Calon Suami Sialan

40.5K 2.6K 62
                                    


Intan terkesiap saat mendengar Zein mengatakan bahwa ia akan membahas pernikahan dengannya. Ia sangat ingin protes. Namun Intan tidak berani melakukan hal itu.

Sebab, tinggal beberapa hari lagi ia selesai koas. Intan khawatir jika dirinya terlalu menentang Zein, maka pria itu akan mempersulitnya atau mungkin memberikan nilai buruk padanya.

Akan tetapi, ia tidak tenang jika hanya diam. Sebab, menurutnya ada yang salah jika mereka benar-benar menikah dalam waktu dekat.

"M-maaf, Prof. Maksudnya mau bahas pernikahan siapa, ya?" tanya Intan.

"Menurut kamu? Apa saya punya waktu untuk membahas pernikahan orang lain?" skak Zein.

'Hah? Ni orang waras gak, sih? Masa mau bahas pernikahan kayak orang mau ngajak berantem? Ya Tuhan, seandainya dia bukan konsulen aku, udah pasti aku tolak mentah-mentah,' batin Intan sambil mengepalkan tangannya, kesal.

"Maaf, Prof. Maksud saya, sebelumnya kan kita belum pernah membahas mengenai hal ini. Bahkan Prof pun belum pernah melamar saya. Apa tidak aneh jika tiba-tiba membahas pernikahan?" tanya Intan lagi.

Zein menoleh ke arah Intan. "Kamu mau dilamar secara romantis dengan candle light dinner dan sebagainya?" tanyanya.

Intan langsung menggelengkan kepalanya, cepat. "Tidak, bukan begitu, Prof. M-maksud saya ...." Intan jadi bingung bagaimana cara menjelaskan pada Zein. Sebab, apa pun yang ia katakan seolah selalu salah di mata Zein.

'Duh, gini amat, sih? Kenapa dia kayak orang gak punya hati begitu. Tapi kenapa juga dia mau nikah sama aku,' batin Intan, kesal.

"Apa?" tanya Zein, menunggu kelanjutan ucapan Intan.

"Maksudnya ... apa harus sampai menikah? Kalau saya gak salah, kemarin itu kan hanya wacana perjodohan dan setelah itu belum ada pembahasan lagi. Saya pikir akan dibatalkan," ucap Intan, ragu.

Zein menyunggingkan sebelah ujung bibirnya. "Kalau kamu mau menolak, to the point saja! Tidak usah basa basi," ucap Zein.

Intan menelan saliva. Mana mungkin dia berani menolak. Taruhannya adalah pendidikan serta karirnya.

"Bukan begitu, Prof. Selama ini saya sangat menghargai dan menghormati Prof sebagai konsulen saya. Rasanya saya tidak pantas jika harus mendampingi Prof. Masih banyak wanita lain yang lebih pantas dari saya," ucap Intan sambil menunduk.

Ia menjadikan alasan itu agar Zein tidak menyudutkannya lagi. 'Semoga kali ini aku gak salah ngomong ... duh, ini lebih menakutkan dari pada operasi tadi,' batin Intan.

"Kalau begitu silakan kamu bilang ke orang tua kita! Kan mereka yang ingin kita menikah," jawab Zein.

Intan menarik napas dalam. Ucapan Zein membuatnya sesak. Secara tidak langsung Zein mengatakan bahwa dirinya mau menikahi Intan hanya karena permintaan orang tua mereka.

"Kenapa harus saya, Prof? Bukankah Prof lebih memiliki power? Saya kan bukan siapa-siapa. Mana berani saya mengatakan hal itu pada mereka?" tanya Intan.

"Kamu bilang kamu menghargai dan menghormati saya. Tapi kamu berani mengatakan hal itu pada saya. Jadi apa salahnya kamu mengatakan hal yang sama pada mereka?"skak Zein lagi.

Ia tahu Intan tidak mungkin berani mengatakan hal itu pada orang tuanya.

Intan berusaha mengatur napasnya yang terasa sesak. Ia sangat emosi karena Zein seolah sangat tidak peduli dengan perasaannya.

"Saya banyak urusan, jadi tidak ada waktu untuk berdebat mengenai masalah ini. Jika kamu ingin lanjut, kita bahas sekarang. Jika tidak, silakan kamu bicara pada mereka!" tantang Zein. Ia semakin berani karena melihat Intan ketakutan.

Intan menggigit bibir bawahnya. 'Dasara Profesor gila sialan! Sengaja banget dia neken aku kayak gini. Aku yakin dia mau nikah sama aku karena dia gak sempet nyari istri dan aku hanya akan dijadikan patung pelengkap di rumahnya nanti,' batin Intan, kesal.

Ia merasa dirinya hanya dijadikan pelengkap oleh Zein. Sebab Zein malas mencari wanita yang bisa dijadikan istri sungguhan.

Bukan tanpa sebab Intan berpikiran seperti itu. Ia sering membaca novel atau menonton film, di mana seorang pria menikahi wanita yang tidak dicintai hanya karena untuk melengkapi kehidupannya. Agar tidak ada yang bertanya kapan nikah lagi. Serta muddah diatur karena posisi Intan adalah bawahannya.

Akhirnya sepanjang jalan mereka bergeming.

Beberapa saat kemudian, mereka sudah tiba di depan restoran. "Gimana, mau dilanjut atau batal?" tanya Zein. Ia seolah tak peduli meski Intan membatalkan rencana pernikahan mereka.

"Lanjut," jawab Intan, lemas.

"Oke, ayo turun!" ajak Zein.

Huuh!

Intan pun menghela napas sebelum turun dari mobil. Kemudian ia membuka pintu, turun dan menyusul Zein.

Setelah itu ia menyusul Zein yang sudah lebih dulu masuk ke resto tersebut.

"Calon suami macam apa yang kayak gitu? Boro-boro bukain pintu, masuk aja aku gak ditungguin." Intan menggerutu sambil berjalan masuk ke restoran tersebut.

Saat Intan baru tiba di samping Zein, pria itu langsung jalan masuk tanpa mengajaknya. Ia yakin Intan akan membuntutinya.

Setelah tiba di meja yang ditunjukkan oleh pelayan, mereka pun duduk berhadapan. Kemudian pelayan memberikan buku menu pada Intan dan Zein.

Zein melihat-lihat menu yang ada di buku tersebut. Kemudian ia memesan beberapa makanan serta minuman yang ia inginkan.

Setelah itu, ia bertanya pada Intan. "Kamu mau makan apa?" tanya Zein.

'Duh, aku mana bisa makan di hadapan dia? Nanti yang ada makanan baru datang, aku udah disuruh udahan pula,' batin Intan.

"Aku minum aja," jawab Intan.

"Mau minum apa?" tanya Zein lagi. Ia tidak ingin berdebat untuk masalah itu. Toh tujuannya mengajak Intan ke sana memang untuk membahas pernikahan. Bukan hanya untuk makan.

Intan pun menunjuk gambar minuman yang ingin ia pesan.

"Istri saya pesan iced pure cocoa," ucap Zein pada pelayan.

***

Duh, Intan pingsan gak, ya? Wkwkwk,

See u,

JM.

Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang