LIMA PULUH DELAPAN (1)

487 47 13
                                    

Ihsan menghela napas lega begitu mendengar janji dokter Jo, dokter inilah satu-satunya harapan dia. “Dokter, seandainya di tengah penyelidikan, dokter mendapat kendala… apakah dokter..”

Jo menaikan salah satu alisnya begitu mendengar perkataan Ihsan. Ia tidak tersinggung justru ia mengerti sikap pria di hadapannya sekarang. “Seandainya memang ada kendala, aku akan mundur dan tidak akan ikut campur.”

Jo tidak tahu masalah apa yang akan dihadapi tapi ia juga tidak mau mengorbankan nyawanya. Gila saja. Cukup mereka saja yang di garis depan.

Ihsan tersenyum dan mengangguk mengerti. “Kalau begitu, saya akan menemui dokter dan mengambil semua data saat itu terjadi.”

Jo mengangguk. Ia tidak bertanya lebih jauh lagi.

Ihsan dan Jo sama-sama berdoa dalam hati untuk keselamatan semuanya.

-------

“Aku menyerah, aku sudah menyerah.” Isak salah satu relawan perempuan,  menangisi beruang madu yang kesakitan akibat salah satu kaki belakangnya terbakar. Beruang madu itu meringkuk kesakitan dan tidak membiarkan ada yang mendekatinya. “Obat bius sudah habis, kita tidak bisa menyelamatkannya kalau begini terus.”

Len dan lainnya menatap ngeri beruang madu itu, keluar dari kobaran api dalam keadaan salah satu kaki terbakar, otomatis beberapa relawan menyemprotnya dengan air. Beruang madu itu marah tapi tidak bisa menyerang karena terlalu kesakitan, ia hanya bisa meringkuk dan tidak membiarkan siapapun mendekatinya. Kalau begini terus lukanya tidak bisa diobati dan bakteri semakin menyebar. Apalagi ini hewan liar yang terbiasa hidup di hutan.

Len menoleh ke dokter Adam dan dokter hewan lainnya.

Dokter Adam dan dokter hewan lainnya berpikir keras, mereka berpacu dengan waktu. Satu detik berharga untuk menyelamatkan lainnya.

“Obat tidur.”

Semua orang menoleh ke Len. “Dulu dokter Karina pernah cerita kalau professor Hendra lupa membawa obat bius, malah membawa obat tidur yang digunakan istrinya saat stress menghadapi ujian.” Cerita Len, “Apakah itu bisa digunakan? Tidak akan menyakiti hewankan?”

Dokter Adam dan lainnya saling menatap. Kalau diberikan dosis yang tepat mungkin bisa, tapi bagaimana kalau dosis tidak tepat? Terlalu ringan, beruang itu akan bertambah stres dan bisa menyerang semua orang disini. Terlalu berat juga bisa menimbulkan efek samping. Sementara disini tidak ada yang memiliki pengalaman menggunakan obat tidur.

“Hanya itu satu-satunya cara, kita tidak bisa menunggu bantuan datang. Bisa saja bantuan itu datang besok atau minggu depan,” salah satu dokter hewan berkerudung hijau mengemukakan pendapatnya.
“Dokter Adam, saat ini anda ketuanya.”

Dokter hewan lainnya menganggukan kepalanya dengan semangat.

Dokter Adam menatap Len dan menggeleng miris. “Tapi siapa yang akan memberikan obatnya?”

Len mengangkat tangannya penuh tekad. “Saya.”

FLASHBACK

“Obat bius?”

Karina mengangguk, “hewan di alam tidak terbiasa tubuhnya diutak-atik apalagi disentuh makhluk yang tidak dikenalnya. Makanya menjadi dokter hewan di alam liar lebih sulit daripada dokter hewan di kota.”

Len mengangguk mengerti.

Karina meringis. “Gaji merekapun tidak menentu. Sangat jarang ada yang mau terjun langsung kesana, kalaupun ada yang bergaji tinggi maka resikonya tinggi.”

Seperti kedua orang tuaku. Tambah Karina dalam hati.

“Jadi itu sebabnya mereka harus siap sedia membawa peralatan, dok?”

VET vs DOKTER PLASTIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang