98. Menyesal

34.7K 2.1K 77
                                    

Uhuk! Uhuk!

Zein langsung tersedak saat mendengar ucapan Intan barusan. Mungkin jika di dalam tayangan kartun, telinga dan hidung Zein sudah mengeluarkan asap karena terlalu kesal.

"Kamu kok ngomongnya gitu, sih?" Zein protes pada istrinya. "Kamu tega sama aku?" lanjut Zein.

"Kamu sendiri, tega sama aku!" skak Intan. Ia masih bisa makan dengan santai saat suaminya sedang kebakaran jenggot seperti itu.

Zein tercekat, ia tidak menyangka istrinya bisa seperti itu jika sedang marah. "Aku kan udah minta maaf, Sayang," lirih Zein.

"Ya udah, aku juga tinggal minta maaf. Apa susahnya?" sahut Intan, ketus.

Seketika selera makan Zein hilang. Mendengar nama Bian, membuat Zein kesal dan tidak berselera.

"Gimana caranya supaya aku bisa nebus kesalahanku?" tanya Zein, memelas.

Intan memicingkan matanya ke arah Zein. "Pisah kamar sebulan!" sahut Intan, singkat.

Bola mata Zein hampir melompat. "Hah? Sebulan? Yang bener aja! Masa sebulan? Bisa gila aku sebulan pisah kamar sama kamu," keluh Zein.

"Ya udah kalau gak mau. Gak masalah," jawab Intan.

"Jadi malam ini aku bisa tidur sama kamu lagi, kan?" tanya Zein sambil tersenyum kikuk.

"Enggaklah. Kalau kamu gak mau sebulan, itu artinya kita gak akan pernah tidur sekamar lagi!" ancam Intan.

"Hah? Kamu jangan aneh-aneh deh, Sayang! Mana boleh kayak gitu, dosa tau!" Zein langsung protes. Pikirannya kusut membayangkan apa yang Intan katakan.

"Emang ngirim orang ke perbatasan, gak dosa? Kamu tau gak? Bukan cuma masalah lokasi yang jauh dari mana-mana. Bahkan untuk berkomunikasi dengan warga lokal saja rasanya sangat sulit," keluh Intan.

"Bahasa mereka kan bukan sekadar bahasa inggris. Tapi bahasa daerah yang sama sekali aku gak paham artinya!" ucap Intan, gemas.

"Kamu pernah di sana, kan? Pasti tau gimana susahnya jadi dokter di perbatasan seperti itu. Makanya sampai kamu ngirim aku ke sana, artinya kamu super raja tega. Aku yakin suami mana pun gak akan rela istrinya dikirim ke perbatasan. Tapi kamu? Malah kamu sendiri yang ngirim aku ke sana!"

Intan yang kesal itu pun langsung menaruh sendok dan angkat kaki dari meja makan. Emosinya kembali naik saat membayangkan betapa kejam suaminya ketika menginginkan dirinya dikirim ke perbatasan.

"Sayang!" Zein pun menyusul Intan.

"Kamu tau? Saat ini aku jadi bingung, mana ucapan kamu yang jujur dan mana yang gak jujur. Soalnya kamu pinter banget nyembunyiin fakta itu dari aku," ucap Intan dengan suara bergetar.

"Kamu bahkan bersikap sok pahlawan untuk menutupi dosamu. Coba bayangkan gimana kalau kamu jadi aku? Apa bisa kamu maafin aku dengan mudah?" tanya Intan sambil menatap Zein. Air matanya pun menetes kembali.

Ia tidak dapat menerima apa pun alasan Zein. Sehingga sulit bagi Intan untuk memaafkan suaminya itu. Namun bukan berarti Intan tidak mau memaafkan Zein. Ia hanya ingin memberi sedikit pelajaran pada suaminya itu.

Melihat Zein mematung, Intan pun kembali pergi, masuk ke kamarnya. Akhirnya mereka perang dingin selama beberapa hari. Meski pergi ke rumah sakit bersama, tetapi Intan tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

Namun hari ini Intan melihat suaminya sedikit berbeda. 'Kok mukanya agak pucat, ya?' batin Intan.

Zein sulit tidur jika tidak bersama Intan. Permasalahan yang sedang ia hadapi pun membuat Zein kehilangan nafsu makan. Sehingga kondisi kesehatannya melemah. Apalagi akhir-akhir ini Zein sering melakukan operasi selama beberapa jam.

Intan masih berusaha bertahan dengan egonya. Ia langsung turun dari mobil saat tiba di rumah sakit. Tanpa menoleh ke arah suaminya lagi.

Zein pun turun dan masuk ke lobby.

Saat tiba di lobby, Intan bertemu dengan dokter lain dan berbincang di sana. Hingga akhirnya Zein masuk dan tak lama kemudian pria itu tak sadarkan diri.

"Prof!" pekik staf informasi yang berjaga di lobby.

Intan yang sedang memunggungi Zein pun menoleh ke arahnya.


Deg!

Ia sangat terkejut saat melihat suaminya pingsan. Tanpa sadar, Intan langsung menjatuhkan tasnya dan berlari ke arah Zein.

"Mas!" pekik Intan

"Hati-hati, Dok!" ucap dokter yang sedang bersama Intan. Ia khawatir Intan terpeleset karena sedang hamil.

"Mas! Bangun, Mas!" Intan berusaha menepuk-nepuk pipi Zein.

"TOLOONGG!" pekik Intan. Padahal di sekelilingnya sudah banyak orang. Saat ini ia sedang sangat panik. Apalagi dirinya tidak bisa mengangkat Zein seorang diri.

"Tolong ambilkan brankar!" pinta Intan. Ia tidak ingin Zein dibopong begitu saja. Khawatir kepalanya terbentur dan akan terguncang jika dibopong.

Air mata Intan pun meluap. Ia tak dapat menahan rasa penyesalannya karena sudah terlalu keras menghukum suaminya itu.

"Ya Allah, Mas! Tolong jangan bikin aku takut, huhuhu." Intan menangis di hadapan orang banyak.

"Mana ini brangkarnya? Cepat!" pekik Intan. Ia sudah tidak peduli dengan imagenya. Baginya, yang terpenting saat ini adalah keselamatan Zein.

Beberapa saat kemudian, perawat pun datang sambil membawa brankar yang Intan minta. Kemudian mereka menggotong Zein dan menaruhnya di atas sana.

"Dok! Tolong Mas Zein!" pinta Intan pada Dimas yang baru saja muncul.

"Lho, Zein kenapa?" tanya Dimas. Ia pun bingung saat melihat sahabatnya itu tidak sadarkan diri.

"Aku gak tau tadi tiba-tiba aja Mas Zein pingsan, huhuhu." Intan seperti anak kecil yang sedang ketakutan.

"Ya udah kamu tenang dulu! Biar aku periksa kondisinya di ruang IGD, ya!" ucap Dimas.

Mereka pun berjalan ke arah ruang IGD.

Padahal Intan sendiri merupakan seorang dokter. Namun, dalam kondisi seperti itu ia tidak bisa berpikiran jernih. Sehingga tidak ingat bahwa sebenarnya ia bisa memeriksanya sendiri.

Akhirnya Dimas dan dokter lain memeriksa kondisi Zein.

"Kamu tunggu di sini, ya!" pinta Dimas. Melihat kondisi Intan, Dimas tidak mengizinkannya masuk. Ia khawatir Intan akan mempersulit pekerjaannya nanti.

"Tolong usahakan yang terbaik untuk suamiku, ya!" pinta Intan.

"Pasti!" sahut Dimas. Kemudian ia menutup pintu IGD.

Muh yang baru datang pun mendengar berita itu. Kemudian ia menyusul Intan ke IGD.

"Sayang, kenapa Zein bisa pingsan?" tanya Muh.

Intan menoleh ke arah Muh. "Pah!" lirih Intan. Kemudian ia langsung memeluk mertuanya dan menangis di pelukannya itu.

"Huhuhu, ini salah aku, Pah. Aku terlalu egois sampai tidak memikirkan kondisi suamiku sendiri," lirih Intan dalam pelukan Muh.

Tangisannya terdengar begitu menyayat hati. Membuat Muh tidak tega padanya.

"Kamu tenang dulu, ya! Mungkin Zein hanya kekelahan," ucap Muh sambil mengusap punggung Intan.

Intan menggelengkan kepala. "Enggak, Pah. Ini semua salah aku. Aku yang udah bikin Mas Zein sampai seperti itu. Aku menyesal, huhuhu." Tangisan Intan pun semakin menjadi.

Muh melepaskan pelukannya. Kemudian ia bertanya pada Intan. "Memangnya apa yang sudah terjadi di antara kalian, hem?" tanya Muh dengan lembut.

Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang