33

5.1K 460 44
                                    

Ketika Andin sampai, Al sudah menunggunya di depan pintu. Tanpa sepatah kata pun Andin membuka pintu rumah Surya dan masuk diikuti oleh Al di belakangnya.

Al menutup pintu tanpa disuruh setelah mereka masuk.

"Ini apa, Ndin?" tanya Al langsung kepada Andin sambil menyodorkan surat gugatan yang telah diterimanya.

Andin yang semula masih membelakangi Al membalikan badannya.

"Aku rasa kamu bukan orang bodoh yang ngga ngerti itu apa" Andin menjawab sambil melipat kedua tangannya di dada dengan nada acuh tak acuh tapi matanya tidak berani menatap Al. Ia takut luluh.

"Saya belum mengiyakan ini, kamu harusnya tidak mengambil keputusan sepihak."

"Udah lah, mas. Buat apa lagi sih? Aku mohon kerja sama kamu ya dalam hal ini." Mata Andin mulai memerah, ia menahan tangisnya, suaranya mulai parau.

"Andin, tolong kasih saya kesempatan, Ndin. Kasih saya waktu."

Al berusaha meraih tangan Andin, tapi Andin terus menepisnya.

"Waktu dan kesempatan buat apa lagi, mas? Ngga cukup selama ini? Kalo kamu sadar, semuanya semakin lama bukan semakin baik tapi semakin buruk."

"Saya tau saya salah, Ndin. Saya minta maaf untuk semua kesalahan saya, tapi saya mohon jangan seperti ini."

Al memohon dengan sungguh-sungguh, tatapan matanya sayu, ia takut.

"Terus aku harus gimana?" tanya Andin dengan nada pelan.

Al diam, ia tidak tau harus menjawab apa, ia masih berpikir.

"Buat apa kamu seperti ini, mas? Toh kamu ga pernah mencintai aku. Buat mama Rossa? Aku udah bilang sama kamu mama pasti akan lebih bahagia kalau kamu bahagia. Ini waktunya kamu bahagia mas, setelah ini selesai."

"Ngga, Ndin. Untuk saya, saya ga mau pernikahan kita selesai. Kasih saya kesempatan."

"Waktu awal kamu minta aku menikah sama kamu juga kamu semanis ini mas, bahkan lebih manis, tapi kenyataannya apa? Kehidupan rumah tangga apa yang kamu kasih ke aku? Sama halnya kayak kamu ga percaya aku, aku minta maaf kali ini aku gabisa percaya sama kamu."

"Andin, jangan buru-buru kayak gini. Kamu ambil sedikit waktu buat berpikir lagi, sekarang kamu lagi emosi."

"Mas, keputusan aku ga akan berubah. Aku minta tolong kamu jangan datang ke semua undangan dari pengadilan ya untuk mempercepat prosesnya, karena kalau kamu tidak datang, kamu akan dianggap setuju jadi hakim akan mengabulkan permohonan aku."

Air mata Andin mulai menetes, Al melihatnya, tapi dengan buru-buru Andin langsung menghapusnya.

"Saya akan pertahankan kamu, Ndin."

Andin tidak menanggapi Al, ia sudah lelah. Andin memejamkan matanya sebentar sambil menarik nafas panjang.

Al terus menatap Andin dengan tatapan sedih, merasa bersalah, takut kehilangan, dan cinta. Ia sangat ingin memeluk Andin, memberikan ketenangan untuk istrinya tapi Andin sudah tidak mau disentuh sama sekali oleh Al.

Andin berjalan melewati Al ke arah pintu dan membukanya, seolah mempersilahkan Al untuk keluar.

"Nanti terlambat ke kantor" ucap Andin memberikan isyarat untuk Al segera keluar dan meninggalkan dirinya di rumah itu.

"Saya ga akan pergi sebelum kamu mengubah keputusan kamu."

Al masih berdiri di dalam rumah, di depan Andin yang kini menahan pintu agar tetap terbuka.

Tiba-tiba handphone Al berbunyi. Al mengambil handphone di sakunya dan melihat nama Michelle di sana. Panggilan dari Michelle. Andin melihat itu, kalian pasti tau bagaimana harusnya perasaan Andin. Andin tersenyum tipis, dengan banyak luka dibaliknya.

"Dicariin tuh" sindir Andin.

Al mematikan handphonenya, dan kembali menatap Andin.

"Seharian kemarin saya udah ga temui Michelle, saya kirim perawat buat dia."

Al mencoba menjelaskan bahwa ia sudah tidak menemui Michelle lagi sejak kemarin dan mengirim perawat untuk bantu merawatnya jadi tidak perlu Al lagi yang sepanjang hari bersamanya, tapi Andin sudah sama sekali tidak perduli apapun yang dikatakan oleh Al, ia tidak bisa mempercayai apapun lagi dari Al.

"Ya itu, dia kangen kali."

"Andin, saya harus gimana supaya kamu bisa maafin saya dan percaya sama saya? Saya harus gimana untuk perbaikin semuanya?"

"Ngga ada"
"Aku mohon sama kamu untuk pergi dari sini, tolong ya mas, aku mau sendiri, aku mau istirahat, aku udah capek banget."

Andin meminta Al pergi dengan nada lirih dan memohon, air matanya ikut turun, membuat Al tidak tega dan memutuskan untuk menuruti Andin kali ini. Bukan berarti Al menyerah, Al hanya ingin memberikan Andin waktu.

Ketika sudah di luar, Al berhenti sebentar menghadap Andin sebelum meninggalkan rumah itu.

"Jangan nangis" ucap Al dengan suara beratnya, ia ingin menghapus air mata itu tapi Andin tidak akan membiarkannya.

Andin menghapus air matanya, Al pun melangkah kan kaki meninggalkan Andin. Andin langsung menutup pintu rumahnya dan kembali menangis sambil terduduk dan bersandar di pintu.

Ntah apa yang Andin tangisi, bukan kah ini yang ia mau? Tidak, Andin sebenarnya tidak mau, ia mencintai Al, tapi ini keputusan yang dianggapnya terbaik untuk semua pihak. Untuk Al yang tidak mencintainya akan bebas memilih wanita lain, jika Al ingin bersama Michelle jalan mereka akan terbuka, keributan yang terjadi di rumah Pondok Pelita tidak akan terjadi lagi, Rossa akan punya cucu jika Al sudah menikah dengan wanita yang dicintainya, Rossa akan sangat bahagia melihat Al bahagia dengan pilihannya. Andin akan merasa bahagia jika semuanya bahagia.








....

Aldebaran & Andin (Married Life)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang