"Hah? Serius, Sus?" tanya Intan. Ia tak menyangka pasien itu sudah pulang.
"Iya, Dok. Tadi pas dokter Intan dan Prof pergi, pasien itu langsung minta pulang," jelas suster tanpa dosa.
Intan langsung menutup mulutnya. 'Bagus, sih. Tapi artinya tuduhan Mas Zein emang bener, dong?' batin Intan.
"Kenapa, Dok?" tanya suster.
"Euh, gak apa-apa, kok, hehe," sahut Intan, kikuk.
'Bodo ah, yang penting dia udah pergi dari sini,' gumam Intan dalam hati. Ia tidak mau memusingkan hal itu.
Intan pun melanjutkan pekerjaannya.
Sementara itu, di tempat lain, Muh memanggil dokter kelapa yang waktu itu pernah menyulitkan Intan. Ia baru mendengar hal tersebut karena selama ini sibuk dengan pekerjaannya.
Mendapat panggilan dari Muh. Tentu saja dokter kepala yang sudah diturunkan dari jabatannya pun khawatir.
"Kenapa direktur manggil aku, ya? Gak biasanya," gumam dokter itu.
Ia menghela napas sebelum mengetuk pintu ruangan Muh.
Tuk! Tuk! Tuk!
"Masuk!"
Ceklek!
"Permisi, Pak," ucap dokter kepala, pelan.
"Silakan!" sahut Muh. Wajahnya terlihat begitu serius.
Dengan ragu, dokter itu pun mendekat ke arah Muh dan duduk di hadapannya.
"Ada apa Bapak memanggil saya?" tanya dokter itu.
"Saya baru mendengar berita tentang menantu saya," ucap Muh.
Ia memang mengetahui Intan pingsan akibat seniornya. Namun ia baru mengetahui siapa senior yang telah menyiksa Intan itu.
Dokter itu pun terkesiap. Ia langsung gemetar karena yakin Muh pasti akan marah.
"Maaf, Pak. Saya tidak tahu kalau dokter Intan adalah menantu Bapak," ucapnya dengan suara bergetar.
"Kamu pikir saya ini kurang kerjaan sampai mengurusi anak magang jika bukan menantu saya sendiri?" skak Muh.
"Lagi pula. Tahu atau tidak, tak seharusnya kamu memperlakukan junior seperti itu! Susah payah saya membangun rumah sakit ini, jangan sampai SDM-nya hancur hanya karena ulah oknum seperti Anda!" Muh sangat jengkel membayangkan bagaimana jika terjadi sesuatu terhadap menantunya itu.
"Saya mohon maaf sekali lagi, Pak. Lagi pula Prof Zein sudah mencopot jabatan saya. Dan saya ikhlas menerimanya karena sadar akan kesalahan saya," ucap dokter kepala itu.
"Ikhlas kamu bilang? Itu belum seberapa. Yang kamu bahayakan itu adalah nyawa calon pewaris rumah sakit ini. Apa cukup hanya dengan menurunkan jabatan kamu?" tanya Muh.
Dokter itu menelan saliva. Perasaannya sudah tidak nyaman karena ucapan Muh sudah menjurus seolah ingin memecatnya.
"Saya benar-benar menyesal, Pak. Bagaimanapun saya ini adalah tulang punggung dari anak-anak saya. Bapak kan tahu sendiri, saya single parent. Jadi membutuhkan pekerjaan ini," ucap dokter itu lagi.
"Kalau memang butuh, kenapa tidak bekerja dengan baik?" skak Muh lagi.
Dokter itu pun sudah tidak dapat menjawabnya.
Kemudian Muh memberikan sebuah surat padanya.
"I-ini apa, Pak?" tanya dokter itu, gugup.
"Maaf, saya tidak ingin meyimpan benalu dalam rumah sakit saya," ucap Muh.
Deg!
"M-maksud Bapak?" Rasanya jantung dokter itu hampir lepas. Di usianya yang sudah tidak muda ini tak mudah mencari pekerjaan baru.
Ia hanya dokter swasta yang bekerja di rumah sakit itu dan praktek di klinik kecil. Sebab dirinya sudah beberapa kali mendaftar untuk jadi PNS, tetapi gagal terus.
Sehingga saat ini pendapatan terbesarnya adalah dari rumah sakit Muh.
"Silakan dibaca!" ucap Muh, dingin.
Ia tidak sekejam itu. Muh sudah mencarikan dokter itu tempat yang baru. Supaya dia tidak bekerja lagi di rumah sakit tersebut. Namun tentu rumah sakit itu tidak lebih baik dari rumah sakit milik Muh.
"Saya harap kamu bisa menerimanya!" ucap Muh.
"Jadi saya dipecat dari sini?" tanya dokter itu.
"Ya. Di luar sana masih banyak dokter kompeten yang profesional ingin bekerja. Jadi untuk apa saya mempertahankan SDM yang tidak kompeten seperti Anda?"
"Ini sudah tahun berapa? Apa masih zaman peloncoan terhadap junior seperti itu? Saya sudah berbaik hati mencarikan kamu pekerjaan baru. Jadi kamu hanya perlu angkat kaki dari sini dengan tenang!" ujar Muh.
"Tapi, Pak. Saya berjanji akan memperbaiki semuanya," ucap dokter itu, memelas.
Muh tersenyum. "Saya sudah mengumpulkan semua bukti. Jika saya jahat, sudah pasti kamu akan masuk ke daftar hitam dan tidak akan ada rumah sakit mana pun yang mau menerimamu," ujar Muh.
Ternyata bukan hanya Intan yang pernah dipelonco olehnya. Banyak dokter lain yang menyimpan dendam pada dokter kepala itu. Terutama para dokter magang dan koas.
"Saya rasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Silakan Anda keluar dari sini!" ucap Muh.
"Tapi, Pak. Saya sudah bekerja di sini lebih dari sepuluh tahun. Apa tidak ada sedikit pun apresiasi dari rumah sakit ini? Saya sudah loyal, tapi kenapa malah dipecat begini?" keluh dokter itu.
"Apresiasi? Apa kamu tidak malu? Loyal dalam bentuk apa? Kamu kan di sini bekerja sesuai job desk dan kami sudah membayarmu. Jadi saya tidak merasa punya hutang apa pun."
Ya, terima kasih atas dedikasinya. Namun saya tidak respek sedikit pun pada orang seperti Anda. Jadi jangan harap saya akan memberikan sebuah penghargaan," ucap Muh panjang kali lebar.
"Pesan saya. Semoga kamu bisa menjadikan masalah ini sebagai pelajaran. Bekerjalah dengan baik. Perlakukan rekan kerja seperti manusia. Jangan pernah merasa sombong. Karena di dunia ini kita semua sama," ucap Muh.
"Lalu apa seorang direktur yang memecat anak buahnya hanya karena pernah berbuat kesalahan satu kali bisa dikatakan tidak sombong?" Dokter itu malah melawan Muh.
Muh pun tersenyum. "Lebih baik kamu berkaca! Apa benar kesalahanmu hanya sekali? Apa perlu saya panggil orang-orang yang pernah sakit hati karena ulahmu?" skak Muh lagi.
Akhirnya dokter itu pun tidak dapat berkata-kata dan meninggalkan ruangan Muh dengan kesal.
***
"Sus, aku duluan, ya," ucap Intan saat sudah jam pulang kerja.
"Iya, Dok. Hati-hati," sahut suster.
Intan pun bersemangat menuju ruangan praktek suaminya. Ia yakin Zein akan senang jika dirinya menemani Zein yang masih praktek itu.
Namun, saat Intan berjalan di koridor yang sepi, ia mendengar suara yang sangat ia kenali. 'Eh, dia ada di sini,' batin Intan, senang.
Akan tetapi, ia pun mendengar suara orang lain. Intan yang hendak menghampiri Zein pun mengurungkan niatnya. Ia penasaran apa yang sedang mereka bicarakan.
"Hahaha, Zein ... Zein ... makanya lo tuh jangan suka sembarangan jadi orang. Ketula kan, lo! Dari awal juga udah gue ingetin, jangan gegabah! Main ngirim orang ke perbatasan. Akhirnya jadi istri sendiri," ucap Dimas yang ternyata sedang berbincang dengan Zein.
***
Hola ... mampir ke novel baru aku, yuk! Judulnya "Ustadzah Dinikahi Mafia Tampan".
Sekalian mau info, novel ini tinggal beberapa bab lagi menuju tamat, ya...
See u,
JM.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)
RomanceIntan yang sedang melaksanakan koas di rumah sakit Harapan Keluarga begitu benci pada konsulennya-Zein yang sangat galak dan selalu memarahinya jika melakukan kesalahan, sialnya ternyata mereka telah dijodohkan dan harus menikah. "Saya harap Prof bi...