"Wah ... sepertinya sebentar lagi Papah akan dapat cucu, nih," ledek Muh.
Intan semakin tercengang. Ia tidak menyangka ternyata Muh sesantai itu. Ia pikir seorang pemilik rumah sakit akan menjaga wibawanya. Intan tidak tahu bahwa keluarga Zein memiliki hubungan yang hangat dan santai.
"Ya kan sesuai keinginan Papah. Sebagai anak yang baik, aku sih nurut aja. Yang penting udah usaha. Masalah hasilnya gimana nanti. Iya kan, Sayang?" ucap Zein sambil merangkul pinggang Intan dan menoleh ke arahnya. Sehingga bibir Zein begitu dekat dengan pipi Intan.
Wajah Intan merona, ia hanya menjawabnya dengan anggukkan. 'Oh, jadi ini maksudnya harus mesra di depan orang tua?' batin Intan.
Ia kesal karena Intan pikir Zein sedang berakting. Padahal saat ini suaminya itu sedang memanfaatkan keadaaan.
"Ya udah kalau begitu. Silakan dilanjutkan! Semoga membuahkan hasil, ya," ucap Muh sambil mengusap bahu Intan.
Intan salah tingkah.
"Siap, Pah! Mumpung masih muda jadi bisa usaha terus. Papah tinggal bantu doa aja," sahut, Zein.
"Oh iya, tapi kamu juga jangan terlalu forsir Intan, Zein. Kasihan kalau Intan sampai kelelahan. Papah tahu kamu masih muda, tapi harus perhatikan kondisi istri kamu juga, ya! Jangan mau enaknya sendiri," ucap Muh. Kemudian ia berlalu.
Intan ternganga mendengar obrolan anak dan ayah yang seolah tak malu membahas hal sensitif itu. Kemudian ia menoleh ke arah Zein.
"Apa? Kamu mau usaha lagi?" tanya Zein.
Intan langsung melepaskan tangan Zein dari pinggangnya. "Prof kenapa gak malu bahas hal itu sama Papah?" tanya Intan sambil berjalan ke arah sofa.
Zein kembali menutup pintu ruangannya dan menyusul Intan.
"Kenapa harus malu? Saya kan sudah dewasa. Gak masalah, dong?" sahut Zein, santai. Setelah itu ia berjalan ke arah lemari.
"Tapi kan saya gak nyaman dengernya, Prof," keluh Intan sambil memerhatikan Zein yang sedang berjalan.
Namun, saat di depan lemari, Zein langsung melepaskan bath robe dan melemparnya ke kursi begitu saja.
Intan pun memalingkan wajahnya. Ia malu melihat tubuh bagian belakang yang begitu menantang. Sebab, ketika sedang bercinta, Intan hampir tidak pernah melihat bagian itu.
Melihat reaksi Intan dari pantulan kaca yang ada di lemari buku, Zein pun tersenyum. Kemudian ia malah sengaja ingin menggodanya.
"Intan!" panggil, Zein.
"Iyah?" sahut Intan sambil menoleh. Ia pun terkejut karena Zein belum mengenakan pakaian. Lalu Intan memalingkan wajahnya lagi.
"Sini kamu!" panggil Zein lagi. Saat ini ia sedang memegang pakaian yang akan ia pakai.
Sebenarnya di lemari itu tidak banyak pakaian miliknya. Hanya ada beberapa untuk salinan jika pakaiannya kotor. Lemarinya pun hanya berukuran kecil.
"Ada apa, Prof?" tanya Intan lagi.
"Kalau di panggil tuh langsung datang, bukan malah bertanya. Sini cepat!" pinta Zein.
Akhirnya Intan pun dengan terpaksa mendekat ke arah Zein sambil memalingkan wajahnya.
"Iyah?" ucap Intan saat sudah berdiri di dekat Zein.
Zein yang sedang memunggunginya pun balik badan. Kemudian ia menarik dagu Intan agar bisa menatapnya.
"Tadi kan kamu begitu bersemangat melepas pakaian saya. Jadi sekarang saya minta kamu pakaikan lagi," ucap Zein. Lalu ia memberikan pakaian itu pada Intan.
Deg!
Intan tak habis pikir mengapa suaminya bisa segila itu.
"Tapi, Prof. Anda kan bisa memakainya sendiri," ucap Intan.
"Atau kamu memang sengaja ingin melihat tubuh saya seperti ini? Makanya gak mau memakaikan pakaian di tubuh saya," tuduh Zein. Ia paling bisa memprovokasi Intan sehingga istrinya itu mau menuruti kemauannya dengan terpaksa.
"Enggak!" sahut Intan, kesal sambil mengambil pakaian itu.
Intan pun menaruhnya di atas meja, kemudian ia mulai dari pakaian yang paling dalam.
'Ini suami apa raja, sih? Bisa-bisanya dia nyuruh aku kayak gini?' batin Intan. Ia tidak nyaman saat menyentuh pakaian dalam milik Zein.
Setelah itu, Intan berjongkok di hadapan Zein sambil melebarkan bagian pinggang pakaian dalam tersebut.
Zein pun tersenyum, lalu ia mengangkat kakinya satu per satu dan Intan memasukan celana itu ke kaki Zein.
Intan menelan saliva saat menariknya ke atas, ia pun tidak menoleh kala celana itu sudah tiba di bagian pusat.
"Masa begitu sih makeinnya? Kalau begitu gak nyaman. Bisa kejepit," ucap Zein saat Intan tidak membenarkan senjatanya yang terjepit oleh ujung celana tersebut.
"Saya gak tau, Prof. Memang harusnya bagaimana?" tanya Intan. Ia belum melihat ada kepala yang muncul di tepi celana.
"Ya kamu lihat sendiri. Udah masuk semua apa belum?" sahut Zein. Ia memang sengaja ingin Intan melihatnya.
Intan terlihat ragu.
"Ayolah, Tan! Kamu tuh jangan sok alim. Kamu kan sudah menikmati seluruh tubuh saya. Hanya melihat atau menyentuhnya seperti itu tentu bukan hal aneh," ucap Zein, gemas.
"Ini kan dalam kondisi normal, Prof. Jadi saya malu," ucap Intan, sedikit memohon.
"Memangnya kalau sedang bercinta itu tidak normal?" tanya Zein.
"Bukan begitu, Prof ...." Intan pun bingung bagaimana cara menjelaskannya.
"Udahlah, kamu itu emang suka membantah! Nih lihat!" ucap Zein, ketus. Ia memaksa Intan untuk melihat senjatanya.
Akhirnya Intan pun terpaksa menoleh ke arah sana. Lalu Zein membenarkan posisinya.
"Tolong kamu ingat! Posisinya seperti ini. Jadi suatu saat jika saya minta pakaikan lagi, kamu tidak lupa," ucap Zein sambil memainkan senjatanya.
Ia tahu betul Intan mudah tergoda jika melihat senjatanya itu. Sebab ia dapat merasakan ketika Intan sedang melahapnya, ia terlihat begitu menikmati dan menyukainya.
Dugaannya tepat. "Sepertinya kamu mau lagi, ya?" tanya Zein saat melihat Intan menggigit bibirnya sendiri.
"Iya," sahut Intan tanpa sadar. "Eh, enggak, Prof!" ralatnya dengan cepat.
"Hahaha, Intan ... Intan! Kamu itu munafik. Kalau suka bilang aja suka! Kalau mau juga bilang, nanti saya kasih. Muka udah mupeng gitu masih bilang enggak," ejek Zein. Ia tidak sadar bahwa dirinya jauh lebih munafik dari Intan.
Intan tak dapat berkata-kata. Ucapan Zein barusan memang benar. Melihat kepala merah itu membuatnya ingin melahapnya lagi. Apalagi tadi saat ia sedang menikmati, Zein langsung menariknya karena sudah tidak tahan.
"Lanjut!" ucap Zein setelah membenarkan posisi celananya.
Kali ini Intan memakaikan Zein kemeja. Saat ia baru mengancingi bagian atasnya, Zein kembali bertanya.
"Kamu lebih suka gundul atau berambut?" tanya Zein.
Uhuk! Uhuk! Uhuk!
Intan tersedak air liurnya sendiri. Wajahnya sampai merah. Menurut Intan, pertanyaan Zein sangat tidak lazim.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)
Любовные романыIntan yang sedang melaksanakan koas di rumah sakit Harapan Keluarga begitu benci pada konsulennya-Zein yang sangat galak dan selalu memarahinya jika melakukan kesalahan, sialnya ternyata mereka telah dijodohkan dan harus menikah. "Saya harap Prof bi...