97. Menebus Dosa

35.8K 2.2K 102
                                    

"Sebenarnya memang alasan utamaku ngirim kamu ke sana karena kesal. Tau sendiri kan kamu itu dulu sering terlambat. Bahkan saat kerja sering sekali mengantuk," ucap Zein.

"Mas lupa ya gimana dulu kamu ngasih kerjaan ke aku? Aku sering pulang dini hari karena ulah kamu lho. Bahkan pernah juga beberapa hari gak pulang," ujar Intan.

"Iya maaf. Aku memang egios. Tidak peduli dengan apa yang kamu alami," ujar Zein.

"Terus?" tanya Intan.

"Terus, aku pikir kamu ini anak manja. Makanya kerjanya malas-malasan. Jadi dengan mengirim kamu ke perbatasan, aku berharap kamu bisa jadi dokter yang bekerja keras dan memahami bagaimana arti kehidupan yang sesungguhnya," ucap Zein.

"Apa harus sampai seperti itu?" tanya Intan dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Iya. Kalau belum mengalami betapa sulitnya hidup. Kamu tidak akan bisa menghargai waktu," ucap Zein.

"Masalahnya hidupku sudah sulit sejak aku keceil, Mas," ucap Intan.

"Iya kan aku udah bilang. Waktu itu aku belum tau kebenaran tentang kamu."

"Kalau begitu kamu sama aja sama dokter kepala! Sukanya semena-mena," ucap Intan, kesal.

"Lho, kamu kok gitu sih ngomongnya? Jangan samakan aku dengan dia. Apa yang aku lakukan itu semua demi kebaikan kamu meski mungkin caranya salah. Sementara dia, memang hanya ingin sok berkuasa. Beda, Sayang!"

Ia tidak terima disebut sama dengan dokter menyebalkan itu.

"Ooh, gitu, ya?" sahut Intan, sebal.

"Iya, Sayang. Sekali lagi aku minta maaf, ya? Lagi pula aku juga kan tanggung jawab. Gak biarin kamu terlantar di sana begitu aja," ucap Zein.

"Jadi semua yang kamu lakuin itu beneran cuma karena merasa bersalah?" tanya Intan sambil menekuk wajahnya.

"Ya enggak gitu juga, Sayang. Yang pasti aku cuma mau memberikan yang terbaik untuk istriku. Aku juga gak mau kamu kesusahan," sahut Zein.

"Cih! Kamu yang bikin aku susah, kok," cibir Intan, kesal.

Zein memeluk Intan. "Maaf," ucapnya.

"Tunggu, deh!" Intan berusaha melepaskan pelukan Zein.

"Apa?" tanya Zein.

"Bukannya kamu lagi mual?" tanya Intan sambil memperhatikan wajah Zein. Sebab sejak tadi suaminya itu terlihat baik-baik saja.

Deg!

Wajah Zein langsung terlihat salah tingkah. "Euh, iya. Pas deket kamu langsung gak mual," ucap Zein.

"kamu bohong, ya?" tuduh Intan. Ia tak mempercayai suaminya begitu saja.

"Bohong apa? Aku gak bohong, kok. Tadi emang mual beneran," jawab Zein.

"Ah, aku gak percaya. Kamu pasti sengaja bohongin aku supaya aku mau maafin kamu, kan?" tuduh Intan lagi.

Intan yang tadi sedang rebahan pun langsung duduk.

"Beneran, Sayang. Ini kayaknya aku emang harus deket-deket kamu terus biar gak mual lagi. Buktinya sekarang aku gak mual." Zein masih berusaha meyakinkan istrinya.

"Kamu pikir aku ini bodoh. Udah, pokoknya aku sebel sama kamu!" Intan turun dari tempat tidur karena kesal telah dibohongi oleh suaminya.

Zien tersenyum karena ketahuan bohong. 'Ah, pake lupa lagi,' batinnya. Meski begitu ia senang karena Intan sudah tidak marah lagi padanya.

"Jangan jauh-jauh, Sayang! Nanti aku mual lagi," ucap Zein sambil menyusul Intan yang berjalan ke arah kamarnya.

Brug!

Intan langsung membanting pintu. Sebenarnya ia sudah memaafkan kesalahan Zein. Namun ia kesal karena telah dibohongi oleh suaminya itu.

"Dasar ngeselin. Bisa-bisanya dia bohongin aku kayak gitu. Awas kamu, ya! Gak akan aku kasih jatah seminggu!" ucap Intan sambil bersungut-sungut.

"Ya ampun, masih aja ngambek," gumam Zein sambil tersenyum. Ia merasa gemas karena tadi Intan bisa ia bohongi.

Akhirnya Zein pun benar-benar mandi dan bersiap untuk masak.

"Sayang, mau makan apa?" tanya Zein dari luar kamar. Ia sudah selesai mandi dan rapi.

"Gak lapar!" bentak Intan dari dalam.

"Oh, ya udah kalau kamu gak mau makan, aku juga gak mau makan," sahut Zein.

Meski kesal pada suaminya, tetapi Intan tidak tega jika sampai suaminya itu kelaparan.

'Iih, nyebelin banget, sih? Dia tau kelemahan aku, jadi sengaja ngancem aku kayak gitu. Dasar rese!' batin Intan.

"Ya udah capcay aja!" ucap Intan, ketus.

"Okeee!" sahut Zein sambil tersenyum lebar. Ia pun pergi ke dapur untuk memasak.

Meski harus memasak, Zein tetap senang. Baginya yang terpenting Intan mau makan. Intan sendiri sengaja tidak turun ke dapur karena masih kesal pada suaminya itu.

Biasnaya, jika tidak sedang merajuk, Intan yang masak untuk mereka. Zein pun membantunya jika tidak sedang sibuk. Sehingga mereka bisa masak berdua dengan mesra.

"Yah, demi menebus dosa. Masak sendiri selama sebulan juga gak masalah, deh. Tapi semoga dia marahnya gak lama. Kan bahaya kalau tidur sendirian terlalu lama," gumam Zein.

Zein memasaknya dengan penuh cinta. Ia ingin mempersembahkan yang terbaik untuk istrinya.

Selesai memasak, Zein pun memanggil Intan yang masih belum keluar dari kamarnya.

Tuk, tuk, tuk!

"Sayang, makan yuk! Masakannya udah mateng, nih," ucap Zein.

'Duh, mau masuk kamar sendiri aja gak bisa. Nasib-nasib, nanggung dosa,' batin Zein. Ia menyesal atas perbuatannya yang telah sembarangan mengirim Intan ke perbatasan itu.

Tak lama kemudian pintu kamar Intan terbuka.

Ceklek!

Intan pun keluar tanpa menghiraukan suaminya. Ia sengaja ingin menghukum Zein lebih dulu. Sebab tindakan Zein yang satu itu sudah keterlaluan.

Zein pun membuntuti Intan. Tiba di meja makan, Zein menarikkan kursi untuk istrinya.

"Mau pakai nasi, gak?" tanya Zein.

"Enggak," jawab Intan, singkat.

"Ya udah, ini capcay-nya juga lengkap, kok. Jadi gak perlu pakai nasi lagi," ucap Zein. Ia sengaja memeberikan banyak topping di masakannya itu.

Ada ayam, telur, sosis, hati ampla, bakso dan sayuran yang lengkap.

Intan pun membiarkan suaminya menyendokkan makanan untuknya.

"Ya udah, dimakan!" ucap Zein.

"Hem!" sahut Intan. Kemudian ia menyuap makanan suaminya itu.

Zein memperhatikan Intan, khawatir masakannya tidak enak.

"Gimana rasanya?" tanya Zein.

"Biasa aja," sahut Intan. Ia tidak ingin memuji Zein karena sedang marah.

"Ya udah gak apa-apa. Kan biasanya masakanku enak. Jadi itu artinya enak," sahut Zein sambil tersenyum.

Set!

Intan langsung memicingkan matanya. Ia kesal karena Zein tidak marah meski masakannya tak ia puji.

Padahal sebenarnya ia sedang ingin melihat suaminya itu kesal. Supaya Zein merasakan apa yang sedang ia rasakan saat ini.

"Mas!" ucap Intan. Akhirnya ia buka suara karena terpikirkan sesuatu.

"Iya, Sayang?" tanya Zein, bersemangat.

"Seandainya aku tahu dari awal kalau kamu yang ngirim aku ke perbatasan. Pasti aku gak akan mau ikut kamu pulang," ucap Intan. Ia semakin memancing Zein.

"Lho, kenapa?" tanya Intan lagi.

"Biar hidupmu gak tenang karena di sana ada Bian!" skak Intan.

Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang