49. Malu Sendiri

43.6K 2.2K 23
                                    

Zein menghentikan makannya, kemudian ia menoleh ke arah Intan. "Punya," jawabnya, jujur.

Intan sedikit kecewa mendengar jawaban Zein. Ia yang tidak bisa akting pun tak dapat menutupi rasa kekecewaannya. Apalagi dirinya belum pernah memiliki mantan pacar.

"Kenapa? Kamu cemburu?" tanya Zein sambil melanjutkan makannya.

"Enggak, kok. Lagian aku gak punya hak buat cemburu," sahut Intan. Lalu ia melanjutkan makannya dengan kesal.

"Kenapa enggak? Kamu kan istri saya, jadi berhak untuk cemburu," jawab Zein, tanpa dosa.

Intan pun langsung salah tingkah saat diberikan izin cemburu oleh suaminya itu.

"Tapi kamu harus tahu, massa lalu itu tidak bisa diubah. Jika saya punya mantan pacar, bukan berarti saya mengkhianati kamu. Sebab dulu kita belum saling kenal. Jadi rasanya masa lalu itu tidak perlu dicemburui," jelas Zein.

"Lagian siapa yang cemburu? Tadi kan aku udah bilang gak cemburu," sahut Intan, kesal.

"Tapi wajah kamu mengatakan sebaliknya. Kenapa? Kamu gak rela suamimu ini pernah dekat dengan wanita lain?" tanya Zein.

"Biasa aja!" sahut Intan, ketus.

"Oh, biasa aja. Oke, kita lihat. Apa kamu cemburu jika nanti aku dekat dengan wanita lain," tantang Zein.

Intan langsung menoleh ke arah Zein. "Itu kan beda konsep, Mas. Kamu sendiri yang bilang kalau mantan itu massa lalu. Sementara, jika kamu berniat melakukannya di massa depan, artinya Mas selingkuh, dong." Intan protes.

Zein tersenyum. "Belum apa-apa aja udah marah. Kayak gitu masih mau ngelak kalau kamu cemburu?" tanya Zein.

Akhirnya Intan terdiam. Ia kesal karena terlalu terbawa emosi.

"Kamu tenang aja! Saya bukan tipe pria seperti itu. Lagi pula saya sibuk kerja, mana sempat untuk selingkuh," ucap Zein. Kemudian ia minum air mineral yang ada di hadapannya.

Seketika wajah cemberut Intan pun hilang. Ia lega setelah mendengar penjelasan suaminya barusan.

"Kalau mau senyum mah senyum aja! Gak usah ditahan," ucap Zein saat melihat Intan menahan senyuman. Kemudian ia beranjak dari meja dan mengangkat piringnya untuk menaruh piring itu di sink (bak cuci piring).

Saat Zein meninggalkan tempat itu, Intan pun melepaskan senyumannya. 'Kenapa dia jadi so sweet gitu, sih? Kan aku jadi pingin meluk,' batin Intan, bahagia.

Beberapa saat kemudian, Intan sudah selesai makan dan cuci piring. Zein menghampirinya dan mengatakan, "Habis ini kamu siap-siap, ya! Kita ke rumah Mamah," ucap Zein.

Tadi orang tuanya menghubungi dan meminta mereka untuk datang ke rumah Muh. Kebetulan hari ini Zein libur, jadi bisa pergi ke sana.

"Iya, Mas," sahut Intan. Ia pun bergegas menyelesaikan cuci piringnya. Kemudian berganti pakaian.

Saat itu Zein sudah rapih, sehingga Intan memilih pakaian yang warnanya senada dengan pakaian Zein.

Saat Intan sudah rapi, ia pun menghampiri Zein yang sedang memanaskan mesin mobil di luar.

"Udah siap?" tanya Zein saat Intan keluar rumah.

"Udah, Mas," sahut Intan.

"Ini kebetulan atau apa, ya? Warnanya bisa matching begini. Apa ini yang dinamakan jodoh?" goda Zein.

Intan hanya tersenyum malu saat digoda seperti itu oleh suaminya.

"Ya udah, ayo!" ajak Zein. Mereka pun masuk ke mobil dan pergi ke rumah orang tua Zein.

"Mau beli apa buat Mamah, Mas?" tanya Intan. Ia tidak enak hati jika datang dengan tangan kosong.

"Beli buah aja. Mamah lebih suka buah dari pada yang lain," jawab Zein.

"Oh, ya udah," sahut Intan.

Mereka pun pergi ke toko buah dan memilih buah kesukaan mertua Intan tersebut.

"Mamah sukanya buah apa, ya?" tanya Intan.

"Mamah itu lebih suka buah import. Seperti cerry, delima, jeruk santang, dan lainnya," jawab Zein.

"Kenapa begitu?" tanya Intan.

"Nanti kamu bisa coba sendiri buahnya. Biar tau kenapa Mamah suka," sahut Zein.

Ketika mereka berada di counter jeruk santang, Zein mengambil satu buah dan mengupasnya. "Coba ini!" ucapnya sambil menyodorkan buah itu ke mulut Intan.

Disodorkan buah seperti itu, Intan pun kikuk. Ia hendak mengambilnya, tetapi Zein menarik tangannya. "Langsung hap aja! Tanganmu kotor," ucap Zein. Tadi Intan sudah memegang beberapa buah, jadi Zein anggap tangan Intan kotor.

Akhirnya Intan pun langsung melahap buah yang disuapi oleh suaminya itu.

"Emmm ...," gumam Intan.

"Kenapa?" tanya Zein.

"Jeruknya manis banget. Padahal kecil dan kulitnya agak hijau. Kirain asem," sahut Intan sambil mengunyah jeruk berukuran mini itu.

"Iya, manis. Kayak kamu," gumam Zein pelan sambil mengambil pelastik khusus buah yang ada di sana.

Intan langsung balik badan dan tersenyum lebar. Namun ia terkejut karena Zein yang ada di belakangnya itu menoleh ke hadapannya.

"Kalau mau senyum gak usah sembunyi," ucap Zein sambil menatap Intan. Kemudian ia lanjut mengambil jeruk tersebut.

'Aaaaaa, malu banget,' batin Intan. Ia langsung pergi ke counter lain karena tidak sanggup berhadapan dengan Zein.

"Ya ampun ... kenapa sih dia ngeledekin aku terus? Kenapa juga dia bisa tau kalau tadi itu aku lagi senyum. Malu malu maluuuu," keluh Intan saat posisinya sudah jauh dari Zein.

"Apa bener dia bisa baca pikiran, ya? Dari dulu, sebelum nikah, dia itu sering banget muncul tiba-tiba. Terus kalau ngomong kayak tau apa yang ada di pikiran aku. Hiks."

Intan hanya pura-pura memilih buah tanpa sadar buah apa yang sedang ia pegang.

"Lagi milih apa?" tanya Zein yang ternyata sudah ada di sampingnya.

Intan pun terperanjat. "I-ini, lagi milih nanas," jawabnya karena matanya melihat nanas yang ada di seberang.

"Oh, baru tau kalau nanas bulat," ledek Zein. Ternyata yang sedang Intan pegang itu apel.

'Mampus!' batin Intan. Namun kali ini ia berusaha menutupi rasa malunya.

"Enggak, bukan yang ini, tapi yang itu!" ucap Intan sambil menunjuk nanas yang tadi ia lihat.

Zein pun menoleh ke arah yang Intan tunjuk. "Oh, kamu hebat, ya. Milih buah dari jarak jauh. Apa kamu punya indra ke enam?" sindir Zein.

Intan tak dapat berkata-kata. Ia sebal karena selalu dibuat malu oleh sikapnya sendiri.

Belum sempat Intan mengendalikan rasa malunya, ia kembali dibuat terkejut karena ada dokter yang menyapa Zein.

"Hai, Prof. Tumben belanja sendiri?" sapa dokter wanita itu.

Bola mata Intan hampir melompat. Ia yang sedang memunggungi wanita itu pun langsung bergerak perlahan tanpa menoleh.

"Eh, iya," sahut Zein, kikuk.

"Dokter Intan, ya?" tanya dokter itu. Ternyata ia mengenali Intan meski dari belakang.

Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang