

Tangis yang Dinda tahan sedaritadi seketika luruh bersamaan dengan tubuhnya yang bersender ke dinding yang dingin. Sungguh ia tidak kuat hidup seperti ini. Perlahan tangannnya terulur ke bekas tamparan beberapa saat yang lalu. Mungkin sakit di seluruh badan ini akan menghilang, tapi sakit hatinya tak bisa diobati. Tidak sekali atau dua kali pria itu menyakitinya.

Sedaridulu sang Ayah selalu melampiaskan amarahnya kepada Dinda. Entah karena pusing dengan perusahaan atau setelah melihat sang Ibu yang selalu bergonta-ganti pasangan. Semua amarah dilampiaskan kepada Dinda. Setelah pria itu puas, seperti tadi, ia pergi begitu saja tanpa merasa kasihan. Kadang dia berpikir? Apakah orangtua lain ada yang seperti orangtuanya?

Rasanya ingin pergi, tapi sedaridulu dia selalu percaya keluarganya bisa harmonis seperti keluarga lain. Akan tetapi, kali ini Dinda menyerah. Sepertinya benar kata pria itu, Dinda harus pergi sejauh mungkin. Ya sejauh mungkin, sampai tidak ada yang bisa menemukannya.

Netranya seketika meliar ke rumah mewah ini yang keadaannya begitu sunyi. Hingga akhirnya, ia meyungingkan senyumnya saat melihat sebuah benda yang mengkilap di atas meja. Ya, dia harus pergi sejauh mungkin. Mungkin pergi dari dunia ini?

***

Dor...

"Astaghfirullah." Risa seketika mengelus dadanya saat Tiar tiba-tiba saja datang mengagetkannya.

"Ngelamun mulu, hayo mikirin apa?" tanya Tiar.

"Itu..."

"Gua tahu, pasti lu mikirin gimana hasil tes beasiswa lu lusa nanti. Percaya sama gua, lu itu hebat pasti lolos," ujar Tiar menepuk bahu Risa memberikan energi positif.

"Bukan mikirin itu." Risa menggeleng pelan.

"Oh lu pasti mikrin Azaam, kan?" ledeknya iseng sambil menaikturunkan alisnya.

"Ih lebih ngaco," ujar Risa. "Aku mikirin Itu..."

"Apa?" Tiar semakin penasaran dengan apa yang Risa pikirkan. Sampai gadis ini diajak keluar pada jam kosong seperti ini saja tidak mau. Malah memilih diam di kelas. Dugaannya benar, ada sesuatu yang membuat Risa tidak ingin keluar.

"Dinda," lirih Risa yang siapa sangka terdengar jelas olah Tiar.

Raut wajah Tiar seketika berubah 180 derajat mendengar satu nama itu. Dia memutar bola mata malas. Entah apa yang ada di otak Risa sampai masih saja memikirkan mantan sahabatnya itu.

"Perasaanku nggak enak," ujar Risa.

"Ris, buat apa sih lu mikirin dia yang jelas-jelas aja nggak mikirin lu," ujarnya, "dia hampir bun--"

"Jangan dilanjut," potong Risa cepat. Jujur, hatinya sangat sakit saat mengingat seluruh perlakuan Dinda kepadanya. Entah apa obatnya. Tapi, kali ini perasaan Risa benar-benar tidak enak.

"Udahlah Ris, nggak ada gunanya lu mikirin dia," ujar Tiar, "lu masih punya banyak orang yang tulus sayang sama lu."

Sepertinya berbicara dengan Tiar mengenai Dinda memang tidak akan ada habisnya. Risa hanya mengangguk pelan untuk kemudian sibuk dengan pulpen dan kertasnya. Entah apa yang ia buat, hanya coretan-coretan tidak jelas. Sungguh perasaannya tidak enak.

Semenjak kejadian waktu itu, Dinda sudah tidak masuk sekolah. Para guru pun tidak ada yang membuka suara mengenai tidak adanya Dinda di kelas. Entah gadis itu pindah sekolah atau sebab lain, Risa benar-benar tidak tahu kabar Dinda.

Jujur, Risa sangat menyayangkan persahabatannya dengan Dinda. Mereka kenal sejak SMP, Dinda yang selalu berada di samping Risa saat suka maupun duka. Dinda yang selalu memberi semangat saat Risa down. Dinda juga yang selalu melindungi Risa. Dia tak menyangka ternyata di balik semua itu, Dinda menumpuk segudang keirian kepada Risa hingga berubah menjadi sosok Dinda yang benar-benar tidak ia kenal.

Padahal Dinda sedikitpun tidak pernah menyakiti Risa, bahkan jika ada yang berani menggangu dan menyakiti Risa, gadis itu akan maju paling depan melindungi Risa. Tapi sekarang sangat berbeda, Dinda malah menjadi sosok yang membuat Risa terancam jika berada di dekat gadis itu. Sungguh, Risa rindu saat-sata berkumpul lengkap dengan sahabatnya.

"Astagaa!!!"

Risa seketika tersentak saat pekikan Tiar menggema di sepenjuru kelas. Untung saja keadaan sedang tidak terlalu ramai karena para murid banyak yang di luar kelas. Untuk hari ini sudah dua kali Tiar mengagetkan Risa.

"Risa gila Ris gilaaa!!" Tiar segera menghampiri Risa dengan jari yang menunjukkan layar ponselnya.

"Ih kenapa Tiar? apa yang gila?" tanya Risa bingung.

"Duh ini liat!!" Tiar segera memperlihatkan layar ponselnya di depan wajah Risa.

"Astaghfirullah." Risa segera membekap mulutnya saat melihat video di hadapannya. Lebih tepatnya live instagram yang sedang berlangsung itu. Tubuhnya kaku, darahnya seakan memompa dekat cepat saat sepasang netranya menangkap apa yang terjadi di balik layar itu.

"Dinda...," matanya sudah berkaca-kaca. Sungguh dia tidak kuat. Hal apa yang sekarang Dinda alami hingga melakukan hal seperti itu.

Bogor, 20 November 2020

Past and FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang