Zein terkesiap saat Intan mengatakan minta dipijit. "Kamu kan lagi haid. Ngapain minta pijit segala?" tanya Zein, kesal. Ia sudah berusaha untuk tidak tergoda. Namun Intan malah seolah sengaja ingin menggodanya.
"Ya udah gak apa-apa kalau Mas gak mau. Maaf merepotkan," jawab Intan. Kemudian ia hendak berbaring dan pura-pura meringis kesakitan.
"Ssshh, aduh," lirih Intan sambil meringis.
Melihat Intan seperti itu, Zein pun tidak tega. "Ya sudah, mana yang mau dipijit?" tanya Zein.
"Sebentar," sahut Intan. Kemudian ia membalik tubuhnya perlahan, lalu tiarap di atas tempat tidur.
Zein ternganga melihat posisi Intan seperti itu. Apalagi ketika Intan menunjuk bokongnya yang ada di hadapan Zein tersebut. "Yang ini, Mas," ucap Intan.
Zein menelan saliva. "Kenapa kamu tidak pakai baju?" tanya Zein. Tubuhnya mulai menegang karena tidak tahan melihat tubuh seksi istrinya yang sangat menggoda itu.
"Bukankah tadi sudah aku jelaskan? Aku mau mandi tapi gak sengaja kepeleset," jawab Intan.
"I-ini gak ada yang memar," ucap Zein.
"Tapi yang ini sakit, Prof," sahut Intan sambil menunjuk bokongnya lagi.
"Yang mana?" tanya Zein, gugup.
"Sini tangannya!" pinta Intan. Lalu ia meraih tangan Zein. Kemudian ia mengarahkan tangan itu hingga meremas bagian yang menurutnya sakit tersebut.
Zein semakin tercekat kala tangannya sudah menyentuh benda favoritnya itu.
"Nah, yang itu," ucap Intan, tanpa dosa.
"Ini?" tanya Zein dengan suara gemetar sambil meremas bagian tersebut.
Intan tersenyum mendengar suara Zein. "Iya, Mas. Tapi dipijit, bukan diremas begitu," sahutnya.
Zein pun terkesiap. Ia malu karena ketahuan gagal fokus. "S-saya kan bukan tukang pijit. Mana saya paham gimana caranya mijit," ucapnya, ketus. Semakin malu, Zein malah semakin ketus.
"Iya maaf. Kalau emang gak bisa, gak apa-apa. Nanti aku coba ke tukang urut aja," sahut Intan.
Zein mengerutkan keningnya. "Tukang urutnya cewek apa cowok?" tanya Zein.
"Gak tau, tapi biasanya kalau urut begini sih sama cowok," sahut Intan.
Seharusnya Zein sadar ada kejanggalan. Tadi saja intan tidak mau diajak ke rumah sakit karena khawatir akan diperiksa oleh dokter pria. Namun kini ia malah mengatakan ingin pergi ke tukang urut. Sayangnya pikiran Zein sedang tidak jernih. Sehingga ia tidak menyadari hal itu.
"Biar saya coba dulu. Semoga berhasil," ucap Zein. Ia tidak rela jika Intan pergi ke tukang urut.
"Iya, terima kasih," sahut Intan.
Akhirnya Zein pun mulai mengurut bagian yang ditunjuk oleh Intan tadi. Intan yang memang berniat menggoda Zein pun mulai jahil.
"Ahhh, iya itu, Mas," ucap Intan sambil sedikit merintih.
Seketika tubuh Zein meremang mendengar rintihan Intan.
Namun ia tetap berjuang, berusaha memijat Intan meski sebenarnya Zein tidak tahan. Daripada istrinya pergi ke tukang urut.
"Uuuhh, sakiitt, aawww," desah Intan.
"Kamu bisa diem, gak!" bentak Zein. Ia sangat kesal karena suara Intan begitu meresahkan.
"Emh ... gak bisa, Mas. Soalnya sakit," sahut Intan sambil menggeliat hingga bumpernya itu bergoyang-goyang.
Zein menggigit bibir bawahnya karena ia sangat ingin menepuk bumper itu. Tubuhnya mulai terbakar dan ingin segera menergap Intan. Ia menggeleng-gelengkan kepala agar kesadarannya tetap terjaga.
'Ingan, Zein! Dia sedang berhalangan,' batin Zein. Ia pun mengatur napas agar tidak sesak. Sebab debaran jantungnya begitu cepat.
Saat Zein sedang asik memijat, Intan tiba-tiba berbalik.
"Kenapa?" tanya Zein. Wajahnya terlihat merah padam.
"Ternyata ininya juga sakit," ucap Intan sambil menunjuk pangkal pahanya.
"Lho, kok bisa? Tadi kan cuma yang belakang yang sakit," tanya Zein, heran.
"Ini baru berasa, Mas," sahut Intan, memelas.
"Ya sudah!" ucap Zein, ketus. Akhirnya ia pun kembali memijat Intan.
Intan langsung mengangkat sebelah kaki dan melebarkannya. Bahkan tangan yang tadi menutup dadanya pun ia lepas, lalu mencengkeram bantal yang ia tiduri.
Kemudian kepalanya mendongak dengan mata sedikit terpejam. Lagi-lagi Intan pun merintih hingga membuat sekujur tubuh Zein meremang.
Kondisi seperti itu membuat Zein sangat tersiksa. Ia ingat betul ekspresi Intan seperti itu sangat mirip ketika sedang ia gagahi. Sehingga membuat otak Zein berkelana dan tubuhnya semakin menegang.
Melihat ekspresi Zein, Intan pun tertawa dalam hati. 'Hahaha, ya ampun. Ternyata begitu, ya? Demi gengsi, dia sampai rela jadi orang bodoh begitu. Percaya aja aku bohongin. Aku yakin banget sekarang dia lagi tegang sampe ke ubun-ubun. Mukanya aja udah merah begitu,' batin Intan. Ia berusaha menahan senyumannya.
"Udah?" tanya Zein. Ia sangat resah dan ingin segera pergi dari tempat itu.
"Sedikit lagi, Mas," jawab Intan dengan suara tertahan. Seperti hendak melakukan pelepasan. Hari ini ia sangat berani karena yakin Zein memang mencintainya.
Saat ini Zein bahkan tidak berani menatap Intan. Ia memijatnya sambil memalingkan wajah.
"Mas!" panggil Intan dengan suara berbisik.
Zein pun menoleh. "Astaghfirullah!" ucapnya, sangat terkejut. Tadi ia sempat melamun sambil memalingkan wajah. Sehingga tidak sadar Intan sudah duduk di hadapannya.
Saat ia menoleh, wajah Intan tepat ada di hadapannya. Sehingga Zein sangat terkejut dibuatnya.
"Lho, kenapa, Mas?" tanya Intan. Pura-pura bingung. Padahal ia memang sengaja ingin mengejutkan Zein.
"Kamu kenapa tiba-tiba duduk, sih? Saya kan jadi kaget," ucap Zein sambil mengatur napas karena rasa terkejutnya.
"Lho, emangnya kenapa? Mas lagi ngelamun? Sampe gak sadar aku udah duduk," tanya Intan.
"Bukan begitu. Saya lagi gerah pingin mandi," sahut Zein sambil beranjak dan berlalu. Ia tak ingin Intan melihat dirinya salah tingkah.
Intan pun terkekeh saat melihat Zein masuk ke kamar mandi. "Hihihi, emang enak aku kerjain! Rasain tuh cenat-cenut karena gengsi," ucap Intan, gemas. Kemudian ia pun turun dari tempat tidur dan mengambil pakaian.
"Dia kenapa, sih? Kok aku merasa hari ini Intan sangat agresif? Apa pengaruh hormon karena dia sedang datang bulan?" gumam Zein, heran. Saat ini ia sedang mendinginkan tubuhnya di bawah guyuran air shower.
Jika tidak gengsi, mungkin tadi Zein sudah bermesraan dengan Intan. Namun sayang, gengsinya terlalu besar. Sehingga ia tidak mungkin bermesraan di saat Intan tak bisa 'dijamah' seperti itu. Sebab ia tidak ada alasan untuk menjamahnya.
"Gak lucu kan kalau aku tiba-tiba mesra ke dia karena gemas," gumam Zein, kesal. Tanpa sadar Zein memejamkan mata dan menggerakkan kedua tangannya. Seolah sedang meremas sesuatu.
"Mas lagi apa?" tanya Intan yang ternyata bisa masuk ke kamar mandi karena Zein lupa menutup pintu.
***
Mas lagi bayangin kamu, Sayang. Wkwkwk,
See u,
JM.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)
RomanceIntan yang sedang melaksanakan koas di rumah sakit Harapan Keluarga begitu benci pada konsulennya-Zein yang sangat galak dan selalu memarahinya jika melakukan kesalahan, sialnya ternyata mereka telah dijodohkan dan harus menikah. "Saya harap Prof bi...