Intan yang panik pun langsung mengambil ponsel pemberian suaminya itu. Bola matanya hampir melompat kala mendapati ada ratusan panggilan tak terjawab dan begitu banyak pesan yang Zein tinggalkan. Mulai dari pesan manis, hingga marah-marah.
"Mati, aku," gumam Intan. Ia merasa bersalah karena telah melupakan hal sepenting itu.
Intan yang masih butuh adaptasi dengan lingkungan barunya pun cukup sibuk sehingga tidak sempat memikirkan hal lain.
Ia pun bergegas menghubungi suaminya kembali. "Semoga dia gak ngamuk," gumam Intan sambil menunggu jawaban dari Zein.
Telepon terhubung.
"Kamu ini dari mana aja, sih? Gak tau apa suaminya nyariin dari semalam? Apa kamu lupa udah punya suami?" Benar saja dugaan Intan. Zein langsung mengamuk. Sangat berbeda dengan kemarin yang sangat manis itu.
"Maaf, Mas. Aku lupa," jawab Intan, manja.
"Oh, jadi bener kamu lupa kalau udah punya suami?" tanya Zein berapi-api.
"Eh, bukan! Aku lupa bawa ponselnya. Kan tadi aku buru-buru, terus di sana banyak kerjaan. Namanya juga hari pertama. Apalagi ini kali pertama aku kerja tanpa didampingi. Makanya sibuk banget. Pas pulang tiba-tiba kangen sama suami. Dan baru inget deh kalau ponselnya ketinggalan," jelas Intan.
Ia langsung menjulurkan lidah karena jijik dengan gombalannya sendiri.
Zein yang sedang marah pun langsung tersenyum. "Emang kamu kangen sama Mas?" tanyanya sambil memutar-mutar kursi kerja yang sedang ia duduki.
"Ya kangenlah. Namanya juga jauh dari suami. Siapa sih yang gak kangen? Apalagi kemarin Mas di sini, aku dimanjain, disuapin, dikelonin. Jadi pingin kayak gitu lagi," jawab Intan. Ia dapat merasakan nada bicara suaminya berubah.
"Sabar, ya. Mas sedang berusaha supaya kamu bisa cepat kembali ke Jakarta. Mas juga kangen sama kamu. Bukan kamu aja yang kesepian. Makanya Mas kesal kalau kamu susah dihubungi," jelas Zein sambil menyandarkan punggungnya ke kursi dan menggoyang-goyangkan kursinya ke kiri dan kanan.
"Iya, demi ketemu sama suami, aku sabar-sabarin, deh. Tapi Mas baik-baik aja kan di sana?" tanya Intan.
Ia sudah sangat paham bahwa suaminya itu paling senang dipuji, diberi perhatian dan diperlakukan seolah paling dibutuhkan.
"Alhamdulillah, baik. Tapi sebenarnya ada satu hal yang kurang baik buat kamu," ucap Zein.
Intan mengerutkan keningnya. "Apa, tuh?" tanyanya.
"Beberapa minggu ke depan Mas akan sangat sibuk. Jadi kemungkinan akhir pekan besok Mas gak bisa ke sana. Papah minta Mas persiapan untuk serah terima jabatan. Kamu pasti sedih, ya?" Ia sangat percaya diri.
'Ya ampun, untung sayang. Jijay banget deh narsis maksimal begitu,' batin Intan, sebal.
"Yah ... aku pasti sedih dan kangen banget kalau Mas gak bisa ke sini. Tapi bagaimanapun pekerjaan juga penting, Mas. Apalagi ini menyangkut rumah sakit. Jadi aku berusaha sabar buat nunggu Mas," jawab Intan.
"Terima kasih, ya. Lagipula ini kan untuk masa depan kita. Mas ingin menjamin hidup kamu dan calon anak kita nanti. Mas gak mau kalian hidup susah," ucap Zein.
Intan tersenyum. "Duh, kalau ada di depan mata, udah aku peluk, deh. Sayangnya jauh," sahut Intan.
"Kalau jauh, dikasih kiss aja," jawab Zein sambil belingsatan. Ia seperti ABG yang baru saja jatuh cinta.
Muach!
Intan mengecup ponselnya.
Muach!
Zein pun membalasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)
RomanceIntan yang sedang melaksanakan koas di rumah sakit Harapan Keluarga begitu benci pada konsulennya-Zein yang sangat galak dan selalu memarahinya jika melakukan kesalahan, sialnya ternyata mereka telah dijodohkan dan harus menikah. "Saya harap Prof bi...