"Sudah cukup, Prof," ucap MC saat Zein lupa melepaskan kecupannya.
Seketika Zein pun langsung mundur. Ia malu karena sempat lupa diri.
"Sabar ya, Prof, masih siang. Hehehe," ledek MC.
Intan mengulum senyuman. Ia senang karena Zein dipermalukan di depan umum. Ia lupa bahwa ada hal besar yang harus ia hadapi setelah ini.
Setelah itu mereka saling menyematkan cincin di jari masing-masing, kemudian mereka pun diarahkan untuk berfoto.
Tentu saja mereka sangat canggung ketika harus berpose mesra di depan umum. Padahal selama ini hubungan mereka tidak baik. Jangankan untuk bermesraan, jika bertemu saja mereka lebih sering berdebat.
"Oke, selesai. Sekarang waktunya jamuan makan," ucap MC. Kemudian ia melakukan penutupan acara.
Ehem!
Zein berdehem kala melepaskan tangan dari tubuh Intan. Sebab, saat berfoto tadi ia diarahkan untuk memeluk Intan.
Sebab tadi tubuhnya sempat menegang kala tangannya menyentuh tubuh Intan. Apalagi ketika ia merasakan lekukan tubuh istrinya. Tenggorokan Zein jadi terasa begitu kering karena teringat kejadian tendangan Intan kala itu.
Saat ini Intan dan Zein dipersilakan untuk duduk bersebelahan. Mereka duduk lesehan bersama dengan orang tua mereka.
"Zein, kamu kan sudah cukup umur, jadi Papah harap kalian tidak menunda untuk memberikan kami momongan, ya!" pinta Muh.
Uhuk! Uhuk!
Intan tersedak saat mendengar bahwa dirinya harus memberikan momongan. Sebab dalam pikiran Intan jangankan memberi momongan, ia bahkan tidak sudi untuk tidur dengan Zein.
"Iya, Pah. Jangan khawatir, aku tidak mungkin mengecewakan kalian. Iya kan, Sayang?" tanya Zein sambil menoleh ke arah Intan.
'Dih, ni orang kena angin apa tiba-tiba sok mesra kayak gitu. Enek banget dengernya,' batin Intan.
Tidak mendapat respon dari Intan, Zein menggenggam tangan istrinya. "Apa kamu keberatan?" tanyanya.
Intan pun gelagapan ditanya seperti itu. Ia menoleh ke arah Muh, Fatma dan Rani. Wajah mereka semua penuh harap, sehingga Intan tidak mampu menolaknya.
"I-iya," sahutnya sambil mengangguk.
"Alhamdulillah," ucap mereka semua.
Tanpa sadar Zein menyunggingkan sebelah ujung bibirnya. Ia senang karena Intan setuju untuk tidak menunda memiliki momongan. Sehingga ia pikir Intan mau melakukan hubungan suami istri dengannya.
"Oh iya, katanya kalian dapat hadiah bulan madu, ya?" tanya Muh lagi.
"Iya, Pah," sahut Zein.
"Kapan kalian mau pakai hadiahnya?"
"InsyaaAllah sore ini kami akan berangkat," jawab Zein. Seolah mereka sudah sepakat. Padahal sebelumnya Zein belum pernah membahas hal itu dengan Intan.
Intan pun terkesiap. Ia tidak menyangka Zein akan mengajaknya bulan madu secepat itu.
Sore hari saat rumah Intan sudah sepi, mereka pun bersiap untuk pergi bulan madu. Saat ini Intan tidak mungkin menentang Zein karena bagaimana pun profesor itu telah menjadi suaminya.
"Kalian hati-hati ya di jalan," ucap Fatma saat Intan dan Zein hendak berangkat.
"Iya, Bu. Ibu juga hati-hati di rumah, ya. Aku gak akan lama-lama, kok," sahut Intan.
"Udah kamu gak usah mikirin ibu. Ibu baik-baik aja. Mulai sekarang kamu harus fokus sama suamimu. Dia adalah prioritas kamu. Bukan ibu," jawab Fatma.
"Tapi, Bu ...."
"Udah jangan tapi-tapian!" sela Fatma.
"Ya udah, iya." Akhirnya Intan tidak protes lagi dan mereka pun benar-benar meninggalkan rumah Fatma.
Saat sedang di jalan, mereka sama-sama merasa tidak nyaman karena kondisinya sangat hening. Akhirnya Intan pun buka suara.
"Kenapa kita harus pergi bulan madu, Prof?" tanya Intan, memberanikan diri.
Zein mengerutkan keningnya. "Pertanyaan macam apa itu?" Zein balik bertanya. Ia kesal dengan pertanyaan Intan karena gadis itu seolah tidak ingin pergi bulan madu bersamanya. Padahal memang seperti itu adanya.
"Heuh? Maksud saya, pernikahan ini kan ha-" Intan tidak dapat melanjutkan ucapannya karena Zein langsung menyelanya.
"Hanya apa? Hanya perjodohan? Kamu pikir pernikahan itu main-main yang bisa kamu anggap sepele? Kamu lupa tadi saya sudah berikrar di hadapan Tuhan? Jadi, apa pun alasannya, kita tetap harus menjalankan pernikahan ini layaknya suami istri pada umumnya."
"Dan kamu jangan lupa bahwa orang tua kita menginginkan cucu, jadi kita harus mengabulkan keinginan mereka jika memang ingin melihat orang tua kita bahagia," ucap Zein panjang kali lebar.
Intan ternganga. "Tapi saya belum siap, Prof. Prof kan tahu kalau pendidikan saya masih belum selesai dan sebentar lagi saya akan magang. Bagaimana jika saya magang dalam kondisi hamil? Tentu tidak akan mudah," keluh Intan.
Sebenarnya bukan hanya itu alasan Intan. Namun ia lebih belum bisa menyerahkan tubuhnya pada Zein. Intan masih berharap mereka bisa berpisah cepat atau lambat. Sebab saat ini saja meski Zein berkata bahwa mereka harus bersikap layaknya suami istri, tetapi Zein tidak menunjukkan sikap seperti suami sama sekali.
"Itu bukan urusan saya. Lagi pula memangnya kamu pikir sekali berhubungan akan langsung hamil?" tanya Zein. Ia mengatakan hal itu dengan sangat mudah. Seolah tidak mau tahu apa yang sedang Intan rasakan saat ini. Padahal sekarang Intan sedang gelisah menghadapi malam pertama mereka.
Intan ternganga. 'Bagaimana mungkin aku melakukan hubungan suami istri dengan orang seperti dia?' batin Intan.
***
Hola ... maaf ya slow up, aku lagi liburan.
ANW, seperti biasa, malam pertama detilnya akan aku update di Karya Karsa biar lebih leluasa. Sebab di sini banyak pembaca remaja.
See u,
JM.
![](https://img.wattpad.com/cover/284992173-288-k209741.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)
RomanceIntan yang sedang melaksanakan koas di rumah sakit Harapan Keluarga begitu benci pada konsulennya-Zein yang sangat galak dan selalu memarahinya jika melakukan kesalahan, sialnya ternyata mereka telah dijodohkan dan harus menikah. "Saya harap Prof bi...