Bukannya membantu Intan yang tersedak, Zein malah semakin menggodanya. "Saya sendiri sangat senang dengan yang botak seperti tadi. Terima kasih ya kamu telah berusaha untuk menyenangkan hati saya," ucapnya sambil tersenyum.
Wajah Intan yang masih merah itu langsung mengerung. "Prof!" bentaknnya tanpa sadar. Ia sangat malu karena sebenarnya ia sendiri tidak tahu mengapa dirinya mencukur habis bagian tersebut.
"Kenapa? Memang iya, kan? Tapi kamu tau dari mana sih kalau saya suka yang botak?" tanya Zein sambil tersenyum.
"Saya harap Prof jangan keterlaluan, ya! Saya gak suka bahas hal itu!" ucap Intan. Kemudian ia langsung balik badan dan hendak meninggalkan Zein.
Zein pun langsung merangkul peluk Intan dan menariknya mundur. Lalu ia memeluk istrinya itu dari belakang. "Kamu gak suka bahas, jadi lebih suka melakukannya langsung, ya?" bisik Zein.
Intan berusaha berontak. Ia sedang kesal sekaligus malu. "Lepas!" ucap Intan.
"Kamu mau ke mana?" tanya Zein lagi. Nada suaranya seperti penjahat yang sedang menyandra tawanan.
"Pulang!" sahut Intan, ketus.
Zein mengarahkan Intan ke cermin. "Apa kamu yakin mau pulang dalam kondisi seperti ini?" tanya Zein. Saat itu kondisi Intan sangat kusut. Rambut berantakan, baju lecek dan bernoda. Ia yakin Intan akan malu keluar dalam kondisi seperti itu.
Saat melihat penampilannya, Intan pun sangat shock. "Berarti waktu ada Papah tadi penampilan saya seperti ini?" tanya Intan seolah tak percaya.
Zein yang sedang memeluk Intan dari belakang itu pun mengangguk sambil tersenyum. "Ya, kamu berhasil meyakinkan Papah bahwa hubungan kita sangat baik," ledek Zein.
Intan langsung menutup wajahnya. Kemudian ia berjongkok kala Zein melepaskan pelukannya. "Aaaaa, maluuuu!" keluh Intan.
"Kenapa harus malu? Kita kan sudah menikah," sahut Zein santai sambil mengancingi kemejanya.
Intan malas menjawab ucapan Zein. Ia sedang bingung harus berbuat apa. Saat ini napasnya menggebu karena kesal dia seperti itu akibat ulah Zein. Namun suaminya seolah tak mau bertanggung jawab atas penampilannya.
"Lebih baik kamu mandi dulu, sana!" ucap Zein, santai.
"Saya gak bawa baju!" sahut Intan, ketus.
Zein kembali membuka lemarinya. Kemudian mengambil pakaian bersih Intan yang tergangung di lemari tersebut.
"Kamu bisa pakai ini!" ucap Zein sambil memberikan baju itu pada Intan.
Intan pun langsung berdiri. "Kok bisa ada pakaian saya di sini?" tanya Intan, seolah tak percaya pakaiannya ada di sana.
"Kenapa gak bisa? Kamu kan istri saya," sahut Zein samntai sambil mengambil celananya yang Intan taruh di meja.
"Maksud saya, gak mungkin baju ini jalan sendiri ke sini, kan?" Intan masih penasaran.
"Bukankah saya sudah mengatakan? Saya ini pria yang bertanggung jawab. Jadi sebelum melakukan sesuatu, saya pasti sudah memikirkan segala aspeknya. Termasuk pakaian kamu," sahut Zein. Lalu ia mengenakan celananya.
Intan mencerna kata-kata Zein. "Jadi maksudnya Prof yang bawa pakaian saya ke sini?" tanyanya, heran.
"He'em," sahut Zein. Ia masih bersikap santai.
Intan ternganga. "Berarti Prof memang sudah niat untuk melakukan hal itu?" tanya Intan lagi.
Zein mengembuskan napas. "Saya ini pria yang sudah menikah. Jadi ketika saya menginginkannya, saya bisa melakukannya kapan pun dan di mana pun. Makanya saya antisipasi untuk hal seperti itu. Paham?" ucapnya. Kemudian ia berlalu duduk di kursi kerjanya.
Intan menyunggingkan sebelah ujung bibirnya sedikit sambil ternganga. Ia tak percaya ternyata pikiran Zein sekotor itu. Padahal jika mereka menikah karena cinta, mungkin Intan tak akan berpikiran begitu.
"Kamu mau mandi atau mau mengulang yang tadi?" goda Zein.
Intan terkesiap. "Mandi!" jawabnya, cepat. Ia pun bergegas masuk ke kamar mandi.
Zein terkekeh melihat tingkah istrinya itu. "Apa sih yang ada di pikirannya. Udah nikah tapi sikapnya masih canggung begitu," gumam Zein. Lagi-lagi ia tidak sadar bahwa sikapnya sendiri yang membuat Intan seperti itu.
Ini kali pertama Intan masuk ke kamar mandi ruang kerja Zein. Ia tidak menyangka ternyata selain menyiapkan pakaian, Zein pun menyiapkan sabun dan perlengkapan mandi yang biasa ia pakai.
Intan menoleh ke arah pintu. 'Sebenarnya dia ini kenapa, sih? Mulutnya jahat banget, tapi sikapnya malah bikin aku meleleh kayak gini,' batin Intan.
Ia sangat galau menghadapi kondisi seperti itu. Sebab antara sikap dan ucapan Zein sangat tidak singkron. Bahkan tadi Zein memeluknya seperti suami yang sangat mencintai istrinya. Namun ucapannya tetap membuat hati Intan kesal.
"Apa dia punya kepribadian ganda, ya? Hiih, kalau bener kayak gitu, serem banget," gumam Intan sambil merinding. Ia tidak tahu, masalah Zein hanya di ego. Seandainya ia bisa menurunkan gengsinya sedikit saja, pasti hubungan mereka akan semakin membaik.
Selesai mandi, Intan mengenakan pakaiannya di dalam kamar mandi. Ia tidak ingin dianggap menggoda Zein jika mengenakan pakaian di hadapan suaminya itu.
"Yah, kenapa gak ada hair dryer, sih?" gumam Intan. Ia tidak mungkin keluar dari ruangan Zein dalam kondisi rambut yang basah seperti itu.
Akhirnya Intan pun keluar dari kamar mandi dan memberanikan diri untuk bertanya pada Zein.
"Permisi, Prof. Apa di sini ada hairdyer?" tanya Intan hati-hati.
Zein yang sedang serius bekerja pun menoleh ke arah Intan. "Hem ... ini kan bukan hotel," sahut Zein.
"Maaf, Prof. Saya hanya bertanya. Barangkali ada," ucap Intan. Ia khawatir suaminya itu marah.
Melihat rambut Intan basah, Zein pun merebut handuk kecil yang ada di tangan istrinya itu.
"Lho, kenapa, Prof?" tanya Intan, bingung.
Zien tidak menjawab pertanyaan Intan. Kemudian ia berjalan sofa lalu duduk di sana. "Sini kamu!" ucapnya pada Intan.
Intan pun hanya menurut atas permintaan Zein. "Iyah?" tanyanya.
"Duduk!" pinta Zein sambil menepuk bagian sofa yang ia duduki. Tepat di sebelahnya.
Intan pun duduk dengan ragu. Setelah itu Zein memutar tubuh Intan agar memunggunginya. Lalu ia mengeringkan rambut Intan dengan handuk.
Lagi-lagi ia membuat hati Intan meleleh. Bagaimana tidak? Sikap Zein yang mau mengeringkan rambut istrinya itu benar-benar seperti suami yang sangat perhatian pada istrinya.
Namun, ketika hati Intan sedang berbunga-bunga, tiba-tiba Zein menyeletuk. "Ternyata punya istri itu merepotkan, ya?" gumam Zein sambil mengeringkan rambut Intan. Padahal Intan tidak pernah memintanya melakukan hal seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)
RomansaIntan yang sedang melaksanakan koas di rumah sakit Harapan Keluarga begitu benci pada konsulennya-Zein yang sangat galak dan selalu memarahinya jika melakukan kesalahan, sialnya ternyata mereka telah dijodohkan dan harus menikah. "Saya harap Prof bi...