Selalu Ada Dia

42.5K 2.7K 52
                                    


Intan langsung menoleh ke belakang. "Eh, Prof," ucapnya, salah tingkah. Ia malu karena tadi sedang menggumam.

'Tadi aku ngomong apa, ya?' batin Intan. Ia mengingat-ingat apa yang telah ia ucapkan. Khawatir dirinya sudah menjelekkan Zein lagi.

"Kalau capek, lebih baik kamu pulang!" ucap Zein tanpa menoleh.

Intan melirik sekilas. Ia merasa ucapan Zein itu sarkas. Sehingga Intan merasa sedang disindir.

"Enggak kok, Prof. Ini cuma pegel biasa aja. Kurang olah raga," sahut Intan.

"Oya? Kalau begitu kamu harus rajin olah raga. Jangan malas!" sahut Zein.

Intan ternganga. Ia tak habis pikir Zien menyebut dirinya malas. Padahal Intan tidak sempat olah raga karena Zein yang selalu membuatnya sibuk di rumah sakit.

Intan yang kesal itu pun memilih diam. Sebab ia tidak mungkin melawan konsulennya itu.

"Apa perlu saya temani berolah raga?" tanya Zein sambil menoleh ke arah Intan.

Intan merasa hal itu seperti ancaman. "Oh, gak perlu, Prof. Saya bisa sendiri," sahutnya, gugup.

Baginya lebih baik lari marathon lima kilo meter dari pada harus olah raga ditemani oleh Zein. Yang ada ia akan olah raga jantung terus.

"Bagus. Kalau begitu lebih baik sekarang kamu makan siang! Tiga puluh menit lagi saya tunggu di ruang operasi," ucap Zein, kemudian ia berlalu.

Intan pun terbelalak. "Kenapa dia harus nemuin aku, sih? Aku lho baru napas sebentar. Kan dia tau tadi aku lagi pegel. Terus kenapa sekarang aku malah disuruh ikut operasi?" Intan mendumal saat pria itu telah menghilang dari pandangannya.

Akhirnya Intan yang hendak pergi ke roof top pun mengurungkan niatnya. Ia berbelok ke kantin karena mau tidak mau harus makan. Sebab, biasanga operasi bisa berjalan lebih dari 3 jam.

"Semoga ini operasi ringan," gumam Intan. Ia berharap operasinya tidak akan lama. Sebab Intan sedang butuh istirahat.

Kondisinya yang baru saja pulih membuat Intan jadi lebih mudah lelah.

"Semangat, Intan! Tinggal beberapa hari lagi kamu bisa bebas dari monster itu," gumam Intan, menyemangati dirinya.

Ia lupa bahwa selanjutnya ia justru akan hidup bersama dengan Zein.

Saat tiba di kantin, Intan bertemu dengan salah satu dokter muda yang cukup tampan. Namanya Dimas. Dia merupakan salah satu sahabat Zein. Namun sikapnya jauh berbeda dengan Zein.

"Siang, Dok," sapa Intan.

"Siang," sahut Dimas. Kemudian ia menoleh ke sekeliling.

"Duduk di sini aja!" ucapnya saat melihat meja lain penuh.

"Boleh, Dok?" tanya Intan lagi. Ia sungkan duduk dengan seniornya.

"Why not? Ini kan tempat umum. Lagi pula meja lain penuh. Kamu mau duduk di mana lagi kalau bukan di sini?" sahut Dimas, santai.

Intan pun senang karena akhirnya bisa mendapat tempat duduk. Padahal tadi ia hanya ingin menyapa Dimas sebagai seniornya.

"Terima kasih, Dok," sahut Intan. Akhirnya ia pun duduk satu meja dengan Dimas. Namun Intan tidak duduk di hadapan Dimas, karena terlalu sungkan.

"Kamu sebentar lagi selesai koas, ya?" tanya Dimas.

"Iya, Dok," sahut Intan sambil tersenyum. Ia sangat sungkan bicara dengan Dimas. Sebab sebelumnya mereka memang belum pernah berbincang.

"Wah, siap-siap buat internship, tuh. Semoga kamu dapetnya gak jauh-jauh, ya," ucap Dimas.

"Aamiin ... terima kasih, Dok," sahut Intan.

"Tapi kamu udah siap ikut UKDI (ujian kompetensi dokter Indonesia)?" tanya Dimas lagi. Ia memang supel, sehingga bisa berbincang dengan siapa saja.

"InysaaAllah siap, Dok," sahut Intan.

"Syukurlah, biar bisa cepet ngantongin STR (surat tanda registrasi), hehe."

"Aamiin ...."

Saat mereka sedang berbincang, tiba-tiba Zein muncul sambil membawa nampan berisi makanan. "Lagi gak sibuk, Dim?" tanyanya. Ia bertanya pada Dimas. Namun matanya melirik ke arah Intan.

Bahkan Zein duduk di samping Dimas dan di hadapan Intan.

Seketika Intan langsung tidak berselera makan. 'Kenapa dia selalu ada di mana-mana, sih?' batin Intan.

"Hei, Prof. Tumben makan siang di kantin? Lagi gak sibuk, kan?" ledek Dimas. Padahal jika sedang berdua, Dimas memanggil nama Zein langsung.

"Lo aja yang terlalu sibuk jadi gak pernah lihat gue makan di kantin," sahut Zein.

Ia memang sengaja makan di kantin karena tadi saat dirinya sedang lewat, tidak sengaja melihat Intan sedang duduk bersama Dimas.

Padahal biasanya Zein selalu minta makanannya diantar ke ruangannya.

"Emang hari ini lo gak ada jadwal operasi?" tanya Dimas lagi. Ia tahu bahwa Zein hampir setiap hari melakukan operasi.

"Ya ada. Ini setengah jam lagi mau operasi," sahut Zein, santai.

Intan pun merasa tersindir karena dirinya belum bersiap.

"Hebat emang Profesor kita satu ini. Mau operasi aja masih bisa santai kayak gini," puji Dimas sambil merangkul bahu Zein.

"Ya emangnya harus gimana? Semedi?" tanya Zein.

"Biasanya sih gitu. Paling gak lurusin badan dulu, biar gak pegel. Kan kalau operasinya lama juga itu leher bisa kaku," sahut Dimas.

"Gampang, nanti tinggal minta pijitin sama calon istri," sahut Zein sambil melirik ke arah Intan.

Intan menelan salivanya. Ia pun tak berani menoleh ke arah Zein.

"Wih, udah punya calon istri aja. Kapan rencana nikahnya?" tanya Dimas. Ia tidak menyangka ternyata Zein diam-diam akan menikah.

"InsyaaAllah bulan depan," jawab Zein sambil menatap Intan.

***

Wah, gimana reaksi Intan, ya? Shock apa pingsan? Wkwkwk.

See u,

JM.

Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang