Deg!
Tubuh Intan membeku kala Zein mengukungnya dari belakang. Apalagi saat ini tangannya sedang digenggam oleh Zein.
Bukan hanya Intan. Seluruh orang yang ada di ruangan tersebut pun sangat terkejut. Ini kali pertama mereka melihat Zein seperti itu. Bahkan selama ini Zein seolah tak pernah ingin disentuh oleh orang lain.
"Lemaskan tangannya! Jangan kaku," ucap Zein di telinga Intan.
Napas Intan pun tercekat dibuatnya. Aroma tubuh Zein menguar hingga ke hidungnya. Membuat Intan semakin tidak fokus. Ia pun hanya menjawab ucapan Zein dengan anggukkan.
Akhirnya Intan berusaha melemaskan tangannya. Meskipun sebenarnya saat ini yang lemas adalah lututnya.
"Ini ke sini, lalu tarik ke sini," ucap Zein. Kemudian ia menarik benang setelah mengaitkannya. Tangan Intan pun ikut terangkat kala Zein menarik benangnya.
"Tolong ingat ini baik-baik! Minggu depan kamu sudah tidak di sini lagi," ucap Zein.
"I-iya, Prof," sahut Intan.
"Oke, coba kamu lanjut," ucap Zein. Kemudian ia melepas tangan Intan. Namun Zein masih berdiri di belakangnya. Seolah tidak ingin beralih dari tempat itu.
"Ya, betul ... oke. Lanjutkan!" ucap Zein. Seolah di ruangan itu hanya ada mereka berdua.
Zein sengaja tidak beralih karena ia siap 'membantu' Intan lagi jika ada kesalahan.
Namun sayangnya Intan cukup lancar. Sehingga Zein tidak ada alasan untuk membantunya lagi.
"Apa kamu bisa membuat simpul?" tanya Zein saat Intan telah menyelesaikan jahitan terakhir.
"InsyaaAllah bisa, prof," sahut Intan.
Ia pun berusaha membuat simpul sekecil mungkin. Zein memerhatikannya dengan seksama, dan sayangnya Intan berhasil. Akhirnya Zein pun terpaksa beralih dari tempat itu.
"Saya tunggu di ruangan," ucap Zein sambil meninggalkan ruangan operasi.
"Huuh! Akhirnya ...," ucap Intan, bernapas lega.
Namun, saat ia menoleh, Intan mendapat tatapan sinis dari dokter residen yang sejak tadi kesal padanya.
"Hebat ya, masih koas udah bisa jahit," sindir dokter tersebut.
"Tapi lebih hebat lagi diajari langsung sama Prof Zein," timpal seorang perawat.
Intan tersenyum getir. Ia tidak pernah meminta hal itu. Namun dirinya yang justru disudutkan oleh mereka.
Ia pun tidak mengatakan apa-apa. Akhirnya Intan keluar dari ruangan tersebut karena merasa tugasnya sudah selesai.
"Alhamdulillah di hari-hari terakhir aku masih bisa dapat ilmu yang bermanfaat," gumam Intan.
"Plus dapat perhatian khsusu dari Prof," ucap dokter residen. Kemudian ia mendahului Intan.
Intan hanya memicingkan matanya. "Duh, susah emang kalau orang iri. Padahal aku gak ngapa-ngapain. Tetep aja disalahin," gumam Intan, pelan.
"Hehehe, maklum aja, Dok. Dia juga kan pingin praktek. Tapi malah dokter Intan yang dapet kesempatan," ucap salah satu perawat.
Intan terperanjat. "Eh, Suster ngagetin aja, deh," keluh Intan sambil mengelus dadanya. Ia khawatir ada orang yang tidak suka padanya, mendengar ucapannya.
"Udah, mendingan ke ruangan Prof, gih. Nanti dimarahin lho kalau kelamaan," ucap suster itu.
"Oh iya, aku lupa. Ya udah aku duluan," ucap Intan. Ia pun bergegas menuju ruangan Zein.
Suster itu senyum sendiri melihat kelakuan Intan. Ia tahu betul selama ini Intan dan Zein kurang akur. Sehingga ia senang ketika sikap Zein lebih melunak kepada Intan.
"Ya ampun, dia mau bikin aku kerja rodi apa gimana, sih?" gumam Intan sambil berlari ke ruangan Zein.
Saat itu kebetulan hari sudah sore.
Tuk! Tuk! Tuk!
Intan mengetuk pintu Zein.
"Masuk!" ucap Zein.
Intan pun membuka pintunya. "Sore, Prof," sapanya. Seolah mereka baru saja bertemu.
"Kamu bawa motor?" tanya Zein saat Intan sudah berada di ruangannya.
"Bawa, Prof," jawabnya, kikuk. Ia heran karena tidak biasanya Zein mengatakan hal seperti itu.
"Oke, kalau begitu motornya ditinggal saja! Kamu pulang ikut saya," ucap Zein sambil merapihkan mejanya. Ia tidak ingin dianggap mengantar Intan. Sehingga mengatakan Intan ikut dirinya pulang.
Intan terperanjat. "Gak usah, Prof. Saya bisa pulang sendiri," ucap Intan, gugup.
Zein yang sedang sibuk pun melirik ke arahnya. "Ada yang ingin saya bicarakan," ucapnya sambil menatap Intan.
Intan pun salah tingkah. "Oh ... maaf. Tapi gimana dengan motor saya?" tanya Intan.
"Tinggal saja! Besok kamu saya jemput," jawab Zein, santai.
"Bukan, Prof. Maksudnya bukan begitu. Saya bisa berangkat sendiri naik ojek. Tapi, apa aman jika motor saya ditinggal di sini?" Intan sangat bingung menghadapi pria yang sikapnya berubah-ubah tidak jelas itu.
"Tentu saja aman. Bukankan banyak keluarga pasien yang bermalam di sini?"
Akhirnya Intan pun tidak bisa mengelak lagi. "Baiklah kalau begitu. Saya ambil tas dulu," ucap Intan.
"Oke, saya tunggu di parkiran," jawab Zein.
Intan pun pamit dan meninggalkan ruangan Zein dengan penuh kebingungan.
'Duh, gimana ini? Pasti bakalan canggung banget satu mobil sama dia,' batin Intan sambil berjalan menuju ke ruangannya. Belum apa-apa, Intan sudah nervous. Ia bingung apa yang harus ia lakukan ketika sedang berada di mobil Zein nanti.
Intan pun bergegas agar Zein tidak menunggu dan memarahinya lagi.
Beberapa saat kemudian, Intan sudah tiba di parkiran. Ia pun menuju mobil Zein yang sudah terlihat menyala itu.
"Huuh! Ada di satu ruangan yang lumayan besar aja aku grogi dan takut. Apalagi ini cuma di mobil, berdua pula," gumam Intan. Kemudian ia mengatur napas sebelum masuk ke mobil Zein dan mengetuk pintunya.
Setelah Intan mengetuk pintu, Zein membuka kunci pintu mobilnya.
Klek!
Intan yang mendengar pun menarik handle pintu dan masuk ke mobil tersebut.
"Sore, Prof," sapa Intan.
Zein menyeringai. "Sore ini kamu sudah berapa kali menyapa saya?" tanyanya. Ia merasa Intan sangat lucu karena selalu menyapanya setiap kali bertemu. Padahal baru beberapa menit yang lalu Intan menyapanya di ruangan Zein.
"Maaf, Prof," sahut Intan. Ia sangat gugup.
Zein tidak langsung melajukan kendaraannya. Ia malah menatap Intan.
Intan pun semakin salah tingkah. 'Duh, dia kenapa pake natap kayak gitu, sih? Apa ada yang salah, ya?' batin Intan.
"Mau pasang sendiri sapa saya pasangin?" tanya Zein.
"Heuh?" Intan tidak paham.
"Seatbelt," sahut Zein.
"Oooh, pasang sendiri, Prof," jawab Intan. Ia langsung memalingkan wajah dan menarik seat belt-nya. 'Ahhh, aku malu banget ya ampun ... kirain kenapa dia natap aku,' batin Intan. Rasanya ia ingin menghilang dari pandangan Zein.
Saking gugupnya, Intan sampai tidak bisa menyantukan kunci seat belt tersebut. Hingga melesat beberapa kali.
"Gimana sih. Masang seat belt aja gak bisa. Kalau mau dipakaikan, bilang aja!" ucap Zein sambil mengambil kepala seat belt yang ada di tangan Intan dan memasangkannya.
Klek!
Intan memundurkan tubuhnya sebisa mungkin agar tidak tersentuh oleh Zein.
"Oke, kita makan malam dulu. Saya mau bahas pernikahan," ucap Zein setelah memasang seat belt. kemudian ia langsung melajukan mobilnya tanpa dosa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)
RomanceIntan yang sedang melaksanakan koas di rumah sakit Harapan Keluarga begitu benci pada konsulennya-Zein yang sangat galak dan selalu memarahinya jika melakukan kesalahan, sialnya ternyata mereka telah dijodohkan dan harus menikah. "Saya harap Prof bi...