25

4.7K 383 48
                                    

Al sudah tiba di ruangan Surya, kemudian mencium tangan mertuanya.

"Gimana pa, kabar papa? Udah membaik?" tanya Al kepada Surya.

"Udah Al, maaf ya papa jadi ngerepotin kamu. Kamu lagi banyak kerjaan ga?"

"Ngga kok pa, ga apa-apa." Al tersenyum menanggapi mertuanya.

Andin tidak banyak bicara kali ini, karena hubungannya dengan Al memang kurang baik sejak pembahasan soal Michelle pagi tadi. Untuk menghubungi Al pun Andin terpaksa karena tidak bisa meninggalkan Surya sendirian di rumah sakit.

"Kamu berangkat sekarang?" tanya Al pada Andin yang sedari tadi diam.

"Iya, kalo gitu aku berangkat ya pa." Andin berpamitan pada papanya dan mencium tangannya.

"Aku berangkat mas, tolong titip papa ya. Kalo ada apa-apa langsung hubungin aku." Andin pun berpamitan dan berpesan kepada Al, kemudian tidak lupa mencium tangannya juga sebelum meninggalkan ruangan.

..

ddrrtt ddrrtt ddrrtt

Kali ini handphone Al bergertar untuk menandakan adanya panggilan masuk, ia sudah mengubah mode nya ketika mau memasuki rumah sakit agar tidak menganggu ketenangan Surya. Nama Dokter Hans tertera di sana, dokternya Michelle.

"Hallo, dok"
"Michelle drop setelah chemotherapy?"
"Tapi dokter bisa berikan pertolongan kan?"
"Tapi saya ga bisa ke sana sekarang, dok"
"Baik, saya usahakan."

Al mendapatkan telepon dari dokternya Michelle, yang mengatakan kalau setelah chemoterapy barusan Michelle langsung drop dan tidak sadarkan diri. Dokter Hans meminta Al untuk segera datang, ada tindakan yang perlu dilakukan dan memerlukan persetujuan keluarga atau orang terdekat pasien.

Sekarang Al bingung karena ia juga harus menjaga mertuanya di rumah sakit, tapi di sisi lain Michelle juga sedang membutuhkannya secepat mungkin.

Al melihat ke arah Surya, Surya sedang tertidur. Kemudian Al melihat jam tangannya, sudah jam 1 siang. Andin sebentar lagi juga akan kembali.

Al merasa aman jika meninggalkan Surya sebentar, karena Surya sedang tertidur dengan kondisi yang stabil ditambah lagi tidak lama Andin juga akan kembali.

..

kring kring

Andin yang sedang menunggu taksi onlinenya menerima panggilan telepon dari rumah sakit.

"Hallo"
"Papa saya kritis?"
"Iya, saya segera ke sana."

Pihak rumah sakit mengabarkan jika Surya kembali mendapatkan serangan. Andin panik bukan main, biarpun dia berpikir Al ada di sana. Tapi kenapa bukan Al yang menghubunginya? Andin tidak sempat memikirkan itu saat ini, yang Andin lakukan hanya berdoa agar papa nya baik-baik saja.

..

Tiba di rumah sakit Andin langsung berlari ke ruangan papa nya, di depan pintu Andin dicegah masuk oleh suster. Surya sedang mendapatkan penanganan di dalam sana. Andin duduk menangis khawatir, tapi ia menyadari sesuatu. Di mana suaminya? Bukan kah harusnya dia ada di sini? Atau sedang ke kantin? Atau mungkin juga ke toilet?

Andin mengambil handphone nya untuk menghubungi Aldebaran.

Sekali. Tidak diangkat.

Dua kali. Tidak diangkat.

"Dimana kamu, mas." Andin berucap lirih.

Andin masih menunggu di depan ruangan Surya, dokter masih belum selesai dengan urusannya di dalam sana. Kemudian ada seorang suster yang keluar, Andin mencoba bertanya apa yang sebenarnya terjadi dengan papanya.

"Sus, papa saya sebenernya kenapa?"

"Tadi ketika kebetulan kami sedang mengontrol cctv setiap ruangan pasien, kami melihat Pak Surya sudah kejang-kejang, Bu. Ketika sampai di ruangannya, Pak Surya sudah tidak sadarkan diri dan pacu jantungnya melemah. Tapi untungnya kami tidak terlambat."

"Cctv? Suami saya tidak memanggil dokter atau suster untuk memberikan pertolongan?"

"Suami Ibu? Kami tidak melihat ada orang lain di ruangan Pak Surya baik ketika melalui cctv ataupun ketika kami datang untuk cek keadaan Pak Surya. Hanya ada Pak Surya sendirian, Bu."

Andin terkejut, di mana suaminya. Ke mana dia? Bukan kah seharusnya Al menjaga papanya?

"Suster yakin? Tidak ke toilet atau ke kantin?"

"Yakin, Bu. Sampai Ibu datang, belum ada orang lagi yang datang ke sini."

"Terima kasih, sus."

"Baik, Bu. Saya permisi."

Pak Surya sudah tidak sadarkan diri dan pacu jantungnya melemah. Tapi untungnya kami tidak terlambat

Pak Surya sudah tidak sadarkan diri dan pacu jantungnya melemah. Tapi untungnya kami tidak terlambat

Kata-kata itu terngiang di kepala Andin. Seandainya terlambat, papanya mungkin tidak akan tertolong. Aldebaran. Di mana dia? Jika dia ada di sana, menjaga mertuanya dengan benar, dari awal serangan itu datang lagi dia harusnya bisa langsung menghubungi dokter untuk secepatnya memberikan pertolongan, tidak menunggu suster mengontrol cctv.

Andin masih penasaran, ke mana suaminya. Andin kembali mengambil handphonenya untuk menghubungi Al.

Diangkat.

"Kamu dimana?" Andin to the poin.

"Saya di rumah Michelle, dia drop setelah chemotherapy pertamanya. Kamu udah di rumah sakit?"

"Ya."

Andin langsung memutuskan teleponnya. Ia sangat marah dan kecewa pada Aldebaran. Bagaimana bisa pria itu bertingkah seperti ini? Dia hampir membahayakan nyawa mertuanya demi wanita lain. Wajah Andin memerah, ia terus berusaha mengontrol dirinya. Papanya membutuhkannya saat ini.

Tidak lama dokter keluar dari ruangan Surya. Andin langsung berdiri menghampirinya.

"Gimana dok papa saya?"

"Syukurlah kami tepat waktu Bu, jadi Pak Surya berhasil kami selamatkan, tapi masih butuh perawatan yang cukup intensif. Lain kali diusahan selalu ada yang menjaga ya Bu, agar jika terjadi sesuatu bisa segera menghubungi dokter. Meminimalisir keterlambatan penanganan."

"Syukurlah. Baik, dok. Saya memang lalai kali ini, lain kali saya pastikan akan selalu ada yang menjaga papa. Terima kasih banyak ya, dok"

"Sama-sama, Bu. Saya permisi dulu."





....

Aldebaran & Andin (Married Life)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang