Candle Light Dinner

59.8K 2.6K 38
                                    


Ucapan Zein barusan membuat mereka berdua canggung. Sehingga sepanjang perjalanan hanya ada keheningan.

Beberapa saat kemudian mereka sudah tiba di hotel tempat mereka akan menginap. Hotel yang masih terletak di ibukota itu berada di tepi pantai dan mereka mendapat kamar tipe bungalow yang langsung menghadap ke pantai.

Zein langsung melakukan check in menggunakan voucher yang ia miliki.

"Oh, ini yang paket bulan madu, ya?" tanya receptionis.

Intan langsung malu mendengarnya.

"Iya," jawab Zein, singkat. Ia tidak merasakan hal yang sama dengan Intan. Alih-alih malu, Zein justru bangga atas hal itu.

Setelah selesai check in, mereka diantar oleh seorang bell boy menuju kamar.

Jika pasangan lain akan berjalan dengan mesra, minimal gandengan tangan. Lain halnya dengan pasangan yang satu ini. Mereka berjalan masing-masing, seolah tidak saling kenal.

"Ini kamarnya," ucap bell boy tersebut. Kemudian ia membukakan kuci pintu kamar tersebut dan memasukkan barang milik mereka ke kamar itu.

"Ada yang bisa dibantu lagi?" tanyanya.

"Tidak, terima kasih," jawab Zein.

Bell boy itu pun pamit undur diri dan meninggalkan mereka.

Ehem!

Zein berdehem kala melihat Intan berdiri mematung seperti orang bingung.

"Nanti malam akan ada candle light dinner, untuk saat ini kamu bisa melakukan apa pun yang kamu mau. Bebas," ucap Zein, kemudian ia berlalu duduk di sofa ruang tengah bungalow tersebut.

Intan terkesiap. Ia bingung harus melakukan apa. Ingin berjalan di pantai pun ia malu jika sendirian. Namun menurutnya itu lebih baik dari pada harus berduaan di kamar bersama dengan orang yang menyebalkan itu.

"Kalau begitu saya mau jalan-jalan di pantai dulu, Prof. Permisi," ucap Intan. Lalu ia buru-buru keluar kamar tanpa menunggu jawaban dari Zein.

"Silakan kamu bersenang-senang!" gumam Zein sambil menyeringai. Ia sengaja membiarkan Intan berjalan sendirian karena nanti malam waktu Intan akan diisita olehnya.

Setelah Intan pergi, Zein sibuk membuka ponselnya. Ia mencari kiat sukses malam pertama.

"Aku tidak boleh gagal. Malam ini harga diriku dipertaruhkan," gumam Zein. Ia merasa harga dirinya akan jatuh jika sampai dirinya gagal memuaskan Intan.

Zein menelan saliva saat membaca tips dan trik malam pertama di salah satu artikel yang ia buka. Rasanya tenggorokan Zein kering karena pikirannya berkelana.

"Ah! Jika aku terus membacanya, bisa-bisa aku kalah sebelum berperang. Oke, yang penting aku sudah mendapat garis besarnya. Aku pun yakin pasti bisa melakukannya," ucap Zein. Setelah itu ia beranjak dan memilih untuk mandi.

Sementara itu, Intan sedang melamun di tepi pantai. Rasanya ia ingin melarikan diri dari tempat itu. Sebab, malam ini kesuciannya dipertaruhkan.

"Apakah aku harus hidup selamanya dengan pria menyebalkan seperti dia?" gumam Intan. Sesekali ia menendang pasir karena merasa kesal.

"Aaarrrgghhh!" Intan berteriak sekencang mungkin untuk melepaskan kegelisahan yang sejak tadi menghantuinya.

"Kenapa sih aku harus nikah sama cowok nyebelin kayak dia? Apa di dunia ini gak ada cowok yang jauh lebih baik yang bisa jadi suami aku?" keluh Intan.

Baginya menikah dengan Zein sudah seperti nightmare. Apalagi saat tadi di jalan Zein sudah meminta haknya secara tidak langsung. Dengan begitu artinya Intan sudah tidak ada kesempatan untuk lari dari pria yang ia benci itu.

Beberapa jam kemudian, mereka sudah siap untuk melakukan makan malam romantis. Meski sebenarnya tidak ada keromantisan sama sekali di antara mereka.

Malam ini Intan diminta untuk menggunakan gaun yang cantik. Sebab sebelumnya ia hanya mengenakan piyama saat akan melakukan makan malam itu.

"Apa kamu tidak paham bagaimana cara berpakaian?" tanya Zein saat Intan keluar dari kamar mandi.

"Maksudnya?" Intan balik bertanya.

"Kamu tidak lupa kan malam ini kita ada candle light dinner?"

Intan menggelengkan kepalanya.

"Lalu kenapa kamu hanya mengenakan piyama seperti itu? Memangnya sudah mau tidur?" tanya Zein lagi. "Atau kamu sengaja ingin mengajak saya tidur?" tuduh Zein.

Intan mengelengkan kepalanya, cepat. "Enggak, Prof. Saya emang gak tau harus pakai baju apa," sahut Intan.

Akhirnya Zein berjalan ke arah koper Intan dan mencari pakaian yang kira-kira cocok untuk dipakai istrinya itu.

"Lho, Prof mau apa?" tanya Intan. Ia panik saat Zein membuka kopernya begitu saja. Sebab di koper itu ada pakaian dalam yang menurutnya tidak pantas dilihat oleh Zein.

"Sudah, jangan banyak protes!" sahut Zein. Ia mengacak-ngacak koper Intan dan Intan pun terkejut kala pakaian dalamnya terpampang begitu nyata di hadapan Zein.

Sontak ia langsung mengambil semua pakaian dalam itu dan menyembunyikannya.

Zein menyeringai melihat kelakuan istrinya itu. "Kenapa? Toh cepat atau lambat saya akan melihat isinya," ucap Zein.

Bola mata Intan hampir melompat. Ia merasa sedang dilecehkan oleh pria yang ada di hadapannya itu. Namun, ia ingat bahwa pria itu adalah suaminya. Sehingga dirinya tidak mungkin protes.

"Pakai ini!" ucap Zein sambil memberikan sebuah pakaian yang ia rasa cukup pantas untuk dikenakan malam itu.

"Iya, Prof," sahut Intan, lemas. Setelah itu ia pun merapihkan kembali kopernya dan masuk ke kamar mandi untuk berganti pakaian.

Sementara itu, saat ini Zein mengenakan kemeja slim fit berwarna putih dengan celana abu se-mata kaki. Ia terlihat begitu tampan dan fresh.

Ia pun menunggu Intan keluar dari kamar mandi. Padahal mereka hanya melakukan makan malam di teras kamar yang terhubung ke kolam renang.

Beberapa saat kemudian, Intan sudah keluar dari kamar mandi.

"Ayo!" ajak Zein saat merasa penampilan Intan sudah cukup oke. Lalu mereka pun berjalan menuju teras dan menikmati makan malam yang sudah tersedia.

'Kenapa harus ada seperti ini, sih? Padahal kan makan malam biasa aja. Toh kondisinya juga canggung begini,' batin Intan.

"Ini merupakan paket dari vocher yang kita dapat. Jadi nikmati saja, todak perlu banyak protes," ucap Zein, seolah ia tahu apa yang ada di pikiran istrinya itu.

"Iya, Prof."

Namun, sebenarnya makan malam itu bukan merupakan paket dari vocher yang mereka dapat. Akan tetapi itu adalah permintaan Zein secara pribadi. Sebelum datang ke sana, Zein sudah menghubungi pihak hotel dan meminta mereka mengatakan bahwa itu adalah paket.

"Apa kamu suka makanannya?" tanya Zein.

"Suka, Prof," sahut Intan, singkat.

'Suka, sih. Tapi mendadak jadi gak enak karena denger suara dia,' batin Intan. Sebenarnya ia tidak nyaman makan berhadapan dengan Zein. Sebab Intan khawatir pria itu mengeluarkan kalimat yang membuatnya sakit hati lagi.

Mereka menikmati makanan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Seolah tidak saling kenal.

Selesai makan, Intan tidak berani beranjak lebih dulu. Sehingga ia hanya duduk diam menunggu Zein pergi dari tempat itu.

Akan tetapi, sebelum pergi, Zein memberikan sebuah paper bag pada Intan.

"Malam ini tolong kamu pakai!" ucap Zein.

"Heuh?" tanya Intan. Ia bingung apa maksud Zein. "Ini apa?" tanyanya.

"Lingerie," sahut Zein, singkat.

Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang